15 Februari 2017

Ilusi Demokrasi

Leave a Comment
Vladimir Kazanevsky @cartoonmovement.com
Mari kita mulai paparan ini dengan dua pertanyaan mendasar: apakah rakyat benar-benar memiliki kekuasaan dalam demokrasi? Benarkan kekuasaan rakyat ini membuatnya bisa memilih dalam pemilu sesuai kehendak dirinya sendiri?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, penting kiranya untuk memeriksa kembali peran instrumen demokrasi dalam hubungannya dengan kekuasaan rakyat dalam konteks sejarah Indonesia.

Demokrasi, bagi filsuf Slovenia, Slavoj Žižek (1999) mengandung sejumlah paradoks. Ia menganalogikan demokrasi liberal ini seperti orang yang menekan tombol tutup pintu pada lift. Ditekan atau tidak, pintu lift tak akan tertutup lebih cepat. Yang ada hanyalah kesan bahwa kita mampu mengontrol pintu lift tertutup lebih cepat dengan menekan tombolnya.

Inilah yang dinamakan Žižek sebagai ilusi kontrol. Ia telah menjadi salah satu paradoks dalam demokrasi. Rakyat seolah punya kuasa untuk mengontrol pemerintah ketika memilih dalam pemilu atau pilkada. Padahal, kontrol pada pemerintah itu hanyalah ilusi.

Demokrasi liberal dengan paradoksnya hanya menguntungkan kaum borjuis dalam sistem kerja kapitalisme. ‘Ilusi demokratis’ ini menjadikan nilai-nilai demokrasi sebagai satu-satunya solusi terhadap segala permasalahan.

Ia menghalangi berbagai transformasi radikal untuk keluar dari sistem kapitalisme. Alain Badiou (dalam Žižek, 2009: 87) bahkan menyatakan bahwa musuh kita saat ini bukanlah Imperialisme (Empire) atau Kapitalisme (Capital), tapi Demokrasi.

Saat ini, kita dengan gamblang bisa menyaksikan bagaimana ilusi kontrol demokrasi ini beroperasi. Salah satunya terkait penggunaan jargon-jargon klise yang merujuk pada pelaksanaan pilkada yang dipopulerkan para pengamat dan media massa, seperti ‘pesta demokrasi’, ‘pesta lima tahunan’, ‘kenduri politik’, ‘tahun politik’ dan sebagainya.

Jargon-jargon ini justru problematis mengingat paradoks yang dikandung dalam demokrasi itu sendiri. ‘Pesta’ atau ‘kenduri’ seperti apa yang sebenarnya diandaikan sedang dirayakan rakyat? Apakah rakyat benar-benar ber-‘sukacita’ dalam menyambut pelaksanaannya?

Persoalan demokrasi yang lebih menekankan aspek elektoral dalam wujud pelaksanaan pemilu menyisakan pertanyaan bagi kita semua. Publik hanya menjadi subjek demokrasi ketika berpartisipasi dalam ‘pesta’ ini. Setelah itu, elitelah yang mengatur panggung kekuasaan.

Dengan begitu, pemilu hanya menjadi alat legitimasi elite untuk menjalankan pemerintahan. Retorika ‘siapa mewakili siapa’ menemukan momentumnya dalam konteks ini, di mana hanya elitelah yang mewakili publik dalam menjalankan kekuasaan. Celakanya, demokrasi prosedural seperti ini telah menjerumuskan Indonesia ke dalam lingkaran oligarki.

Hadiz & Robison (2004) menjelaskan bahwa oligarki merupakan kekuatan-kekuatan yang dikuasai para elite politik untuk mengakumulasi kekayaan material melalui instrumen negara. Hal ini sudah berlangsung sejak Orde Baru saat Soeharto berkuasa.

Gejalanya bisa terlihat dari banyaknya pengusaha yang menjadi elite politik dengan bergabung parpol. Dengan kekuatan ekonomi yang dimilikinya, para oligark ini ‘membeli’ politik dan suara publik, untuk kemudian menggunakan kewenangannya demi kepentingan pribadi, keluarga, dan jaringan oligarkinya.

Munculnya wacana desentralisasi agar memberikan kewenangan di aras lokal dalam mendistribusikan kekuasaan ternyata terjebak hal serupa. Desentralisasi juga masih menyebabkan wabah korupsi di daerah, pejabat lokal yang tamak, dan konsolidasi politik gangsterisme (Hadiz, 2005).

Jika sudah begini, bisa dikatakan ‘demos’ (rakyat) sudah tercerabut dari ‘kratos’ (kekuasaan) yang dimilikinya. Dari pusat hingga daerah, kuasa hanya diwarisi para elite politik melalui kaki-tangan oligarki mereka dalam mengakumulasi kekuasaan, termasuk dengan menggunakan kekerasan.

Dalam konteks Aceh sendiri sejak pertama kali dilaksanakan Pilkada Aceh pada 2006 silam hingga saat ini nyaris belum menunjukkan perubahan substansial yang signifikan. Berbagai isu kekerasan seperti premanisme, intimidasi, pemukulan hingga pembunuhan baik terhadap timses maupun masyarakat biasa juga masih kerap terjadi.

Belum lagi ditambah dengan kejenuhan rakyat yang harus menyisakan waktunya melayani elite dengan mencoblos surat suara pada hari H sebagai syarat prosedural demokrasi. Di tengah kesulitan ekonomi dan berbagai problem kehidupannya, rakyat masih saja dipaksa dan dininabobokan dengan dongeng klasik bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan.

Sengitnya persaingan elite dalam konstelasi kekuasaan dan kepentingan dengan semangat oligarki kian menjauhkan publik dari lokus demokrasi. Publik tak pernah beranjak menuju ke arah penegakan keadilan dan kesejahteraan yang lebih baik. Politik uang menjerat elite. Sementara publik kian terjerumus dalam retorika kosong yang dimainkan elite.

Publik sebagai Subjek Demokrasi
Sejarah panjang demokratisasi yang terjadi di Indonesia pasca-tumbangnya Soeharto masih merentang dan diperjuangkan hingga kini. Berbagai persoalan masih menjadi kendala, namun lokus kekuasaan demokrasi ini penting untuk dipertanyakan kembali.

Karena itu, publik harus disadarkan agar melampaui bayang-bayang ilusi yang menyandera demokrasi. Salah satunya dengan penguatan basis masyarakat sipil (civil society). Peningkatan kesadaran dan kapasitas masyarakat ini harus menjadi prioritas dengan memberikan pendidikan politik kritis.

Pendidikan politik kritis yang dimaksud yaitu pemahaman menyeluruh terkait akumulasi dan relasi kekuasaan yang menjadi lingkup politik. Tentunya hal ini tak hanya sebatas retorika sehingga kembali terjebak dalam pusara jargon-jargon semata.

