© Alex Caparros/Getty Images |
Rasisme sebagai sebuah gejala akut akan klaim superioritas kelompok tertentu terhadap kelompok lainnya telah menjadi momok dalam sejarah kehidupan manusia. Konstruksi sosial semacam ini dikritik tajam karena adanya prasangka dalam melihat ‘Yang Lain’ (Other) berdasarkan basis ras dan etnisitas mereka.
Sejarah rasisme menyasar hampir seluruh dimensi peradaban manusia, dari politik, budaya, seni, hingga olahraga. Salah satu konstruksi yang kerap disalahpahami sehingga bertendensi menjadi pandangan rasis dalam olahraga yaitu adanya asumsi yang menitikberatkan pada perbedaan fisik sebagai legitimasi rasial.
Dengan pola pikir seperti ini, manusia dipisahkan berdasarkan perbedaan-perbedaan fisik dan karakteristik yang menyertainya semata. Berbagai perbedaan ini dilakabkan kepada ras atau etnik tertentu, untuk kemudian dibandingkan dengan ras atau etnik lainnya.
Perbandingan inilah kemudian yang dijadikan sebagai klaim superioritas ras atau etnik tertentu terhadap yang lainnya. Klaim ini pun kemudian menjadi stereotip sehingga baik secara sengaja atau tidak, disusun dalam ‘hierarki rasial’ dengan menempatkan ras atau etnik tertentu di atas, dan yang lainnya di bawah.
Kondisi seperti inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh media-media, utamanya di Eropa sebagai legitimasi rasial atas superioritas kulit putih terhadap ras lainnya dengan cara mengonstruksi dan membingkai (framing) tendensi rasial tertentu.
Salah satu kasus rasisme dalam olahraga di Eropa yang paling diingat publik adalah yang menimpa Ron Atkinson atau lebih dikenal sebagai ‘Big Ron’, salah seorang komentator sepak bola dan mantan pelatih beberapa klub di Inggris.
Pada 20 April 2004, klub sepak bola asal Prancis, AS Monaco baru saja mengalahkan Chelsea yang saat itu dilatih Claudio Ranieri dengan skor 3-1 dalam semifinal Liga Champions. Pemain kulit hitam Chelsea yang berasal dari Prancis, Marcel Desailly yang berposisi sebagai bek tengah dinilai bermain sangat buruk saat itu.
Big Ron saat itu menjadi komentator pertandingan untuk kanal ITV. Ketika jeda iklan, Ron melihat kembali tayangan ulang insiden yang melibatkan Desailly dalam pertandingan tersebut.
Saat itu, Ron berujar kepada Clive Tyldesley, komentator yang lain yang mendampinginya dan mengomentari personal Desailly dengan perkataan yang bertendensi rasis kepada bek Prancis itu.
Sayangnya, Big Ron tak menyadari bahwa percakapan yang dianggapnya off-record tersebut, rupanya telah tersiar ke beberapa negara di Timur Tengah di mana mikrofon di studio tersebut masih dalam mode ‘live’.
Hal tersebut memicu kemarahan publik karena Ron dinilai menggunakan kata-kata rasis. Dalam 24 jam pascainsiden itu, ia terpaksa mengundurkan diri sebagai komentator dan juga meninggalkan pekerjaannya sebagai kolumnis di koran mingguan The Guardian.
Rasisme dalam Representasi Media
Rasisme dalam olahraga, dalam hal ini di Eropa yang direpresentasikan melalui penetrasi media mulai dari radio, televisi, hingga situs berita kerap memuat prasangka-prasangka tertentu untuk menunjukkan superioritas rasial kulit putih terhadap yang lainnya.
Namun, klaim superioritas itu tak melulu tentang ‘keunggulan’, terutama dalam olahraga yang terkait dengan karakteristik fisik dari ras lain.
Dengan kategorisasi karakteristik fisik, kadang ‘keunggulan’ ras lain justru dijadikan sebagai legitimasi rasial, dengan begitu menjadikannya berbeda dengan kulit putih. Pada akhirnya, sebagaimana hierarki di atas, ras lain tetap diklaim ‘beda level’ dengan kulit putih.
Kevin Hylton dalam bukunya, ‘Race’ and Sport: Critical Race Theory (2009) mencatat, stereotip yang paling umum dalam hubungan antarras ini terkait dengan sisi atletik atau fisik atlet kulit hitam. Ada asumsi umum bahwa atlet kulit hitam lebih baik dari atlet kulit putih karena mereka ‘secara genetis berbeda dan secara fisik lebih superior dari atlet kulit putih’.
Kesalahan dari pola pikir semacam ini yang melihat kesuksesan atlet kulit hitam hanya karena diklaim berbeda dan lebih superior secara fisik justru melupakan sisi pencapaian yang diperoleh dari dedikasi dan kerja keras.
Hal ini kemudian dikonstruksi oleh media dengan justifikasi bahwa atlet kulit putih, yang dinilai secara genetis dan fisik lebih inferior dari kulit hitam, harus berlatih lebih keras agar bisa menyamai ‘level’-nya atlet kulit hitam.
Anehnya, konstruksi yang dibangun oleh media ini, pada akhirnya tetap menempatkan ras kulit putih sebagai yang lebih superior. Kesuksesan atlet kulit putih dalam olahraga diapresiasi lebih tinggi karena klaim ‘kelemahan’ mereka secara genetis dibandingkan atlet kulit hitam justru bisa dilampaui dengan semangat latihan yang lebih keras hingga berbuah prestasi.
