(Refleksi Hari Sumpah Pemuda)
Apa
urgensi nasionalisme bagi generasi saat ini? Kiranya pertanyaan ini akan
mengantarkan kita pada refleksi satu fase sejarah awal pergerakan kemerdekaan
Indonesia, ketika Keputusan Kongres Pemuda Kedua dilaksanakan pada 27-28
Oktober 1928 di Batavia (Jakarta). Kongres Pemuda tersebut diyakini menjadi
cikal-bakal nasionalisme dan berdirinya negara-bangsa Indonesia dengan mengacu
pada trilogi Sumpah Pemuda; satu tanah air, bangsa, dan bahasa Indonesia.
Perlu
dicatat bahwa konstruksi nasionalisme yang dibangun pada saat perumusan Sumpah
Pemuda tersebut merupakan semangat nasionalisme pra-kemerdekaan. Artinya, ada
cita-cita yang luhung dari generasi saat itu untuk menyatukan identitas dan
keluar dari bayang-bayang kolonialisme dan imperialisme. Lalu, apakah semangat
nasionalisme 87 tahun silam itu masih relevan bila dibandingkan dengan kondisi
saat ini?
Imagined Communities
Nasionalisme
yang dibangun pada masa itu adalah perasaan akan penindasan dan penjajahan yang
dilakukan oleh negara kolonial. Keadaan tersebut membentuk keterikatan
emosional yang kuat, walau antar komunitas yang mengalami penindasan dipisahkan
jarak geografis dan tak saling mengenal. Keterikatan ini kemudian dikerucutkan
menjadi identitas tunggal dengan tujuan menggelorakan perlawanan untuk
-meminjam terminologi Gramscian- melakukan counter-hegemony
terhadap narasi besar (grand narration)
kolonialisme dan imperialisme serta membangun narasi sendiri yang
dideklarasikan dalam wujud “state”;
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Di sinilah konsep
nasionalisme sebagai ide “komunitas terbayang” (imagined communities) yang dimaksud oleh Benedict Anderson menemukan
momentumnya.
Anderson
dalam bukunya, Imagined Communities:
Reflections on the Origin and Spread of Nationalism (2006) menjelaskan konsep
imagined communities lahir dari
pemahaman bahwa nasionalisme bangsa (nation)
merupakan komunitas politik yang dibayangkan sebagai suatu kesatuan yang
dibatasi oleh teritorial (borders)
dalam bingkai kedaulatan. Dibayangkan di sini dipahami sebagai imajinasi antar
anggota dalam komunitas tersebut yang tak mengenal seluruh anggotanya, atau tak
pernah bertatap muka, namun mereka merasa berada dalam semangat nasionalisme
yang sama. Semangat tersebut, menurut Nezar Patria dimungkinkan karena adanya “sentiment of belonging to a community,”
yaitu “rasa memiliki kepada suatu komunitas yang sama-sama tertindas... dan
berkeinginan memutuskan nasib politik mereka bersama.” (“Nasionalisme
Indonesia: “Proyek Bersama” yang Belum Selesai”, indoprogress.com, 10/7/2007). Jika dilihat dalam konteks kekinian,
bagaimana sebenarnya konstruksi nasionalisme Indonesia saat ini?
Banalitas
& Mistifikasi
Salah
seorang profesor psikologi sosial, Michael Billig (1995) mencatat adanya
“cacat” dalam praksis nasionalisme dalam bentuk nasionalisme banal (banal nationalism). Nasionalisme banal dapat
diartikan sebagai “nasionalisme sehari-hari”, praktik rutin yang kerap abai
dari perhatian dan direproduksi secara terus-menerus. Penekanannya ada pada
kuantitas, bukan kualitas nasionalisme-nya. Karena itu, ia cenderung melemahkan
semangat nasionalisme dan menjadi dangkal; menjadi banal. Semuanya bermuara pada ritual simbolik yang tak substantif.
Banalitas
ini, pada titik tertentu akan membawa pada mistifikasi nasionalisme itu sendiri.
Mistifikasi di sini, merujuk pada terminologi D.A Rinkes (dalam Kuntowijoyo,
2001) tentang mistifikasi agama, yang “percaya bahwa dengan Islam segalanya
akan beres, tetapi tidak tahu apa yang harus dikerjakan, hanya “ikut arus”
kejadian sehari-hari tanpa tujuan yang jelas.” Nasionalisme kerap dianggap sebagai
solusi semua permasalahan negara-bangsa tanpa memahami substansi sebenarnya. Ada
upaya mengkonstruksikan nasionalisme menjadi mitos.