Misalnya pengetahuan terkait kewenangan dan kekuasaan seorang kepala daerah dalam memberikan izin kepada korporasi tertentu yang hendak mencaplok lahan warga. Publik harus diberikan pemahaman bahwa penguasa cenderung menunjukkan watak asli kerakusannya ketika dihadapkan dengan modal yang berkelindan dalam sistem kerja kapitalisme.

Ketika hal ini terjadi, maka penguasa dengan segala kewenangannya akan melakukan apa saja untuk mewujudkannya, termasuk dengan menyerobot hak-hak yang dimiliki warga. Kasus pendirian pabrik semen di Rembang, Jawa Tengah yang dikeluarkan izinnya oleh gubernur Ganjar Pranowo bisa menjadi refleksi nyata praktik ini.

Walau Mahkamah Agung telah memenangkan peninjauan kembali (PK) yang diajukan warga pegunungan Kendeng di Rembang, Ganjar tetap ngotot mengizinkan pembangunan pabrik semen di kawasan tersebut walau harus merampas hak-hak warganya sendiri.

Pemahaman kritis seperti inilah yang harus menjadi prioritas bagi publik. Sehingga publik bisa membedakan mana yang pro dan kontra terhadap publik dalam realitas politik yang dikerubungi elite. Begitu pula, mana janji retoris dengan jargon-jargon klise mainan elite dan pernyataan visioner keberpihakan kepada publik.

Selain itu, publik harus dibangunkan dari ketakberdayaannya di hadapan negara dan politik. Hak-hak dan kewajiban publik ditegaskan kembali seiring dengan potensi kekuasaan yang dimilikinya dalam lokus demokrasi.

Penyair prodemokrasi, Wiji Thukul bahkan sudah lama mengingatkan kita perihal potensi kebangkitan publik ini dalam bait puisinya, Peringatan (1986):
Jika rakyat pergi
ketika penguasa pidato
kita harus hati-hati
barangkali mereka putus asa

Kalau rakyat sembunyi
dan berbisik-bisik
ketika membicarakan masalahnya sendiri
penguasa harus waspada dan belajar mendengar

Penguatan kapasitas masyarakat sipil semacam ini juga tentunya akan mengalami berbagai hambatan dan kendala dalam manifestasinya. Namun laiknya sejarah demokratisasi di Indonesia sendiri, sejatinya hal ini harus terus digaungkan untuk menggugah kesadaran publik.

Semua elemen harus aktif berpartisipasi mewujudkan hal ini sehingga kekuatan publik tak terfragmentasikan lagi. Dengan begitu, elite tak lagi menjadi subjek tunggal demokrasi dan publik pun mampu meruntuhkan sekat-sekat ilusi.

Pemaknaan kembali demokrasi ini menjadi niscaya agar ia mampu menjawab tantangan yang dihadapi publik dan tak hanya menghambakan diri pada kepentingan elite. Publik harus menjadi subjek dalam lokus demokrasi sebagaimana cita-cita demokratisasi Indonesia.

Dan khususnya bagi masyarakat Aceh yang telah memilih calon kepala daerah pilihannya dalam Pilkada Aceh 2017, momentum ini sepatutnya menjadi titik balik dalam memaknai dan mentransformasikan demokrasi yang berorientasi pada publik di aras lokal. Venceremos democratia! []
Read More...

28 Januari 2017

Media dan Narasi Rasisme dalam Olahraga

Leave a Comment
© Alex Caparros/Getty Images
Rasisme sebagai sebuah gejala akut akan klaim superioritas kelompok tertentu terhadap kelompok lainnya telah menjadi momok dalam sejarah kehidupan manusia. Konstruksi sosial semacam ini dikritik tajam karena adanya prasangka dalam melihat ‘Yang Lain’ (Other) berdasarkan basis ras dan etnisitas mereka.

Sejarah rasisme menyasar hampir seluruh dimensi peradaban manusia, dari politik, budaya, seni, hingga olahraga. Salah satu konstruksi yang kerap disalahpahami sehingga bertendensi menjadi pandangan rasis dalam olahraga yaitu adanya asumsi yang menitikberatkan pada perbedaan fisik sebagai legitimasi rasial.

Dengan pola pikir seperti ini, manusia dipisahkan berdasarkan perbedaan-perbedaan fisik dan karakteristik yang menyertainya semata. Berbagai perbedaan ini dilakabkan kepada ras atau etnik tertentu, untuk kemudian dibandingkan dengan ras atau etnik lainnya.

Perbandingan inilah kemudian yang dijadikan sebagai klaim superioritas ras atau etnik tertentu terhadap yang lainnya. Klaim ini pun kemudian menjadi stereotip sehingga baik secara sengaja atau tidak, disusun dalam ‘hierarki rasial’ dengan menempatkan ras atau etnik tertentu di atas, dan yang lainnya di bawah.

Kondisi seperti inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh media-media, utamanya di Eropa sebagai legitimasi rasial atas superioritas kulit putih terhadap ras lainnya dengan cara mengonstruksi dan membingkai (framing) tendensi rasial tertentu.

Salah satu kasus rasisme dalam olahraga di Eropa yang paling diingat publik adalah yang menimpa Ron Atkinson atau lebih dikenal sebagai ‘Big Ron’, salah seorang komentator sepak bola dan mantan pelatih beberapa klub di Inggris.

Pada 20 April 2004, klub sepak bola asal Prancis, AS Monaco baru saja mengalahkan Chelsea yang saat itu dilatih Claudio Ranieri dengan skor 3-1 dalam semifinal Liga Champions. Pemain kulit hitam Chelsea yang berasal dari Prancis, Marcel Desailly yang berposisi sebagai bek tengah dinilai bermain sangat buruk saat itu.

Big Ron saat itu menjadi komentator pertandingan untuk kanal ITV. Ketika jeda iklan, Ron melihat kembali tayangan ulang insiden yang melibatkan Desailly dalam pertandingan tersebut.

Saat itu, Ron berujar kepada Clive Tyldesley, komentator yang lain yang mendampinginya dan mengomentari personal Desailly dengan perkataan yang bertendensi rasis kepada bek Prancis itu.

Sayangnya, Big Ron tak menyadari bahwa percakapan yang dianggapnya off-record tersebut, rupanya telah tersiar ke beberapa negara di Timur Tengah di mana mikrofon di studio tersebut masih dalam mode ‘live’.

Hal tersebut memicu kemarahan publik karena Ron dinilai menggunakan kata-kata rasis. Dalam 24 jam pascainsiden itu, ia terpaksa mengundurkan diri sebagai komentator dan juga meninggalkan pekerjaannya sebagai kolumnis di koran mingguan The Guardian.

Rasisme dalam Representasi Media

Rasisme dalam olahraga, dalam hal ini di Eropa yang direpresentasikan melalui penetrasi media mulai dari radio, televisi, hingga situs berita kerap memuat prasangka-prasangka tertentu untuk menunjukkan superioritas rasial kulit putih terhadap yang lainnya.

