Pendahuluan
Ibnu
Khaldun (1332-1406 M) merupakan salah seorang intelektual muslim yang telah banyak
memberikan kontribusi pemikiran terhadap lintas disiplin ilmu, seperti sejarah,
filsafat, sosiologi, ekonomi, politik, dan budaya. Salah satu karyanya, al-Muqaddimah (Pendahuluan) atau yang
dalam bahasa yunani disebut Prolegomena
merupakan magnum opus Ibnu Khaldun
yang membicarakan tentang disiplin ilmu secara universal, mencakup sejarah, peradaban
manusia, ilmu pengetahuan (science),
politik, sosiologi, ekonomi, demografi, serta historiografi.
Muqaddimah yang
ditulis pada 1377 M itu sebenarnya merupakan pengantar untuk Kitab al-‘Ibrar (Kitab Pelajaran) yang
membahas tentang sejarah dan politik orang-orang Arab, non-Arab, Barbar dan raja-raja
besar di masa itu. Namun, karyanya yang lebih banyak dikenal justru Muqadddimah-nya sendiri. Melalui karya
tersebut, ia pun dinobatkan sebagai pencetus sosiologi modern.
Selain
berbagai pengetahuan multidisipliner di atas yang disinggung Ibnu Khaldun, ia
juga menjelaskan tentang konsepsi pengetahuan dan psikologi manusia (human psycchology) dalam kitabnya
tersebut. Zaid Ahmad (2004) dalam The
Epistemology of Ibn Khaldun mengklasifikasikan pemikiran Ibn Khaldun
terkait mental manusia dalam tema “Manusia sebagai Hewan yang Berpikir” (Man as Thingking Animal) dengan pendekatan
filosofis dan relevansinya terhadap pembentukan organisasi sosial.
Ahmad
menyebutkan bahwa Ibnu Khaldun menggunakan istilah fikr (pemikiran) untuk mendeskripsikan inti dari kemampuan
pemikiran manusia. Menurut Ibnu Khaldun, fikr
merujuk pada pusat dari kekuatan manusia sehingga membuatnya untuk memenuhi
berbagai dimensi kebutuhan dalam kehidupannya.
Kemampuan
manusia untuk berpikir juga membedakan manusia dengan makhluk Allah lainnya
yang tak diberikan kemampuan serupa. Tanpa kekuatan tersebut, status manusia
akan sama dengan makhluk lainnya di muka bumi. Manusia, bagi Ibnu Khaldun
merupakan ciptaan Allah yang diciptakan dengan sempurna dan superior di antara
ciptaan-Nya yang lain. Allah juga menjadikan manusia sebagai pemimpin (khalifah) di muka bumi (QS. Al-Baqarah:
30) sebagai representasi superioritas, keistimewaan, dan kesempurnaan manusia
di antara makhluk lainnya. Dengan begitu, fikr
merupakan penanda eksistensi umat manusia di muka bumi ini.
Kemampuan Berpengetahuan
Menurut
Ibnu Khaldun, manusia pada hakikatnya sadar bahwa dirinya penuh dengan
ketidaktahuan (ignorance), karena itu
ia memerlukan pengetahuan. Hasrat manusia untuk berpengetahuan merupakan
keniscayaan dan sesuatu yang alamiah bagi manusia untuk memerolehnya. Proses
penerimaan pengetahuan ini, dimungkinkan dengan adanya kemampuan berpikir.
Kemudian, gambaran pengetahuan (atau yang dalam bahasa psikologi dinamakan
stimulus) itu diperoleh oleh manusia dengan apa yang disebut oleh Ibnu Khaldun
sebagai kesadaran (consciousness).
Kesadaran
tersebut, akan memroses pengetahuan atau stimulus melalui “indera eksternal
yang diberikan Tuhan kepada mereka”, yaitu indera pendengaran, penglihatan,
penciuman, pengecap, dan peraba. Kemudian, gambaran sensibilia atau hal yang telah diinderai itu, disematkan dalam
pikiran dan kemudian diabstraksikan untuk memperoleh gambaran pengetahuan
tersebut dalam pikiran mereka. Gambaran dalam pikiran itulah yang menjadi dasar
persepsi manusia (idrakat), sehingga
mampu mempersepsikan sesuatu pengetahuan di luar diri mereka yang kemudian
dianalisis untuk menutupi ketidaktahuan mereka.
Secara
umum, fungsi kemampuan berpikir yang dimiliki manusia digunakan untuk mencerap
dan memeroleh pengetahuan, atau yang dalam pedagogi kritisnya filsuf pendidikan
Brazil, Paulo Freire dikenal dengan konsep “conscientiousness”,
yaitu penggabungan antara kesadaran (consciousness)
dan ilmu (science).
Freire
mengatakan bahwa sistem yang terbentuk dalam relasi sosial saat ini cenderung
bungkam terhadap berbagai realitas karena adanya tekanan untuk mengkritisi
kesalahan dan mengungkapkan kebenaran baik dari dominasi suatu entitas maupun
individu atau kelompok yang memiliki kekuasaan. Sehingga hal ini menjadikan
realitas sosial kita melanggengkan “budaya bisu” (culture of silence). Karena itu, menurut Freire pengetahuan harus
mampu membangun kesadaran kritis dalam diri individu untuk mengkritisi status quo dan melihat jalinan relasi
kuasa dalam kompleksitas interaksi sosial.
