7 Desember 2015

Banalitas Nasionalisme

Leave a Comment
(Refleksi Hari Sumpah Pemuda)
Apa urgensi nasionalisme bagi generasi saat ini? Kiranya pertanyaan ini akan mengantarkan kita pada refleksi satu fase sejarah awal pergerakan kemerdekaan Indonesia, ketika Keputusan Kongres Pemuda Kedua dilaksanakan pada 27-28 Oktober 1928 di Batavia (Jakarta). Kongres Pemuda tersebut diyakini menjadi cikal-bakal nasionalisme dan berdirinya negara-bangsa Indonesia dengan mengacu pada trilogi Sumpah Pemuda; satu tanah air, bangsa, dan bahasa Indonesia.
Perlu dicatat bahwa konstruksi nasionalisme yang dibangun pada saat perumusan Sumpah Pemuda tersebut merupakan semangat nasionalisme pra-kemerdekaan. Artinya, ada cita-cita yang luhung dari generasi saat itu untuk menyatukan identitas dan keluar dari bayang-bayang kolonialisme dan imperialisme. Lalu, apakah semangat nasionalisme 87 tahun silam itu masih relevan bila dibandingkan dengan kondisi saat ini?

Imagined Communities
Nasionalisme yang dibangun pada masa itu adalah perasaan akan penindasan dan penjajahan yang dilakukan oleh negara kolonial. Keadaan tersebut membentuk keterikatan emosional yang kuat, walau antar komunitas yang mengalami penindasan dipisahkan jarak geografis dan tak saling mengenal. Keterikatan ini kemudian dikerucutkan menjadi identitas tunggal dengan tujuan menggelorakan perlawanan untuk -meminjam terminologi Gramscian- melakukan counter-hegemony terhadap narasi besar (grand narration) kolonialisme dan imperialisme serta membangun narasi sendiri yang dideklarasikan dalam wujud “state”; Negara Kesatuan Republik Indonesia. Di sinilah konsep nasionalisme sebagai ide “komunitas terbayang” (imagined communities) yang dimaksud oleh Benedict Anderson menemukan momentumnya.
Anderson dalam bukunya, Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism (2006) menjelaskan konsep imagined communities lahir dari pemahaman bahwa nasionalisme bangsa (nation) merupakan komunitas politik yang dibayangkan sebagai suatu kesatuan yang dibatasi oleh teritorial (borders) dalam bingkai kedaulatan. Dibayangkan di sini dipahami sebagai imajinasi antar anggota dalam komunitas tersebut yang tak mengenal seluruh anggotanya, atau tak pernah bertatap muka, namun mereka merasa berada dalam semangat nasionalisme yang sama. Semangat tersebut, menurut Nezar Patria dimungkinkan karena adanya “sentiment of belonging to a community,” yaitu “rasa memiliki kepada suatu komunitas yang sama-sama tertindas... dan berkeinginan memutuskan nasib politik mereka bersama.” (“Nasionalisme Indonesia: “Proyek Bersama” yang Belum Selesai”, indoprogress.com, 10/7/2007). Jika dilihat dalam konteks kekinian, bagaimana sebenarnya konstruksi nasionalisme Indonesia saat ini?