Namun, klaim superioritas itu tak melulu tentang ‘keunggulan’, terutama dalam olahraga yang terkait dengan karakteristik fisik dari ras lain.

Dengan kategorisasi karakteristik fisik, kadang ‘keunggulan’ ras lain justru dijadikan sebagai legitimasi rasial, dengan begitu menjadikannya berbeda dengan kulit putih. Pada akhirnya, sebagaimana hierarki di atas, ras lain tetap diklaim ‘beda level’ dengan kulit putih.

Kevin Hylton dalam bukunya, ‘Race’ and Sport: Critical Race Theory (2009) mencatat, stereotip yang paling umum dalam hubungan antarras ini terkait dengan sisi atletik atau fisik atlet kulit hitam. Ada asumsi umum bahwa atlet kulit hitam lebih baik dari atlet kulit putih karena mereka ‘secara genetis berbeda dan secara fisik lebih superior dari atlet kulit putih’.

Kesalahan dari pola pikir semacam ini yang melihat kesuksesan atlet kulit hitam hanya karena diklaim berbeda dan lebih superior secara fisik justru melupakan sisi pencapaian yang diperoleh dari dedikasi dan kerja keras.

Hal ini kemudian dikonstruksi oleh media dengan justifikasi bahwa atlet kulit putih, yang dinilai secara genetis dan fisik lebih inferior dari kulit hitam, harus berlatih lebih keras agar bisa menyamai ‘level’-nya atlet kulit hitam.

Anehnya, konstruksi yang dibangun oleh media ini, pada akhirnya tetap menempatkan ras kulit putih sebagai yang lebih superior. Kesuksesan atlet kulit putih dalam olahraga diapresiasi lebih tinggi karena klaim ‘kelemahan’ mereka secara genetis dibandingkan atlet kulit hitam justru bisa dilampaui dengan semangat latihan yang lebih keras hingga berbuah prestasi.

Analisis Hylton terhadap pemberitaan dua media terkemuka di Inggris, Observer Sport Monthly (OSM) dan Sports Illustrated (SI) menemukan adanya kecenderungan pemberitaan yang mengasosiasikan atlet dengan negara garis keturunan keluarga dan mengabaikan kewarganegaraan dari negara yang direpresentasikannya dalam suatu ajang olahraga.

Contohnya, dalam OSM, pemain rugbi asal Prancis, Serge Betson ditulis sebagai ‘pemain kelahiran Kamerun.’ Pemain rugbi asal Prancis lainnya, Serge Blanco juga lebih ditonjolkan identitas negara kelahirannya, Venezuela ketimbang kewarganegaraannya. Begitu pula dengan pesepakbola AS, Joe Gaetjens yang disebut sebagai ‘striker kelahiran Haiti.’

Bahkan, SI secara lebih eksplisit memberikan penekanan pada asosiasi identitas atlet ini dalam berita-beritanya. Simak saja, pelari AS, Bernard Lagat dilabeli sebagai ‘orang Kenya yang menjadi warga AS.’ Atau, perhatikan kalimat SI berikut saat mendeskripsikan beberapa pemain sepak bola AS yang sedang bersinar saat perhelatan Piala Dunia 2006:

Landon Donavon, seorang pemalu, penyerang yang secepat kilat, tumbuh besar berbicara dalam bahasa Spanyol dengan rekan-rekan Latino-nya di lapangan sepak bola di California Selatan. DaMarcus Beasley, gelandang Afrika-Amerika yang supel, . . .Oguchi Inyewu, bek berbadan besar dari dari pinggiran Kota Washington D.C., adalah anak seorang imigran Nigeria.

Selain itu, media tersebut juga mencampuradukkan berbagai identitas atlet (seperti ras, agama, negara kelahiran, dan kategori sosial lainnya) sehingga menjadi tumpang-tindih dalam penyebutannya. Hylton menyebut model ini sebagai ‘hibridisasi’ (hybridisation) identitas atlet.

Sebagai contoh, dalam OSM, petinju Amir Khan dikategorikan sebagai atlet berkebangsaan ‘Inggris-Muslim-Pakistan’ (British-Muslim-Pakistani). Sementara pemain kriket Monty Panesar merupakan ‘Inggris-India’ (British-Indian) atau ‘Inggris-Sikh’ (British-Sikh).

Berbagai relevansi kriminalitas dan sifat buruk pun tak luput dikaitkan dengan atlet kulit hitam ini. Walau pun atlet kulit putih juga diberitakan jika melanggar hukum, namun Hylton menekankan pemberitaan tentang mereka tak seintens atlet kulit hitam. Dengan begini, akan muncul konstruksi bahwa yang identik dengan kriminalitas itu hanyalah atlet kulit hitam.

Dalam kasus SI, beberapa kalimat yang dituliskan untuk berita selama perhelatan Piala Dunia 2006, di antaranya:

‘Andray Blatche – walau pun tanpa bukti atau dakwaan terhadapnya, dia dikaitkan dengan kejahatan bersenjata api dan perampokan mobil.

‘Marcus Vick - dikaitkan dengan kejahatan bersenjata api dan kurang disiplin.

‘Ramonce Taylor – didakwa tindak pidana berat karena kepemilikan ganja. . .

Sementara OSM menggambarkan karakter atlet kulit hitam dengan citra negatif yang membedakan mereka dengan atlet kulit putih sebagai berikut:

‘Pemain Kolombia, Ivan Kaviedes ‘terkenal sangat temperamental . . . diberikan sanksi oleh klub dan timnas karena sikap indisipliner.’’

‘Penyerang kulit hitam Swedia, Zlatan Ibrahimovich ‘berbakat tapi tak bisa diprediksi . . . setengah balerina, setengah gangster.’’

‘Yamba Asha ‘anak nakal Angola.’’

Masih banyak bentuk atau mode digunakan media dalam mengonstruksikan tendensi rasisme terkait dengan atribut rasial yang melekat pada seorang atlet olahraga ini. Pun begitu, tak semuanya bisa dinarasikan dalam ruang yang terbatas ini.

Namun, setidaknya kita bisa merefleksikan satu hal: masih ada banyak persoalan dalam pelaksanaan event-event olahraga saat ini, salah satunya terkait rasisme. Sialnya, media pada titik tertentu justru hadir untuk menegaskan konstruksi sosial tersebut secara tendensius.

Problem rasisme masih menjadi kendala dan kerap menjadi perusak suasana ketika olahraga sebagai ekspresi universal dipersempit maknanya hanya untuk mengukuhkan legitimasi superioritas rasial tertentu terhadap ‘Yang Lain’.

Konstruksi seperti inilah yang harus dilawan. Olahraga bukan hanya monopoli kelompok dengan identitas tertentu. Tak ada kelompok rasial yang lebih superior dibanding dengan kelompok lain. Karena itu, olahraga harus menghapuskan prangka-prasangka yang merendahkan kemanusiaan ini.

