29 Agustus 2009

Pro-Kontra Gender dalam Timang

Leave a Comment
Identitas Buku.

Judul : TIMANG (Aceh, Perempuan, Kesetaraan).
Editor : Fajran Zain dan Saiful Mahdi.
Naskah : Halim El-Bambi.
Pengantar : Lukman Age.
Penerbit : Aceh Institute Press.
Tahun : Cetakan ke-2: Maret 2009.
Tebal halaman : xxxv + 200 halaman: 20 cm.


Perdebatan mengenai masalah kesetaraan dan keadilan gender memang takkan pernah habis. Ia selalu aktual dan dapat diinterpretasikan dalam berbagai perspektif, tidak terkecuali di Aceh. Para pegiat gender di Aceh menafsirkan makna kesetaraan dan keadilan dalam hubungan antar jenis kelamin ini dalam dimensi yang berbeda-beda.

Sebagaimana judulnya, “TIMANG”, suatu kata dalam bahasa Aceh yang bisa diterjemahkan dalam berbagai perspektif , dua diantaranya adalah (1) bermakna lurus, sejajar, seimbang, dan (2) bermakna mempertimbangkan (to consider), memikirkan dan menganalisis realitas yang ada secara objektif, buku dengan tebal 200 halaman ini juga menginterpretasikan wacana gender di Aceh dalam berbagai persektif, sebagai manifestasi realitas empiris masyarakat Aceh dalam menanggapi masalah kesetaraan gender.

Buku yang terdiri dari 19 opini tentang gender dan gerakan perempuan Aceh yang pernah dimuat pada website www.acehinstitute.org ini merupakan kumpulan pergumulan pemikiran dan debat seputar masalah gender yang semakin menggema di Nanggroe Aceh Darussalam pasca tsunami 26 Desember 2004. kumpulan opini dalam buku ini yang ditulis oleh 16 penulis dengan latar belakang yang beragam ini semakin memperpanjang barisan referensi seputar permasalahan kesetaraan gender di Aceh. Namun berbeda dengan buku-buku atau tulisan yang sudah ada, buku ini mengambil format yang sama sekali berbeda dan, karena itu, membuatnya menarik. Kumpulan opini ini diklasifikasikan ke dalam 3 bab. Bab pertama membicarakan topik gender dan definisinya dari perspektif masing-masing penulis (conceptual), bab kedua memaparkan tentang fakta diskriminasi terhadap perempuan (fact), dan bab ketiga memberikan alternatif ataupun solusi atas ambiguitas perspektif gender dan realitas diskriminasi terhadap perempuan (sollution).

Memang sesuai dengan temanya, bab I membicarakan debat epistimologis tentang gerakan pembebasan perempuan yang diawali oleh tulisan Efendi Hasan (EH) dalam “Ada Apa Dengan Gender”, yang banyak menuai kritis dari penulis-penulis lain. Penulis dengan gamblang menegaskan bahwa gender di Aceh merupakan produk NGO Internasional, dan tidak perlu diperkenalkan lagi di Aceh, sebab akar historisnya telah mendeskripsikan posisi perempuan Aceh yang luar biasa dalam politik pemerintahan dan di medan pertempuran. Penulis juga mengatakan bahwa tempat perempuan bukanlah di ranah publik, karena dengan begitu justru merendahkan martabat perempuan.

Tak ayal, tulisan EH ini pun langsung mendapatkan kritik-kritik pedas dan tajam dari penulis lain, diantaranya yang paling kritis adalah tulisan Zubaidah Djohar dalam artikelnya “Ketika Misigonis Memaknai Gender”, dimana penulis berpendapat bahwa catatan EH telah memojok dan merendahkan martabat perempuan, karena penilaiannya yang subjektif, menilai perempuan dengan menggunakan kacamata misigonis, dimana segala sesuatu dilihat dari sudut pandang laki-laki saja.

Dari perdebatan gender EH yang banyak dikritisi, Saifuddin Dhuhri ikut tampil dengan opininya “Perspektif Islam Dalam Pemahaman Gender” memberikan pencerahan dalam memahami gender dari sudut pandang Islam. Penulis mengatakan bahwa untuk menjaga dikotomi masing-masing jenis kelamin, Islam memberi batasan yang tegas antara keduanya, baik berupa sifat-sifat fisik, cara berpakaian, maupun sifat mental. Perbedaan ini tidak perlu memicu atau bahkan mendiskreditkan salah satu pihak namun perbedaan tersebut berguna untuk saling melengkapi bagaikan siang dan malam, langit dan bumi (hal 43-50).

