20 Januari 2017

Kenyinyiran dan Realitas Pascakolonial Sehari-hari

Leave a Comment
© lilibernard.com
Ketika energi habis terkuras untuk mengomentari sesuatu hal belum terang benar diketahui faktanya, ketika kata-kata berseliweran memenuhi ruang sosial kita, dan setiap orang berlomba-lomba memaksakan kehendak pikirannya, ada baiknya kita menghela nafas sejenak. Menjaga jarak. Mengatur langkah. Bisa jadi, suatu saat gejala itu juga akan menular dan merasuki nalar kita.

Nyinyir sebagai penyakit bisa menjangkiti siapa saja. Tak menggubris status sosial. Cuma dibutuhkan sedikit bumbu sentimen dan kelatahan saat menjaring dalam era tsunami informasi ini, sempurnalah ia. Lalu mengumbarnya dengan kata-kata sebagai deskripsi sentimen yang kemudian narasinya diulang berkali-kali. Menjadi individu yang nyinyir itu semudah menekan tombol share di media sosial.

Saat ini, kenyinyiran tak lagi dianggap sebagai sinonim intoleransi. Ia telah menjadi semacam senjata yang digunakan baik untuk menyerang maupun untuk bertahan; menyerang argumentasi orang lain, dan mempertahankan argumentasi sendiri. Penilaiannya bukan pada benar dan salah, namun sejauh mana mereka mampu ‘memenangkan’ argumentasi mereka dalam kontestasi publik.

Mungkin, secara serampangan jika meminjam bahasa Michel Foucault dalam The Order of Things (1970), kita bisa menyatakan bahwa ‘kemenangan kenyinyiran’ ini dikategorikan sebagai episteme alias narasi pengetahuan baru; ‘episteme kenyinyiran’ yang membuat kita tunduk dan memercayainya sebagai kebenaran yang otoritatif, sebagaimana episteme Orde Baru-nya Soeharto dulu.

Yang jelas, kenyinyiran yang terus direproduksi secara terus-menerus baik di media sosial maupun kehidupan sehari-hari, bisa jadi akan menempel dalam ingatan banyak orang, dan tanpa pengamanan nalar yang kuat akan memutarbalikkan logika, sehingga dianggap sebagai kebenaran.

Fenomena inilah yang terjadi saat ini. Gejalanya terlihat saat dipilihnya kata ‘post-truth’ (pasca-kebenaran) sebagai Kata Tahun Ini oleh kamus Oxford English. Kata ini didefinisikan sebagai suatu keadaan di mana emosi dan keyakinan personal lebih berpengaruh dalam membentuk opini publik ketimbang fakta objektif.

Terpilihnya kata ini dinilai berhubungan dengan fenomena Brexit (British Exit) dari Uni Eropa dan kemenangan Donald Trump dalam Pilpres Amerika Serikat beberapa waktu lalu. Bisa dikatakan, walau hanya dugaan belaka, ini merupakan ulah dari salah satu kenyinyiran massal terbesar di dunia.

Kenyinyiran yang hanya memuat nilai-nilai mudarat, seperti nyinyir perkara uang baru, tafsir agama atas perkara tertentu, superioritas asing-pribumi, dan kontroversi mayoritas-minoritas ini (sila diperpanjang sendiri daftarnya) hanya akan menguras energi serta nirguna. Jika yang dimaksudkan adalah debat sistematis atau kritik yang konstruktif dengan mengedepankan asas bijak bestari, itu sudah lain persoalan.

Seiring waktu, klimaks dari kenyinyiran ini kian mengentalkan nuansa permusuhan dan kebencian sentimental, dan yang pasti akan bermuara pada pengkotak-kotakan tendensius berkonotasi negatif dalam wujud pelabelan; fundamentalis, fasis, asing, liberal, komunis, kafir dan berbagai varian dan turunan-turunannya yang terus diproduksi untuk memenuhi nafsu penghujatan terhadap perbedaan.

Nyaris tak ada lagi debat tentang perjuangan mati-matian masyarakat melawan korporasi yang melakukan perampasan tanah dengan dibekingi tentara, misalnya. Atau diskusi terkait konsep pembangunan yang mengakomodasi konteks lokalitas masyarakat setempat. Yang ada hanyalah prasangka berbalut kebencian dan pelabelan.

Jika sudah begini, yang pasti pikiran kita sudah tak steril lagi. Sudah terkontaminasi alergi perbedaan. Mungkin sebagai refleksi, ada baiknya kita menapak tilas sejenak ke masa kolonialisme dulu.

Zaman kolonialisme merupakan masa terkelam dalam sejarah bangsa-bangsa yang (lagi-lagi) dilabel sebagai Dunia Ketiga, karena selain dieksploitasi (tentunya dalam wujud perang, pemaksaan, dan berbagai variasi kekerasan lainnya) alam dan orang-orangnya, secara mental mereka juga ‘dikerdilkan’.

Pramoedya Ananta Toer (semoga dilapangkan kuburnya) dalam Tetralogi Pulau Buru secara antagonistik mendeskripsikan bagaimana sentimen penjajah (colonizer), yaitu Belanda dan yang-dijajah (colonized), rakyat Indonesia pada masa itu.

Dalam Bumi Manusia, Pram menarasikan bagaimana label negatif terhadap karakter tokoh pertama bernama Minke, yang diceritakan sebagai salah-ucap guru Belanda-nya dari kata monkey alias monyet, sebagai representasi pribumi waktu itu.