Sebagai sebuah aktivitas fisik dan mental yang kompetitif, olahraga harus mengedepankan semangat egaliter, menghormati lawan serta menjunjung asas ‘fair play’ dan sportivitas dalam pelaksanaannya sebagai prasyarat berlangsungnya ritus sosial yang menghibur, adil dan bermartabat. Say no to racism! [] 

Kolom Sport Warta Unsyiah Edisi 205/November 2016
Read More...

20 Januari 2017

Kenyinyiran dan Realitas Pascakolonial Sehari-hari

Leave a Comment
© lilibernard.com
Ketika energi habis terkuras untuk mengomentari sesuatu hal belum terang benar diketahui faktanya, ketika kata-kata berseliweran memenuhi ruang sosial kita, dan setiap orang berlomba-lomba memaksakan kehendak pikirannya, ada baiknya kita menghela nafas sejenak. Menjaga jarak. Mengatur langkah. Bisa jadi, suatu saat gejala itu juga akan menular dan merasuki nalar kita.

Nyinyir sebagai penyakit bisa menjangkiti siapa saja. Tak menggubris status sosial. Cuma dibutuhkan sedikit bumbu sentimen dan kelatahan saat menjaring dalam era tsunami informasi ini, sempurnalah ia. Lalu mengumbarnya dengan kata-kata sebagai deskripsi sentimen yang kemudian narasinya diulang berkali-kali. Menjadi individu yang nyinyir itu semudah menekan tombol share di media sosial.

Saat ini, kenyinyiran tak lagi dianggap sebagai sinonim intoleransi. Ia telah menjadi semacam senjata yang digunakan baik untuk menyerang maupun untuk bertahan; menyerang argumentasi orang lain, dan mempertahankan argumentasi sendiri. Penilaiannya bukan pada benar dan salah, namun sejauh mana mereka mampu ‘memenangkan’ argumentasi mereka dalam kontestasi publik.

Mungkin, secara serampangan jika meminjam bahasa Michel Foucault dalam The Order of Things (1970), kita bisa menyatakan bahwa ‘kemenangan kenyinyiran’ ini dikategorikan sebagai episteme alias narasi pengetahuan baru; ‘episteme kenyinyiran’ yang membuat kita tunduk dan memercayainya sebagai kebenaran yang otoritatif, sebagaimana episteme Orde Baru-nya Soeharto dulu.

Yang jelas, kenyinyiran yang terus direproduksi secara terus-menerus baik di media sosial maupun kehidupan sehari-hari, bisa jadi akan menempel dalam ingatan banyak orang, dan tanpa pengamanan nalar yang kuat akan memutarbalikkan logika, sehingga dianggap sebagai kebenaran.

Fenomena inilah yang terjadi saat ini. Gejalanya terlihat saat dipilihnya kata ‘post-truth’ (pasca-kebenaran) sebagai Kata Tahun Ini oleh kamus Oxford English. Kata ini didefinisikan sebagai suatu keadaan di mana emosi dan keyakinan personal lebih berpengaruh dalam membentuk opini publik ketimbang fakta objektif.

Terpilihnya kata ini dinilai berhubungan dengan fenomena Brexit (British Exit) dari Uni Eropa dan kemenangan Donald Trump dalam Pilpres Amerika Serikat beberapa waktu lalu. Bisa dikatakan, walau hanya dugaan belaka, ini merupakan ulah dari salah satu kenyinyiran massal terbesar di dunia.

Kenyinyiran yang hanya memuat nilai-nilai mudarat, seperti nyinyir perkara uang baru, tafsir agama atas perkara tertentu, superioritas asing-pribumi, dan kontroversi mayoritas-minoritas ini (sila diperpanjang sendiri daftarnya) hanya akan menguras energi serta nirguna. Jika yang dimaksudkan adalah debat sistematis atau kritik yang konstruktif dengan mengedepankan asas bijak bestari, itu sudah lain persoalan.

Seiring waktu, klimaks dari kenyinyiran ini kian mengentalkan nuansa permusuhan dan kebencian sentimental, dan yang pasti akan bermuara pada pengkotak-kotakan tendensius berkonotasi negatif dalam wujud pelabelan; fundamentalis, fasis, asing, liberal, komunis, kafir dan berbagai varian dan turunan-turunannya yang terus diproduksi untuk memenuhi nafsu penghujatan terhadap perbedaan.

Nyaris tak ada lagi debat tentang perjuangan mati-matian masyarakat melawan korporasi yang melakukan perampasan tanah dengan dibekingi tentara, misalnya. Atau diskusi terkait konsep pembangunan yang mengakomodasi konteks lokalitas masyarakat setempat. Yang ada hanyalah prasangka berbalut kebencian dan pelabelan.

Jika sudah begini, yang pasti pikiran kita sudah tak steril lagi. Sudah terkontaminasi alergi perbedaan. Mungkin sebagai refleksi, ada baiknya kita menapak tilas sejenak ke masa kolonialisme dulu.

Zaman kolonialisme merupakan masa terkelam dalam sejarah bangsa-bangsa yang (lagi-lagi) dilabel sebagai Dunia Ketiga, karena selain dieksploitasi (tentunya dalam wujud perang, pemaksaan, dan berbagai variasi kekerasan lainnya) alam dan orang-orangnya, secara mental mereka juga ‘dikerdilkan’.

Pramoedya Ananta Toer (semoga dilapangkan kuburnya) dalam Tetralogi Pulau Buru secara antagonistik mendeskripsikan bagaimana sentimen penjajah (colonizer), yaitu Belanda dan yang-dijajah (colonized), rakyat Indonesia pada masa itu.

Dalam Bumi Manusia, Pram menarasikan bagaimana label negatif terhadap karakter tokoh pertama bernama Minke, yang diceritakan sebagai salah-ucap guru Belanda-nya dari kata monkey alias monyet, sebagai representasi pribumi waktu itu.

Hindia Belanda sebagai cikal bakal Indonesia saat itu menjadi saksi bagaimana mental superioritas kulit putih Belanda terhadap pribumi, atau yang dalam bahasa Belanda dilabeli sebagai inlander. Kata ini sebenarnya hampir mencakupi semua stereotip pribumi sebagai bangsa yang tak memiliki kepercayaan diri, terbelakang, primitif, kolot, tidak beradab serta konotasi negatif lainnya.

Dalam tatanan sosial, pribumi menduduki tingkatan paling rendah di bawah Eropa Peranakan dan Eropa Totok (Eropa asli). Karenanya tak heran dalam permasalahan hukum, pengadilan pribumi pun berbeda ‘kasta’ dengan Pengadilan Belanda yang khusus untuk Eropa.