Bab pertama ini ditutup dengan tulisan dari Saiful Mahdi dengan judul “Teladan dari perempuan Aceh”. Penulis menuturkan tentang kondisi perempuan Aceh terkini, ,dengan fokus pemaparan pada kondisi perempuan Aceh pasca tsunami, disertai dengan data-data statistik. Menurut penulis, Perempuan Aceh belajar dari beragam agen perubahan (agent of change) dan agen kepentingan nasional maupun internasional, tanpa kehilangan kodrat keperempuanan dan keAceh-annya.

Dalam bab II buku ini, Zubaidah Djohar kembali memaparkan fakta ketidakadilan yang dirasakan perempuan akibat perbedaan jenis kelamin dalam opininya “Meretas Keadilan dan Membangun Keseimbangan”. Penulis mengatakan perlunya menggunakan analisis gender dalam membedah ketidakadilan sosial yang terjadi di tengah masyarakat akibat pembedaan jenis kelamin. Banyak kasus yang terjadi di Aceh sebagai indikasi ketidakadilan yang dirasakan perempuan. Data dari Komnas perempuan (2006) mengungkapkan bahwa jumlah kekerasan seksual terhadap perempuan pengungsi hampir 74%, dan 41% diantaranya terjadi di lingkup keluarga. Sedangkan data secara umum menyebutkan 103 kasus kekerasan terhadap perempuan di 13 kabupaten / kota di Aceh, 59% adalah kasus kekerasan seksual (hal 93).

Nurjannah Ismail juga memberikan catatannya dalam “Perempuan dan Budaya” dan “Interpretasi Hadis Kepemimpinan Perempuan”. Dalam artikelnya, penulis menampakkan kegeramannya terhadap perspektif masyarakat dalam menanggapi fenomena-fenomena sosial, dimana adanya dikotomi dan konstruk hierarkis yang menempatkan perempuan pada posisi ketidaksetaraan. Penulis berpendapat bahwa masyarakat pada umumnya banyak yang menganggap budaya sebagai agama, sehingga praktek adat-istiadat dijadikan alat sebagai untuk melegitimasi budaya patriarkhi yang menempatkan perempuan sebagai subordinat laki-laki, yang sangat mengakar dalam dalam masyarakat Islam di segala sektor kehidupan, yaitu politik ekonomi, pendidikan, sosial dan moral (hal 102-103).

Sebagai penutup, bab III lebih banyak memberikan alternatif dan masukan mengenai ketidaksetaraan gender di Aceh, yang diawali oleh artikel pembuka “Pengarusutamaan Gender : Sebuah Strategi” karya Zubaidah Djohar, dan juga Cut Hasniati “Kartini Antara Konsep dan Aksi” dan beberapa buah artikel lainnya.

Perdebatan yang sengit antar penulis mengenai deskripsi kesetaraan gender di Aceh tidak membuat kita bosan, karena di setiap opini dalam buku ini selalu disertai dengan responsibilitas yang tinggi dari argumen masing-masing penulis, yang diindikasikan dari pemaparan fakta yang lugas dan sistematis serta analisis yang tajam, sehingga bisa menjadi sumber referensi terpercaya bagi pembacanya.

Begitulah, kecuali pemilihan desain cover yang kurang menarik sebagai kelemahannya, buku ini layak menjadi referensi bacaan anda. Buku ini bukan hanya sekedar untuk memperkaya khasanah dan pengetahuan anda menyangkut isu-isu aktual Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) di Aceh, namun sebagaimana yang dimaksudkan oleh editor, hendaklah menghantarkan kesadaran kita dalam menyikapi realitas perbedaan secara cerdas dan arif, untuk menembus satu tujuan akhir (superordinat goal), yaitu masyarakat yang saling menghargai posisi dan peran yang ada, saling mengisi dan mengapresiasi, membangun bersama dan sejahtera bersama, masyarakat yang kita beri nama masyarakat Aceh Baru (New Aceh Society). Semoga.


[Sammy Khalifa | Juara 3 Lomba Resensi Buku “Timang” Aceh Institute].

0 komentar:

Posting Komentar

.