Hindia Belanda sebagai cikal bakal Indonesia saat itu menjadi saksi bagaimana mental superioritas kulit putih Belanda terhadap pribumi, atau yang dalam bahasa Belanda dilabeli sebagai inlander. Kata ini sebenarnya hampir mencakupi semua stereotip pribumi sebagai bangsa yang tak memiliki kepercayaan diri, terbelakang, primitif, kolot, tidak beradab serta konotasi negatif lainnya.

Dalam tatanan sosial, pribumi menduduki tingkatan paling rendah di bawah Eropa Peranakan dan Eropa Totok (Eropa asli). Karenanya tak heran dalam permasalahan hukum, pengadilan pribumi pun berbeda ‘kasta’ dengan Pengadilan Belanda yang khusus untuk Eropa.

Mertua Minke, Nyai Ontosoroh hingga kehabisan akal untuk mendeskripsikan watak rasis kolonialisme Belanda ini. Dalam satu kesempatan, ia berujar kepada Minke:

Memang begitu kehidupan kolonial di mana saja: Asia, Afrika, Amerika, Australia. Semua yang tidak Eropa, lebih-lebih tidak kolonial, diinjak, ditertawakan, dihina, hanya untuk berpamer tentang keunggulan Eropa dan keperkasaan kolonial, dalam segala hal – juga kejahilannya. Kau sendiri jangan lupa, Minke, mereka yang merintis ke Hindia ini – mereka hanya petualang dan orang tidak laku di Eropa sana. Di sini mereka berlagak lebih Eropa. Sampah itu.” (Bumi Manusia, hal 416)

Jika bukan karena kekayaan alam dan rempah-rempahnya, mungkin Belanda tak akan terpikir untuk menjadikan Indonesia sebagai koloninya. Karena faktor ini pula, kolonialis memberikan label ‘eksotis’ kepada tiap daerah jajahannya. Tentunya masih dalam makna negatif khas Eurosentrisme; ‘si Seksi’ yang kapan saja siap dieksploitasi, baik alam maupun orang-orangnya demi kepentingan dan keuntungan penjajah sendiri.

Pakar kajian Melayu, Syed Hussein Alatas (1977) bahkan sampai membongkar pelabelan ini, utamanya label ‘pemalas’ pada pribumi oleh kolonial. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa label yang dimaksud hanyalah mitos yang disematkan secara serampangan oleh Eropa di tengah carut-marutnya eksploitasi terhadap pribumi oleh kelas berkuasa, yaitu sang penjajah sendiri dalam mode kapitalisme kolonial.

Demikianlah. Eksploitasi predatoris dan kenyinyiran penjajah Eropa dengan penyematan berbagai label buruk sangka terhadap pribumi ini telah tercatat dalam sejarah kolonialisme sebagai kejahatan kemanusiaan. Sebuah retakan peradaban yang lukanya masih berparut di atas muka bumi.

Dan hari ini, di salah satu negara pascakolonial, generasi Millennial-nya sibuk menuding orang lain yang dianggap berbeda dengan dirinya dengan bahasa yang menyinyir.

Apakah mereka tak membaca sesuatu dari sejarah, terutama sejarah penjajahan di tanahnya sendiri? Apakah mereka ingin mengulang kembali narasi nyinyir kolonial, dan hendak menjadikannya sebagai episteme yang membenarkan pelabelan kelompok tertentu terhadap kelompok lainnya?

Sepertinya, generasi Indonesia pascakolonial yang nyinyir ini tak sempat meluangkan waktu sejenak merasakan bagaimana pedihnya penderitaan moyang mereka sendiri dihina dan dinyinyiri secara fisik dan mental oleh sang kolonial. Kalau sudah begini, mubazir saja fakta sejarah kolonialisme berabad lamanya itu dinarasikan. Dan mereka tentunya kembali larut dalam fantasi superioritas semu pengkotak-kotakan manusia.

Pada akhirnya, kenyinyiran celaka ini hanya akan merendahkan kemanusiaan. Menghina martabat manusia, menafikan akal, dan meleburkan esensi manusia hanya menjadi seonggok daging yang dituding dengan mitos-mitos palsu belaka. Persis seperti yang dilakukan para penjajah dulu terhadap pribumi.

Jika hal ini diteruskan dalam kehidupan sehari-hari dan dianggap sebagai perkara biasa, maka mereka jelas sama jahanamnya dengan watak para penjajah.

Mungkin, ada baiknya kita menghela nafas sejenak. Menjaga jarak. Mencoba merefleksi sembari menyeruput secangkir kopi, sebagai kritik (terutama bagi saya sendiri), apakah kita termasuk kaum yang kerap menjadikan perbedaan dari orang lain sebagai bahan nyinyiran? Atau melabeli orang lain dengan buruk karena faktor sentimental? Jika iya, berarti mental kolonial belum luntur dari pikiran, dan karena itu kemanusiaan kita masih perlu dipertanyakan.

Karena bagaimana pun, pesan Pram yang disampaikan melalui tokoh Jean Marais kepada Minke tetap harus diinternalisasi dalam kearifan kita, bahwa “seorang terpelajar harus juga belajar berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan”.

Ini yang harus menjadi titik tolak kontemplasi kita. Perbedaan bukanlah merupakan legitimasi untuk merendahkan nilai-nilai kemanusiaan.

Tak ada kelompok manusia yang lebih superior atau inferior dibanding kelompok yang lain. Itu hanya mitos kuno yang salah satunya direproduksi oleh mode kolonialisme. Atau, jangan-jangan kita memang sudah tak mampu lagi bersikap adil, dan mulai nyinyir sejak dalam pikiran? []

0 komentar:

Posting Komentar

.