Mertua Minke, Nyai Ontosoroh hingga kehabisan akal untuk mendeskripsikan watak rasis kolonialisme Belanda ini. Dalam satu kesempatan, ia berujar kepada Minke:

Memang begitu kehidupan kolonial di mana saja: Asia, Afrika, Amerika, Australia. Semua yang tidak Eropa, lebih-lebih tidak kolonial, diinjak, ditertawakan, dihina, hanya untuk berpamer tentang keunggulan Eropa dan keperkasaan kolonial, dalam segala hal – juga kejahilannya. Kau sendiri jangan lupa, Minke, mereka yang merintis ke Hindia ini – mereka hanya petualang dan orang tidak laku di Eropa sana. Di sini mereka berlagak lebih Eropa. Sampah itu.” (Bumi Manusia, hal 416)

Jika bukan karena kekayaan alam dan rempah-rempahnya, mungkin Belanda tak akan terpikir untuk menjadikan Indonesia sebagai koloninya. Karena faktor ini pula, kolonialis memberikan label ‘eksotis’ kepada tiap daerah jajahannya. Tentunya masih dalam makna negatif khas Eurosentrisme; ‘si Seksi’ yang kapan saja siap dieksploitasi, baik alam maupun orang-orangnya demi kepentingan dan keuntungan penjajah sendiri.

Pakar kajian Melayu, Syed Hussein Alatas (1977) bahkan sampai membongkar pelabelan ini, utamanya label ‘pemalas’ pada pribumi oleh kolonial. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa label yang dimaksud hanyalah mitos yang disematkan secara serampangan oleh Eropa di tengah carut-marutnya eksploitasi terhadap pribumi oleh kelas berkuasa, yaitu sang penjajah sendiri dalam mode kapitalisme kolonial.

Demikianlah. Eksploitasi predatoris dan kenyinyiran penjajah Eropa dengan penyematan berbagai label buruk sangka terhadap pribumi ini telah tercatat dalam sejarah kolonialisme sebagai kejahatan kemanusiaan. Sebuah retakan peradaban yang lukanya masih berparut di atas muka bumi.

Dan hari ini, di salah satu negara pascakolonial, generasi Millennial-nya sibuk menuding orang lain yang dianggap berbeda dengan dirinya dengan bahasa yang menyinyir.

Apakah mereka tak membaca sesuatu dari sejarah, terutama sejarah penjajahan di tanahnya sendiri? Apakah mereka ingin mengulang kembali narasi nyinyir kolonial, dan hendak menjadikannya sebagai episteme yang membenarkan pelabelan kelompok tertentu terhadap kelompok lainnya?

Sepertinya, generasi Indonesia pascakolonial yang nyinyir ini tak sempat meluangkan waktu sejenak merasakan bagaimana pedihnya penderitaan moyang mereka sendiri dihina dan dinyinyiri secara fisik dan mental oleh sang kolonial. Kalau sudah begini, mubazir saja fakta sejarah kolonialisme berabad lamanya itu dinarasikan. Dan mereka tentunya kembali larut dalam fantasi superioritas semu pengkotak-kotakan manusia.

Pada akhirnya, kenyinyiran celaka ini hanya akan merendahkan kemanusiaan. Menghina martabat manusia, menafikan akal, dan meleburkan esensi manusia hanya menjadi seonggok daging yang dituding dengan mitos-mitos palsu belaka. Persis seperti yang dilakukan para penjajah dulu terhadap pribumi.

Jika hal ini diteruskan dalam kehidupan sehari-hari dan dianggap sebagai perkara biasa, maka mereka jelas sama jahanamnya dengan watak para penjajah.

Mungkin, ada baiknya kita menghela nafas sejenak. Menjaga jarak. Mencoba merefleksi sembari menyeruput secangkir kopi, sebagai kritik (terutama bagi saya sendiri), apakah kita termasuk kaum yang kerap menjadikan perbedaan dari orang lain sebagai bahan nyinyiran? Atau melabeli orang lain dengan buruk karena faktor sentimental? Jika iya, berarti mental kolonial belum luntur dari pikiran, dan karena itu kemanusiaan kita masih perlu dipertanyakan.

Karena bagaimana pun, pesan Pram yang disampaikan melalui tokoh Jean Marais kepada Minke tetap harus diinternalisasi dalam kearifan kita, bahwa “seorang terpelajar harus juga belajar berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan”.

Ini yang harus menjadi titik tolak kontemplasi kita. Perbedaan bukanlah merupakan legitimasi untuk merendahkan nilai-nilai kemanusiaan.

Tak ada kelompok manusia yang lebih superior atau inferior dibanding kelompok yang lain. Itu hanya mitos kuno yang salah satunya direproduksi oleh mode kolonialisme. Atau, jangan-jangan kita memang sudah tak mampu lagi bersikap adil, dan mulai nyinyir sejak dalam pikiran? []
Read More...

13 Januari 2017

Solidaritas Melampaui Rivalitas

Leave a Comment
© Chris Brunskill/AMA
Tragedi kecelakaan pesawat klub sepak bola Brasil, Chapecoense yang jatuh di Medellin, Kolombia sebelum sempat menjalani pertandingan leg pertama final Copa Sudamericana 2016 melawan Atletico Nacional de Medellin, Selasa dinihari, 29 November 2016 menyisakan duka yang begitu mendalam.

Tak hanya penggemar sepak bola, kecelakaan yang menewaskan 71 orang dari 81 penumpang, terdiri dari para pemain, jurnalis, dan kru klub tersebut merupakan duka bagi dunia. Ucapan belasungkawa dan doa pun disampaikan oleh berbagai pihak sebagai wujud solidaritas.

Bahkan, sebagai penghormatan bagi mereka, klub Kolombia, Atletico Nacional yang seharusnya menjadi rival mereka di final Copa Sudamericana, meminta kepada Konfederasi sepak bola Amerika Selatan (Conmebol) untuk menyerahkan gelar juara turnamen tersebut kepada Chapecoense.

Sejumlah klub Brasil yaitu Corinthians, Santos dan juara bertahan Palmeiras juga menyatakan solidaritasnya dengan menawarkan pemain mereka untuk dipinjamkan Chapecoense. Bahkan, mereka pun meminta kepada otoritas liga agar Chapecoense dibebaskan dari tuntutan degradasi selama tiga musim ke depan.

“Dalam hal ini, klub menyatakan solidaritas kepada Chapecoense, di antaranya (I) Pemain pinjaman gratis untuk musim 2017, (II) Permohonan resmi kepada Konfederasi Sepak Bola Brasil agar Chapecoense tidak menjadi subjek degradasi ke Serie B selama tiga musim ke depan. Jika Chapecoense finis di urutan empat terbawah, tim yang berada di posisi ke-16 yang akan terdegradasi,” demikian pernyataan klub sebagaimana dilansir Goal.com, Rabu, 30 November 2016.

Bagi sebagian penggemar klub sepak bola, utamanya klub di Liga Inggris, mungkin tawaran solidaritas bagi korban tragedi seperti di atas terdengar familiar.

