13 Januari 2017

Solidaritas Melampaui Rivalitas

Leave a Comment
© Chris Brunskill/AMA
Tragedi kecelakaan pesawat klub sepak bola Brasil, Chapecoense yang jatuh di Medellin, Kolombia sebelum sempat menjalani pertandingan leg pertama final Copa Sudamericana 2016 melawan Atletico Nacional de Medellin, Selasa dinihari, 29 November 2016 menyisakan duka yang begitu mendalam.

Tak hanya penggemar sepak bola, kecelakaan yang menewaskan 71 orang dari 81 penumpang, terdiri dari para pemain, jurnalis, dan kru klub tersebut merupakan duka bagi dunia. Ucapan belasungkawa dan doa pun disampaikan oleh berbagai pihak sebagai wujud solidaritas.

Bahkan, sebagai penghormatan bagi mereka, klub Kolombia, Atletico Nacional yang seharusnya menjadi rival mereka di final Copa Sudamericana, meminta kepada Konfederasi sepak bola Amerika Selatan (Conmebol) untuk menyerahkan gelar juara turnamen tersebut kepada Chapecoense.

Sejumlah klub Brasil yaitu Corinthians, Santos dan juara bertahan Palmeiras juga menyatakan solidaritasnya dengan menawarkan pemain mereka untuk dipinjamkan Chapecoense. Bahkan, mereka pun meminta kepada otoritas liga agar Chapecoense dibebaskan dari tuntutan degradasi selama tiga musim ke depan.

“Dalam hal ini, klub menyatakan solidaritas kepada Chapecoense, di antaranya (I) Pemain pinjaman gratis untuk musim 2017, (II) Permohonan resmi kepada Konfederasi Sepak Bola Brasil agar Chapecoense tidak menjadi subjek degradasi ke Serie B selama tiga musim ke depan. Jika Chapecoense finis di urutan empat terbawah, tim yang berada di posisi ke-16 yang akan terdegradasi,” demikian pernyataan klub sebagaimana dilansir Goal.com, Rabu, 30 November 2016.

Bagi sebagian penggemar klub sepak bola, utamanya klub di Liga Inggris, mungkin tawaran solidaritas bagi korban tragedi seperti di atas terdengar familiar.

58 tahun silam, tepatnya 6 Februari 1958, merupakan hari terkelam dalam sejarah sepak bola di Inggris dan dunia ketika beberapa pemain Manchester United yang saat itu terkenal dengan julukan “Busby Babes” tewas akibat kecelakaan pesawat di Munich, Jerman Barat. Saat itu, United baru kembali dari pertandingan Piala Eropa melawan Red Star Belgrade. 20 orang dari 44 penumpang tewas, termasuk delapan pemain United.

Simpati datang dari berbagai arah. Klub raksasa Spanyol, Real Madrid yang saat itu baru saja memenangkan Piala Eropa, bersimpati dan meminta agar trofi Piala Eropa mereka diberikan kepada United. Madrid juga menawarkan pemain legendaris mereka, Puskas namun tak bisa dibawa United karena adanya larangan FA terkait pemain luar Inggris.

Legenda Madrid lainnya, Alfredo Di Stefano juga ditawarkan untuk dipinjamkan kepada United, yang ditolak secara halus oleh United karena dinilai tak sanggup memenuhi bayaran gajinya.

Bahkan rival United sejak dulu hingga saat ini, Liverpool tak luput mengulurkan tangan solidaritas. Manajer Liverpool saat itu, Bill Shankly, laiknya Palmeiras dan klub Brasil di atas, menawarkan lima pemain inti mereka sekaligus kepada United yang gajinya ditanggung Liverpool.

Dalam film United (2011) digambarkan bagaimana Jimmy Murphy, asisten manajer United saat itu, Matt Busby kelimpungan mencari pemain lain untuk menggantikan mereka yang tewas.

Bahkan, Bobby Charlton yang saat itu merupakan pemain yang selamat dari kecelakaan dan kini menjadi salah seorang legenda hidup United, sempat tak mau kembali ke Old Trafford karena trauma.

Dalam salah satu adegan, tampak bagaimana Murphy sibuk menelepon koleganya untuk mencari pemain. “Halo, ini Jimmy Murphy. Ya... aku sedang mencari pemain. Jujur saja, jika dia bisa berlari dan tahu bagaimana bentuk bola, aku akan membawanya,” tutur Murphy, pasrah.

Dari adegan tersebut, setidaknya bisa dibayangkan bagaimana dampak sebuah tragedi terhadap keberlanjutan dan kehidupan klub, persis seperti yang sedang dialami Chapecoense saat ini. Dan dalam film yang sama diceritakan bahwa sekretaris Murphy menerima surat di antaranya dari Liverpool dan Nottingham Forest yang menawarkan pemain serta pertolongan lainnya yang dibutuhkan.