Analisis Hylton terhadap pemberitaan dua media terkemuka di Inggris, Observer Sport Monthly (OSM) dan Sports Illustrated (SI) menemukan adanya kecenderungan pemberitaan yang mengasosiasikan atlet dengan negara garis keturunan keluarga dan mengabaikan kewarganegaraan dari negara yang direpresentasikannya dalam suatu ajang olahraga.
Contohnya, dalam OSM, pemain rugbi asal Prancis, Serge Betson ditulis sebagai ‘pemain kelahiran Kamerun.’ Pemain rugbi asal Prancis lainnya, Serge Blanco juga lebih ditonjolkan identitas negara kelahirannya, Venezuela ketimbang kewarganegaraannya. Begitu pula dengan pesepakbola AS, Joe Gaetjens yang disebut sebagai ‘striker kelahiran Haiti.’
Bahkan, SI secara lebih eksplisit memberikan penekanan pada asosiasi identitas atlet ini dalam berita-beritanya. Simak saja, pelari AS, Bernard Lagat dilabeli sebagai ‘orang Kenya yang menjadi warga AS.’ Atau, perhatikan kalimat SI berikut saat mendeskripsikan beberapa pemain sepak bola AS yang sedang bersinar saat perhelatan Piala Dunia 2006:
“Landon Donavon, seorang pemalu, penyerang yang secepat kilat, tumbuh besar berbicara dalam bahasa Spanyol dengan rekan-rekan Latino-nya di lapangan sepak bola di California Selatan. DaMarcus Beasley, gelandang Afrika-Amerika yang supel, . . .Oguchi Inyewu, bek berbadan besar dari dari pinggiran Kota Washington D.C., adalah anak seorang imigran Nigeria.”
Selain itu, media tersebut juga mencampuradukkan berbagai identitas atlet (seperti ras, agama, negara kelahiran, dan kategori sosial lainnya) sehingga menjadi tumpang-tindih dalam penyebutannya. Hylton menyebut model ini sebagai ‘hibridisasi’ (hybridisation) identitas atlet.
Sebagai contoh, dalam OSM, petinju Amir Khan dikategorikan sebagai atlet berkebangsaan ‘Inggris-Muslim-Pakistan’ (British-Muslim-Pakistani). Sementara pemain kriket Monty Panesar merupakan ‘Inggris-India’ (British-Indian) atau ‘Inggris-Sikh’ (British-Sikh).
Berbagai relevansi kriminalitas dan sifat buruk pun tak luput dikaitkan dengan atlet kulit hitam ini. Walau pun atlet kulit putih juga diberitakan jika melanggar hukum, namun Hylton menekankan pemberitaan tentang mereka tak seintens atlet kulit hitam. Dengan begini, akan muncul konstruksi bahwa yang identik dengan kriminalitas itu hanyalah atlet kulit hitam.
Dalam kasus SI, beberapa kalimat yang dituliskan untuk berita selama perhelatan Piala Dunia 2006, di antaranya:
‘Andray Blatche – walau pun tanpa bukti atau dakwaan terhadapnya, dia dikaitkan dengan kejahatan bersenjata api dan perampokan mobil.’
‘Marcus Vick - dikaitkan dengan kejahatan bersenjata api dan kurang disiplin.’
‘Ramonce Taylor – didakwa tindak pidana berat karena kepemilikan ganja. . .’
Sementara OSM menggambarkan karakter atlet kulit hitam dengan citra negatif yang membedakan mereka dengan atlet kulit putih sebagai berikut:
‘Pemain Kolombia, Ivan Kaviedes ‘terkenal sangat temperamental . . . diberikan sanksi oleh klub dan timnas karena sikap indisipliner.’’
‘Penyerang kulit hitam Swedia, Zlatan Ibrahimovich ‘berbakat tapi tak bisa diprediksi . . . setengah balerina, setengah gangster.’’
‘Yamba Asha ‘anak nakal Angola.’’
Masih banyak bentuk atau mode digunakan media dalam mengonstruksikan tendensi rasisme terkait dengan atribut rasial yang melekat pada seorang atlet olahraga ini. Pun begitu, tak semuanya bisa dinarasikan dalam ruang yang terbatas ini.
Namun, setidaknya kita bisa merefleksikan satu hal: masih ada banyak persoalan dalam pelaksanaan event-event olahraga saat ini, salah satunya terkait rasisme. Sialnya, media pada titik tertentu justru hadir untuk menegaskan konstruksi sosial tersebut secara tendensius.
Problem rasisme masih menjadi kendala dan kerap menjadi perusak suasana ketika olahraga sebagai ekspresi universal dipersempit maknanya hanya untuk mengukuhkan legitimasi superioritas rasial tertentu terhadap ‘Yang Lain’.
Konstruksi seperti inilah yang harus dilawan. Olahraga bukan hanya monopoli kelompok dengan identitas tertentu. Tak ada kelompok rasial yang lebih superior dibanding dengan kelompok lain. Karena itu, olahraga harus menghapuskan prangka-prasangka yang merendahkan kemanusiaan ini.
Sebagai sebuah aktivitas fisik dan mental yang kompetitif, olahraga harus mengedepankan semangat egaliter, menghormati lawan serta menjunjung asas ‘fair play’ dan sportivitas dalam pelaksanaannya sebagai prasyarat berlangsungnya ritus sosial yang menghibur, adil dan bermartabat. Say no to racism! []
Kolom Sport Warta Unsyiah
Edisi 205/November 2016
0 komentar:
Posting Komentar