58 tahun silam, tepatnya 6 Februari 1958, merupakan hari terkelam dalam sejarah sepak bola di Inggris dan dunia ketika beberapa pemain Manchester United yang saat itu terkenal dengan julukan “Busby Babes” tewas akibat kecelakaan pesawat di Munich, Jerman Barat. Saat itu, United baru kembali dari pertandingan Piala Eropa melawan Red Star Belgrade. 20 orang dari 44 penumpang tewas, termasuk delapan pemain United.

Simpati datang dari berbagai arah. Klub raksasa Spanyol, Real Madrid yang saat itu baru saja memenangkan Piala Eropa, bersimpati dan meminta agar trofi Piala Eropa mereka diberikan kepada United. Madrid juga menawarkan pemain legendaris mereka, Puskas namun tak bisa dibawa United karena adanya larangan FA terkait pemain luar Inggris.

Legenda Madrid lainnya, Alfredo Di Stefano juga ditawarkan untuk dipinjamkan kepada United, yang ditolak secara halus oleh United karena dinilai tak sanggup memenuhi bayaran gajinya.

Bahkan rival United sejak dulu hingga saat ini, Liverpool tak luput mengulurkan tangan solidaritas. Manajer Liverpool saat itu, Bill Shankly, laiknya Palmeiras dan klub Brasil di atas, menawarkan lima pemain inti mereka sekaligus kepada United yang gajinya ditanggung Liverpool.

Dalam film United (2011) digambarkan bagaimana Jimmy Murphy, asisten manajer United saat itu, Matt Busby kelimpungan mencari pemain lain untuk menggantikan mereka yang tewas.

Bahkan, Bobby Charlton yang saat itu merupakan pemain yang selamat dari kecelakaan dan kini menjadi salah seorang legenda hidup United, sempat tak mau kembali ke Old Trafford karena trauma.

Dalam salah satu adegan, tampak bagaimana Murphy sibuk menelepon koleganya untuk mencari pemain. “Halo, ini Jimmy Murphy. Ya... aku sedang mencari pemain. Jujur saja, jika dia bisa berlari dan tahu bagaimana bentuk bola, aku akan membawanya,” tutur Murphy, pasrah.

Dari adegan tersebut, setidaknya bisa dibayangkan bagaimana dampak sebuah tragedi terhadap keberlanjutan dan kehidupan klub, persis seperti yang sedang dialami Chapecoense saat ini. Dan dalam film yang sama diceritakan bahwa sekretaris Murphy menerima surat di antaranya dari Liverpool dan Nottingham Forest yang menawarkan pemain serta pertolongan lainnya yang dibutuhkan.

Direktur Football Industry Group di University of Liverpool, Rogan Taylor hingga menyimpulkan bahwa faktor yang menjadikan United sebagai klub terbesar di dunia, salah satunya adalah karena tragedi tersebut. “Saya pikir tak bisa dipungkiri, hal ini benar. [Memang] bukan satu-satunya alasan yang membuat Manchester United menjadi klub terbesar di dunia, namun tak diragukan lagi inilah faktor yang berpengaruh, sebuah kisah yang tragis,” ujarnya dalam sebuah wawancara dengan BBC.

Bisa dikatakan, United “berbenah” pascatragedi itu hingga menjadi salah satu klub terbesar di dunia saat ini. Dan, di antara berbagai usaha bangkit dari keterpurukan tersebut, terselip banyak uluran tangan dan bantuan dari berbagai pihak, tak terkecuali dari rival sendiri.

Mantan manajer United, Sir Alex Ferguson dalam bukunya, Alex Ferguson, Autobiografi Saya (2013) menuturkan bagaimana ia menghormati Liverpool, rivalnya itu saat memperingati publikasi laporan terkait tragedi Hillsborough pada 2012 lalu. Tragedi Hillsborough merupakan peristiwa tewasnya 96 fans Liverpool akibat berjejalan dalam stadium Hillsborough, kandang Sheffield Wednesday, Sheffield pada 15 April 1989.

Menyambut peristiwa bersejarah bagi fans Liverpool yang berjuang mencari keadilan terkait peristiwa tersebut, Ferguson mengatakan, “Rivalitas kami dengan Liverpool sangat intens. Selalu. Tetapi, di balik permusuhan itu ada rasa saling menghormati. ...Apa pun permintaan Liverpool untuk peringatan itu [Tragedi Hillsborough] kami kabulkan, dan kami mengapresiasi usaha mereka.”

Pada akhirnya, sepak bola bukan hanya tentang kompetisi, kemenangan, statistik pertandingan atau kalkulasi untung-rugi semata. Lebih dari itu. Ia merefleksikan perjuangan, dedikasi, totalitas, loyalitas, dan nilai-nilai penghormatan kepada lawan.

Dalam masa-masa berduka seperti saat ini, mengutip Aristoteles, sepak bola dunia menunjukkan wajah philia; wajah persahabatan dan cinta yang meleburkan bongkahan-bongkahan kebencian dan ketidakpedulian. Semua bersatu dalam luka tragedi, menepikan sejenak ego, kompetisi, dan rivalitas untuk merayakan kasih sayang atas nama kemanusiaan. Hal-hal seperti inilah yang membuat sepak bola terasa indah, selalu “hidup” dan tak pernah membosankan.

Maka jika ada generasi Millennial fans klub sepak bola yang selalu melihat persaingan antarklub sepak bola sebatas pertarungan hitam-putih (sebagaimana sebagian besar masyarakat Indonesia pascakolonial (juga termasuk saya sendiri) melihat sejarah kemerdekaan republik ini dalam kerangka yang-jahat dan yang-baik bak dalam sinetron) serta nyinyir dengan prestasi klub kebanggaannya hari ini tanpa (mau) tahu sejarah, filosofi, dan latar belakang klub yang didukungnya seperti apa, harap dimaklumi saja.

Mungkin, mereka tak tahu bahwa Cristiano Ronaldo pernah berkunjung ke Banda Aceh pascatsunami pada 2004 bersimpati kepada para korban tsunami dan bertemu dengan Martunis, bocah yang selamat serta sempat bergabung bersama tim akademi Sporting Lisbon sejak Juni 2015 atas prakarsa “ayah angkat”-nya, Ronaldo.

Atau, kisah tentang hubungan Subcomandante Marcos, pimpinan Zapatista Army of National Liberation (EZLN), sebuah gerakan di Meksiko yang memperjuangkan hak-hak warga pribumi di Chiapas, Meksiko dengan klub Serie A Italia, Inter Milan di mana kapten Inter saat itu, Javier Zanetti menunjukkan rasa simpati untuk perjuangan gerakan tersebut.

Masih banyak hal-hal lain dari sepak bola yang tak hanya mendeskripsikan sikap-sikap predatoris sebagai sebuah klub yang berkompetisi dalam turnamen, namun juga aksi-aksi simpatik dalam wajah philia-nya. Persis seperti dirasakan sepak bola dunia saat ini yang sedang berduka untuk Chapecoense.