Direktur Football Industry Group di University of Liverpool, Rogan Taylor hingga menyimpulkan bahwa faktor yang menjadikan United sebagai klub terbesar di dunia, salah satunya adalah karena tragedi tersebut. “Saya pikir tak bisa dipungkiri, hal ini benar. [Memang] bukan satu-satunya alasan yang membuat Manchester United menjadi klub terbesar di dunia, namun tak diragukan lagi inilah faktor yang berpengaruh, sebuah kisah yang tragis,” ujarnya dalam sebuah wawancara dengan BBC.

Bisa dikatakan, United “berbenah” pascatragedi itu hingga menjadi salah satu klub terbesar di dunia saat ini. Dan, di antara berbagai usaha bangkit dari keterpurukan tersebut, terselip banyak uluran tangan dan bantuan dari berbagai pihak, tak terkecuali dari rival sendiri.

Mantan manajer United, Sir Alex Ferguson dalam bukunya, Alex Ferguson, Autobiografi Saya (2013) menuturkan bagaimana ia menghormati Liverpool, rivalnya itu saat memperingati publikasi laporan terkait tragedi Hillsborough pada 2012 lalu. Tragedi Hillsborough merupakan peristiwa tewasnya 96 fans Liverpool akibat berjejalan dalam stadium Hillsborough, kandang Sheffield Wednesday, Sheffield pada 15 April 1989.

Menyambut peristiwa bersejarah bagi fans Liverpool yang berjuang mencari keadilan terkait peristiwa tersebut, Ferguson mengatakan, “Rivalitas kami dengan Liverpool sangat intens. Selalu. Tetapi, di balik permusuhan itu ada rasa saling menghormati. ...Apa pun permintaan Liverpool untuk peringatan itu [Tragedi Hillsborough] kami kabulkan, dan kami mengapresiasi usaha mereka.”

Pada akhirnya, sepak bola bukan hanya tentang kompetisi, kemenangan, statistik pertandingan atau kalkulasi untung-rugi semata. Lebih dari itu. Ia merefleksikan perjuangan, dedikasi, totalitas, loyalitas, dan nilai-nilai penghormatan kepada lawan.

Dalam masa-masa berduka seperti saat ini, mengutip Aristoteles, sepak bola dunia menunjukkan wajah philia; wajah persahabatan dan cinta yang meleburkan bongkahan-bongkahan kebencian dan ketidakpedulian. Semua bersatu dalam luka tragedi, menepikan sejenak ego, kompetisi, dan rivalitas untuk merayakan kasih sayang atas nama kemanusiaan. Hal-hal seperti inilah yang membuat sepak bola terasa indah, selalu “hidup” dan tak pernah membosankan.

Maka jika ada generasi Millennial fans klub sepak bola yang selalu melihat persaingan antarklub sepak bola sebatas pertarungan hitam-putih (sebagaimana sebagian besar masyarakat Indonesia pascakolonial (juga termasuk saya sendiri) melihat sejarah kemerdekaan republik ini dalam kerangka yang-jahat dan yang-baik bak dalam sinetron) serta nyinyir dengan prestasi klub kebanggaannya hari ini tanpa (mau) tahu sejarah, filosofi, dan latar belakang klub yang didukungnya seperti apa, harap dimaklumi saja.

Mungkin, mereka tak tahu bahwa Cristiano Ronaldo pernah berkunjung ke Banda Aceh pascatsunami pada 2004 bersimpati kepada para korban tsunami dan bertemu dengan Martunis, bocah yang selamat serta sempat bergabung bersama tim akademi Sporting Lisbon sejak Juni 2015 atas prakarsa “ayah angkat”-nya, Ronaldo.

Atau, kisah tentang hubungan Subcomandante Marcos, pimpinan Zapatista Army of National Liberation (EZLN), sebuah gerakan di Meksiko yang memperjuangkan hak-hak warga pribumi di Chiapas, Meksiko dengan klub Serie A Italia, Inter Milan di mana kapten Inter saat itu, Javier Zanetti menunjukkan rasa simpati untuk perjuangan gerakan tersebut.

Masih banyak hal-hal lain dari sepak bola yang tak hanya mendeskripsikan sikap-sikap predatoris sebagai sebuah klub yang berkompetisi dalam turnamen, namun juga aksi-aksi simpatik dalam wajah philia-nya. Persis seperti dirasakan sepak bola dunia saat ini yang sedang berduka untuk Chapecoense.

Tragedi Chapecoense adalah duka bagi sepak bola, dunia, dan kita semua. Bisa jadi, suatu saat nanti, laiknya kisah United, Chapecoense juga akan menjelma sebagai klub terbesar di zamannya. Salah satunya karena dukungan dan bantuan dari klub-klub lain yang bersimpati dalam solidaritas yang melampaui rivalitas dan sepak bola itu sendiri. Força Chapecoense! []

0 komentar:

Posting Komentar

.