Mitos
nasionalisme ini, salah satunya hadir dalam wujud narasi yang menyatakan bahwa
cita-cita negara-bangsa Indonesia sudah ada sejak nenek moyang dahulu kala. Ini
bentuk penyesatan sejarah, karena mengandung beberapa kontradiksi. Hal ini bisa
terlihat sebagaimana dipotret Anderson (1999) dalam tulisannya yang lain, “Indonesian Nationalism Today and in the
Future”. Fakta sejarah menuturkan bahwa Raja Aceh pernah “menjajah” pesisir
Minangkabau, Raja Bugis yang menguasai Toraja, Jawa yang mencoba menaklukkan
Pulau Sunda, dan sejarah penaklukan lainnya jauh sebelum adanya konsep
negara-bangsa Indonesia.
Nasionalisme
Indonesia, seperti ditulis Patria yang mengutip sejarawan Charles Tilly, adalah
state-led nationalism; nasionalisme
yang diarahkan oleh negara. Negara menjadikan nasionalisme sebagai legitimasi
kekuasaan. Hingga kemudian dengan menggunakan instrumen militer, negara tercatat
dalam sejarah tragedi seperti peristiwa 1965, Kerusuhan Mei 1998, konflik Aceh,
Papua, dan tragedi lainnya. Dari beberapa kasus tersebut juga bisa disimpulkan
bahwa adanya relevansi antara negara yang terjalin kelindan dengan kapital.
Persekongkolan
negara-kapital ini menunjukkan bahwa negara telah mengorbankan nation-nya sendiri dengan dalih
nasionalisme. Faktanya bisa disaksikan saat ini, di mana mayoritas masyarakat
di Sumatera dan Kalimantan terpapar asap, bahkan hingga membuat bayi kecil
menghembuskan nafas terakhir akibat ulah tamak kapitalis yang bersembunyi di
balik jubah negara.
Selain
itu, nasionalisme negara juga melakukan politik homogenisasi, yang menurut
Patria dengan meletakkan Jawa sebagai pusat, sehingga kental nuansa
Jawa-sentris. Indikasinya terlihat ketika status Bencana Nasional terhadap asap
ini belum ditetapkan. Muncul anggapan bahwa hal ini karena bencana ini tidak
terjadi di Pulau Jawa, atau Jakarta sebagai pusat administrasi negara.
Sementara ketakutan akan atmosfer kerusuhan yang akan terjadi pada perhelatan final
Piala Presiden antara Persib Bandung dan Sriwijaya FC beberapa waktu lalu
langsung direspons dengan penetapan status Siaga 1, karena berlangsung di
Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta (merdeka.com,
18/10/2015). Ide nasionalisme sebagai imagined
communities kian menunjukkan kontradiksi karena setiap anggota komunitas,
terutama aparatus negara tak lagi memiliki imajinasi penghayatan yang sama akan
penderitaan anggota komunitas lainnya yang terpapar asap di Sumatera dan
Kalimantan.
Dekonstruksi
Nasionalisme
Nasionalisme,
kata Anderson adalah “common project”,
atau dalam frasa Patria disebut sebagai proyek bersama yang belum selesai. Ia
ada dalam proses “menjadi”, artinya terus berdialektika mengikuti semangat
zaman. Generasi masa kini harus mengisi dan mendefinisikan nasionalisme-nya
sendiri tanpa harus didikte negara. Nasionalisme harus didekonstruksi menjadi
instrumen perlawanan terhadap kapitalisme dan korporasi. Dalam pembayangan
komunitas yang sama, nasionalisme harus membela kepentingan publik, bukan
kepentingan kelompok tertentu.
Kita
berharap semoga momentum Sumpah Pemuda ini tak lagi dirayakan dengan seremonial
musiman yang kerap dipraktikkan aparatus negara dengan memasang baliho-baliho
akbar di kantor-kantor pemerintahan plus foto close-up pejabat (juga foto para politisi pengidap narsisme akut,
bahkan hingga level pejabat pemerintahan mahasiswa) dilengkapi jargon normatif
seperti “Dengan semangat Sumpah
Pemuda,... kita tingkatkan... menuju...” serta redaksional monoton serupa.
Semoga kita tak termasuk dalam golongan tersebut. Selamat hari Sumpah Pemuda!
[]
*Alumnus
Program Studi Psikologi Universitas Syiah Kuala.
0 komentar:
Posting Komentar