Tragedi Chapecoense adalah duka bagi sepak bola, dunia, dan kita semua. Bisa jadi, suatu saat nanti, laiknya kisah United, Chapecoense juga akan menjelma sebagai klub terbesar di zamannya. Salah satunya karena dukungan dan bantuan dari klub-klub lain yang bersimpati dalam solidaritas yang melampaui rivalitas dan sepak bola itu sendiri. Força Chapecoense! []

Read More...

4 Januari 2017

Penyala Semangat Anak-anak Hebat

Leave a Comment
© Dok Pribadi
Bayi laki-laki di gendongan perempuan itu sesekali menangis. Ada benjolan di antara hidung dan mata kiri serta di kulit kepala sebelah kirinya. Muhammad Asril, bayi berusia 6 bulan itu mengidap hydrocephalus. Ia baru menjalani operasi pengalihan cairan otak yang menumpuk di kepalanya di Rumah Sakit Zainoel Abidin (RSUZA) Banda Aceh, awal Maret lalu.

Asril bersama ibunya, Aminah saat ini tinggal di Rumah Singgah Children Cancer Care Community (C-Four), yaitu rumah yang disediakan relawan C-Four Aceh di di Lorong Blang Cut, Lambhuk, Banda Aceh.

Rumah Singgah ini diresmikan sejak 24 Desember 2015 lalu sebagai tempat tinggal sementara bagi anak-anak penderita kanker yang sedang berobat di RSUZA.

“Sudah dua bulan,” ujar Aminah, malu-malu ketika ditanya berapa lama sudah tinggal di Rumah Singgah.

Mengenang kisah Aminah dan anaknya, membuat Ratna Eliza, sosok yang beberapa tahun terakhir mendampingi anak-anak kanker di Rumah Singgah itu, sedih. Sembari menyuapi Asril, ia menceritakan awal mula pertemuannya dengan perempuan asal Krueng Geukeuh, Aceh Utara itu.

Ratna tahu perihal Aminah dari Laila Wati, ibu dari Ajrina Marla, anak pengidap kanker rhabdomsyarcoma yang sudah duluan tinggal di Rumah Singgah dan saat itu sedang berada di ruang Pediatric Intensive Care Unit (PICU) RSUZA setelah menjalani operasi.

Sewaktu di ruang PICU itu, Laila melihat Aminah sedang tertidur di tangga rumah sakit tersebut. Tak berpikir lama, Laila langsung menghubungi Ratna.

“Ada pasien saya lihat, Bu. Kasihan,” ujar Ratna, menirukan ucapan Laila. “Malam itu langsung saya turun. Lalu saya bawa ke sini (Rumah Singgah).”

Lebih memiriskan lagi, Ratna baru tahu jika suami Aminah meninggalkan istrinya itu ketika Asril masih dalam kandungan. “Lima bulan kandungan, suaminya lari ke Jawa,” tutur Ratna.

Ratna mengungkapkan, sewaktu pertama kali membawa Asril berobat ke Banda Aceh, Aminah meminjam uang dari tetangganya.

“Waktu sudah ke sini (Rumah Singgah), udah dikasih duit, baru dia lunasin,” kenang Ratna.

Saat ini, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dirinya dan si kecil Asril selama tinggal di rumah tersebut, Aminah berjualan berbagai macam jenis gorengan.

Sebenarnya, untuk biaya operasi dan perawatan anak di rumah sakit tak perlu bayar lagi, sementara kebutuhan sehari-hari selama di Rumah Singgah, C-Four yang menanggung. Termasuk masalah transportasi jika Aminah dan anaknya hendak pulang ke kampung.

Tapi, ia memilih berusaha sendiri sambil bantu-bantu dan merawat anaknya di Rumah Singgah tersebut bersama relawan C-Four lainnya.

Mengingat anak-anak pengidap kanker yang pernah didampingi C-Four seperti Aminah dan anaknya membuat perasan Ratna campur aduk. Sedih, senang, kecewa, dan marah berkecamuk dalam benaknya.

Semuanya bermula awal Januari 2014 lalu. Saat itu, Ratna tinggal di rumahnya di Beurawe, Banda Aceh. Suatu hari, Ratna melihat seorang anak turun dari becak dengan ibunya. Namanya Annisa Alqaisya Funnari, usia 4 tahun asal Lhokseumawe.

Ada benjolan besar yang memenuhi leher anak itu. Ratna mengira itu gondok. “Karena mau tahu, saya datangi. Saya tanya, kenapa, gondok ya?” tanya Ratna waktu itu. “Bukan, Bu. Ini kanker,” sahut ibunya.

Ratna terkejut karena tak mengira benjolan kanker yang sangat besar. Ibunya cerita, Annisa hendak dirujuk RSUZA ke RS Dharmais, pusat penanganan kanker di Jakarta. Tapi tak punya biaya untuk transportasi dan kebutuhan hidup di sana nanti.

“Oke, saya bantu, karena kasihan saya lihat,” kata Ratna.

Lalu, Ratna membawa mereka ke Dinas Sosial Aceh. Ia meminta bantuan dana untuk biaya pengobatan Annisa di Jakarta. Namun, orang yang dijumpai di Dinsos itu mengaku tak ada plot dana khusus untuk kasus seperti ini. Ratna bingung.

“Sempat juga saya bilang ke Bapak itu, aneh ya, saya bukan orang Aceh, tapi peduli sama anak Aceh. Tapi kenapa orang Aceh kok nggak peduli ya?”

Mendengar pengakuan demikian, akhirnya bapak tersebut memberikan uang pribadinya sekitar Rp400 ribu. Ratna meyakinkan mereka bahwa ia akan tetap membantu mereka untuk dapatkan dana.

Pascakejadian itu, Ratna berpikir. Kalau terus begitu, ia tak tahu harus minta bantuan kepada siapa. “Saya pendatang dan nggak kenal orang-orang di sini,” akunya. Ratna berasal dari Palembang dan menikah dengan suaminya dari Pidie.

Akhirnya, ia berinisiatif mengunggah foto-foto anak yang menderita tumor atau kanker di media sosial Facebook. Ternyata foto-foto itu mendapatkan respons dari teman-teman semasa SMP Ratna di Palembang dan mengirimkan sejumlah uang.

Dan akhirnya, Annisa jadi berangkat ke Jakarta.

Ketika hendak mendampingi Annisa ke Jakarta, Ratna mendapati kabar ada anak umur 1 tahun menderita retinablastoma atau kanker mata stadium lanjut di RSUZA, Airan Barat dari Subulussalam.

Kedua bola mata anak itu menyembul keluar. Ketika menangis, darah dan nanah turut mengalir dari matanya. Bola mata sebelah kanan sudah berukuran hampir sebesar bola kasti. Mendapati kenyataan itu, Ratna merasa sangat terpukul.