Banalitas & Mistifikasi
Salah seorang profesor psikologi sosial, Michael Billig (1995) mencatat adanya “cacat” dalam praksis nasionalisme dalam bentuk nasionalisme banal (banal nationalism). Nasionalisme banal dapat diartikan sebagai “nasionalisme sehari-hari”, praktik rutin yang kerap abai dari perhatian dan direproduksi secara terus-menerus. Penekanannya ada pada kuantitas, bukan kualitas nasionalisme-nya. Karena itu, ia cenderung melemahkan semangat nasionalisme dan menjadi dangkal; menjadi banal. Semuanya bermuara pada ritual simbolik yang tak substantif.
Banalitas ini, pada titik tertentu akan membawa pada mistifikasi nasionalisme itu sendiri. Mistifikasi di sini, merujuk pada terminologi D.A Rinkes (dalam Kuntowijoyo, 2001) tentang mistifikasi agama, yang “percaya bahwa dengan Islam segalanya akan beres, tetapi tidak tahu apa yang harus dikerjakan, hanya “ikut arus” kejadian sehari-hari tanpa tujuan yang jelas.” Nasionalisme kerap dianggap sebagai solusi semua permasalahan negara-bangsa tanpa memahami substansi sebenarnya. Ada upaya mengkonstruksikan nasionalisme menjadi mitos.
Mitos nasionalisme ini, salah satunya hadir dalam wujud narasi yang menyatakan bahwa cita-cita negara-bangsa Indonesia sudah ada sejak nenek moyang dahulu kala. Ini bentuk penyesatan sejarah, karena mengandung beberapa kontradiksi. Hal ini bisa terlihat sebagaimana dipotret Anderson (1999) dalam tulisannya yang lain, “Indonesian Nationalism Today and in the Future”. Fakta sejarah menuturkan bahwa Raja Aceh pernah “menjajah” pesisir Minangkabau, Raja Bugis yang menguasai Toraja, Jawa yang mencoba menaklukkan Pulau Sunda, dan sejarah penaklukan lainnya jauh sebelum adanya konsep negara-bangsa Indonesia.
Nasionalisme Indonesia, seperti ditulis Patria yang mengutip sejarawan Charles Tilly, adalah state-led nationalism; nasionalisme yang diarahkan oleh negara. Negara menjadikan nasionalisme sebagai legitimasi kekuasaan. Hingga kemudian dengan menggunakan instrumen militer, negara tercatat dalam sejarah tragedi seperti peristiwa 1965, Kerusuhan Mei 1998, konflik Aceh, Papua, dan tragedi lainnya. Dari beberapa kasus tersebut juga bisa disimpulkan bahwa adanya relevansi antara negara yang terjalin kelindan dengan kapital.
Persekongkolan negara-kapital ini menunjukkan bahwa negara telah mengorbankan nation-nya sendiri dengan dalih nasionalisme. Faktanya bisa disaksikan saat ini, di mana mayoritas masyarakat di Sumatera dan Kalimantan terpapar asap, bahkan hingga membuat bayi kecil menghembuskan nafas terakhir akibat ulah tamak kapitalis yang bersembunyi di balik jubah negara.
Selain itu, nasionalisme negara juga melakukan politik homogenisasi, yang menurut Patria dengan meletakkan Jawa sebagai pusat, sehingga kental nuansa Jawa-sentris. Indikasinya terlihat ketika status Bencana Nasional terhadap asap ini belum ditetapkan. Muncul anggapan bahwa hal ini karena bencana ini tidak terjadi di Pulau Jawa, atau Jakarta sebagai pusat administrasi negara. Sementara ketakutan akan atmosfer kerusuhan yang akan terjadi pada perhelatan final Piala Presiden antara Persib Bandung dan Sriwijaya FC beberapa waktu lalu langsung direspons dengan penetapan status Siaga 1, karena berlangsung di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta (merdeka.com, 18/10/2015). Ide nasionalisme sebagai imagined communities kian menunjukkan kontradiksi karena setiap anggota komunitas, terutama aparatus negara tak lagi memiliki imajinasi penghayatan yang sama akan penderitaan anggota komunitas lainnya yang terpapar asap di Sumatera dan Kalimantan.

Dekonstruksi Nasionalisme
Nasionalisme, kata Anderson adalah “common project”, atau dalam frasa Patria disebut sebagai proyek bersama yang belum selesai. Ia ada dalam proses “menjadi”, artinya terus berdialektika mengikuti semangat zaman. Generasi masa kini harus mengisi dan mendefinisikan nasionalisme-nya sendiri tanpa harus didikte negara. Nasionalisme harus didekonstruksi menjadi instrumen perlawanan terhadap kapitalisme dan korporasi. Dalam pembayangan komunitas yang sama, nasionalisme harus membela kepentingan publik, bukan kepentingan kelompok tertentu.
Kita berharap semoga momentum Sumpah Pemuda ini tak lagi dirayakan dengan seremonial musiman yang kerap dipraktikkan aparatus negara dengan memasang baliho-baliho akbar di kantor-kantor pemerintahan plus foto close-up pejabat (juga foto para politisi pengidap narsisme akut, bahkan hingga level pejabat pemerintahan mahasiswa) dilengkapi jargon normatif seperti “Dengan semangat Sumpah Pemuda,... kita tingkatkan... menuju...” serta redaksional monoton serupa. Semoga kita tak termasuk dalam golongan tersebut. Selamat hari Sumpah Pemuda! []

*Alumnus Program Studi Psikologi Universitas Syiah Kuala.

0 komentar:

Posting Komentar

.