“Saya seharian tidak bisa tidur, nangis. Karena memikirnya matanya si Airan ini. Kita bisul saja sakit, apalagi kayak gini,” kata Ratna.

Ia merasa tak sanggup melihat dan membayangkan kondisi bocah penderita kanker mata dalam kondisi separah itu. Namun Ratna mulai berpikir lagi. Tangisnya itu tak akan menyelesaikan masalah.

“Saya menyalahkan Tuhan tak mungkin. Sedangkan kita sebagai ciptaan-Nya, ya harus menerima.”

Sejak momen itu, Ratna pun memutuskan bertekad dalam hatinya; lihat Airan, tapi tidak menangis. Ratna pun mendampingi Airan, hingga bola mata bocah itu tak lagi menyembul dan mengeluarkan darah.

Ia juga menceritakan perihal Airan pada anggota Komisi IV DPRA yang membidangi Kesehatan dan Pendidikan, Darwati A Gani, dan turut membantu pengobatan Airan.

Hingga akhirnya bocah itu meninggal setelah menjalani kemoterapi ketiga, 23 Maret 2014 pada usia 1,5 tahun.

Pascakejadian itu, Ratna kembali terpukul. Ditambah beberapa kasus anak kanker lain yang didampinginya yang juga tak terselamatkan, Ratna sempat vakum selama hampir setahun.

“Saya down waktu itu. Melihat anak-anak meninggal, saya merasa tak bisa kasih harapan untuk mereka,” tuturnya.

Ia merasa sangat bersedih ketika mengenang kondisi keluarga mendiang Airan. Bapak dan ibu Airan adalah salah satu keluarga kurang mampu yang tinggal di Subulussalam.

“Waktu itu saya tanya ke bapaknya Airan, ‘kok bisa mata anaknya bisa kayak gini?’ Katanya ada sesuatu di matanya, lalu dibawa ke Puskesmas, dikasih salep.”

Namun matanya tak kunjung sembuh. Ratna lalu bertanya lagi, setelah itu dibawa kemana. Bapaknya bilang Airan dibawa ke dukun. Di sana, menurut pengakuan bapaknya, Airan “disembur pakai daun sirih.”

“Saya bilang, ‘Lho, itu mulut dukun, steril nggak?’ Nggak tahu saya, Bu, katanya. Itulah, dari tingkat pengetahuan orang tua, nggak tahu ya, penyakit anak itu apa,” tutur guru di SMA Labschool Unsyiah itu.

Ratna juga mempertanyakan kinerja tenaga medis, terutama yang ada di daerah yang terkesan tak terlalu memedulikan kondisi anak yang butuh penanganan serius seperti kanker dan tumor ini.

Seperti kasus mendiang Airan yang hanya dikasih salep, padahal dia mengalami kanker mata, bukan iritasi biasa.

“Tenaga medis itu kan harusnya memang lebih peduli pada penanganan pasien. Kalau di daerah banyak kita dengar, misalnya Puskesmas cepat sekali tutup, dokter nggak ada, gimana mau tangani kasus-kasus seperti ini?” protes Ratna.

Ia mencontohkan kasus yang menimpa Aminah, ibunya Asril.

Saat itu, masa berlaku rujukannya di RSUZA sudah habis. Namun pihak RSUZA terkesan mempersulit adminstrasi dengan mewajibkan Aminah membuat rujukan di RS di Aceh Utara dengan membawa serta anaknya, Asril ketika membuat rujukan di sana.

“Apa salahnya bisa diperpanjang, ya bisalah dibantu di sana. Tapi ini nggak, kan kasihan kita,” kata Ratna.

Namun, Ratna mengancam. Jika nanti Ratna masa berlaku rujukan Aminah sudah habis lagi dan ketika membuat rujukan masih dipersulit administrasinya, “Saya akan ngadu ke DPRA!” cetus Ratna.

Selain tenaga medis, pejabat di kabupaten/kota juga terkesan tak peduli dengan nasib anak-anak kanker ini.

“Pemerintah, dinas sosial, turunlah. Lihat kondisi anak-anak ini. Kita tak berharap muluk-muluk, kasih seikhlasnya saja. Dengan adanya perhatian dari instansi pemerintah ini, orang tua akan senang ngobatin anaknya,” ujar Ratna.

Belum lagi stigma masyarakat terhadap anak-anak kanker ini juga membuat Ratna geleng-geleng kepala. Ia tak habis pikir, saat ini masyarakat masih berpandangan negatif terhadap derita yang dialami anak-anak ini.

Ratna menuturkan, sewaktu mencari rumah sewa untuk dijadikan sebagai Rumah Singgah dulu, ia harus mengurut dada. Tiga kali ia harus bernegosiasi menyewa rumah, namun semua ditolak pemiliknya.

Sebenarnya, kata Ratna, salah satu pemilik rumah itu sudah setuju menyewakan. Namun, ketika Ratna bilang rumah itu merupakan penampungan anak-anak kanker, sang pemilik menolak dengan halus.

Alasan pemilik rumah itu menolak, kata Ratna mengutip pemilik rumah itu, karena “tetangga saya nggak enak lihat anak-anak kanker botak-botak.”

Namun, sedemikian banyak halangan dan kendala yang dihadapi Ratna untuk membantu dan mendampingi anak-anak penderita kanker, pada akhirnya justru hanya akan membuat Ratna kian tegar.

“Anak-anak hebat bukanlah anak-anak kanker. Mereka adalah pejuang sebenarnya. Bukan kita yang ngajarin mereka, kitalah yang seharusnya belajar dari mereka.”

Hal itu pula yang selalu ditularkan Ratna kepada setiap orang tua dari anak-anak penderita kanker.

“Orang tua nggak boleh sedih, harus kuat. Karena anak-anak ini kan kontak batinnya ke orang tua. Jika orang tua kuat, anak akan kuat. Saat orang tua itu nangis, anak itu akan down,” ungkap Ratna.

Saat ini, Rumah Singgah sudah mendampingi sebanyak 40 anak-anak kanker dari seluruh kabupaten/kota yang ada di Aceh per April 2016 yang dibantu oleh sekitar 15 orang relawan C-Four yang terdiri dari mahasiswa dan pekerja.

Donasi masyarakat diperoleh C-Four dari foto-foto anak-anak kanker dan tumor yang diunggah ke Facebook. C-Four juga dibantu oleh Baitul Mal Aceh, Dompet Dhuafa, dan bergabung di laman galang dana dan donasi, kitabisa.com.

Selain itu, Ratna bersama relawan lainnya berencana akan menambah sumber pendanaan mereka dari penjualan kaus oblong atau T-shirt logo C-Four.

“Mimpi saya cuma satu; punya rumah singgah untuk anak-anak kanker yang dibiayai oleh pemerintah, sehingga mereka tak berpikir lagi tinggal di mana nanti,” harap Ratna. []

Tabloid Satu Aceh, Edisi I
Read More...
.