Urgensi Pengetahuan
Dalam
pembacaan Ibn Khaldun, secara spesifik setidaknya ada tiga fungsi utama dari
kemampuan berpikir yang dimiliki manusia. Tentunya dasar dari fungsi ini juga
bertumpu pada pengetahuan. Pertama, untuk kelangsungan hidup manusia (li-tahsil ma’ashi-hi). Fungsi dari
pemikiran yang pertama ini memiliki peran yang sangat signifikan bagi manusia.
Artinya, tanpa kemampuan tersebut, manusia takkan bisa memenuhi kebutuhan hidup
mereka sehari-hari dan menjalani kehidupan secara normal karena nihil pengetahuan
tentang hal-hal apa saja yang diperlukan manusia untuk mempertahankan
keberlangsungan hidup mereka serta bagaimana caranya agar mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan
tersebut.
Kedua,
untuk menjalin kerjasama dengan orang lain (al-ta’awun
‘alay-hi). Yang dimaksud dengan kerjasama di sini bukan semata saling
membantu satu sama lain, namun lebih ditujukan pada aspek pemahaman akan
pentingnya konsep dan proses sosial yang terjadi dari fungsi tersebut. Jika
disimpulkan, fungsi ini merupakan tindaklanjut dari fungsi pertama di atas. Ketika
manusia hendak memenuhi kebutuhan hidupnya dengan pengetahuan yang dimiliki, ia
harus berusaha secara maksimal untuk mendapatkannya. Namun, usaha seorang
individu saja tentu tidak memadai. Karena itu, manusia membutuhkan orang lain
untuk membantu dan bekerjasama dalam rangka memenuhi kebutuhan tersebut.
Kerjasama
ini dilakukan sesuai dengan keterampilan masing-masing, sehingga suatu
pekerjaan yang dilakukan secara bersama-sama akan memberikan hasil yang
maksimal karena setiap orang bertanggungjawab atas peran dalam pekerjaan yang
dijalaninya. Atas dasar perumusan kerjasama dalam kelompok sosial ini, Ibnu
khaldun mengembangkan konsep‘asabiyyah
atau solidaritas sosial yang membentuk ikatan kesukuan yang kemudian terjelmakan
sebagai konstruksi masyarakat. Tesis Ibnu Khaldun ini menjadi cikal bakal
lahirnya teori dan konsepsi tentang negara. Dalam struktur pekerjaan, Ibnu
Khaldun juga menjadi pemantik awal teori sosial terkait pembagian kerja (division of labour).
Fungsi
ketiga dari konsep pemikiran manusia adalah kemampuan untuk menerima
wahyu-wahyu yang disampaikan oleh Allah kepada para rasul-Nya (qabul ma ja’at bi-hi al-anbiya’ ‘an Allah
ta’ala). Ibnu Khaldun menjelaskan bahwa dalam terminologi Islam, fungsi ini
berkaitan erat dengan pemahaman manusia terkait firman yang disampaikan Allah.
Manusia takkan bisa mencerna dan memahami langsung wahyu atau pengetahuan dari
Allah tersebut hanya dengan pengetahuan rasional atau penghayatan mentalnya
semata. Karena itu, Allah mengutus para rasul-Nya sebagai perantara untuk
menyampaikan pengetahuan tersebut kepada umat manusia. Para rasul diutus untuk
menyampaikan firman Allah dengan bahasa yang bisa dipahami oleh manusia pada
waktu itu, yaitu bahasa Arab yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa
lainnya yang ada di dunia, sehingga umat muslim seluruh dunia mendapatkan
pemahaman yang komprehensif.
Dalam
hal ini, para rasul Allah memiliki peran yang sangat vital dalam eksistensi
umat manusia. Menurut Ibnu Khaldun, firman Allah yang tertulis dalam Al-Quran
sebagai rekaman teks wahyu Allah tersebut merupakan sumber pengetahuan
tertinggi serta pedoman paling sakral menuju keselamatan hidup dunia dan
akhirat bagi umat muslim. Karena itu, Ibnu Khaldun menempatkan fungsi ketiga
dari konsep fikr ini pada tingkatan
tertinggi dan terpenting dari kemampuan berpikir manusia, sehingga dengan pengetahuan
inilah manusia bisa mencapai tahapan kesempurnaan hidup.
Penutup
Jika dilihat dari kerangka psikoanalisis,
mungkin bisa dikatakan bahwa ketiga fungsi kemampuan berpikir yang dirumuskan
Ibnu Khaldun ini, paling tidak memiliki relevensi dengan struktur kepribadian (psyche) yang dipopulerkan Sigmund Freud dalam
kumpulan esainya, Beyond the Pleasure Principle
(1961). Freud menjelaskan bahwa manusia memiliki tiga struktur kepribadian; id (naluri dasar manusia yang harus
dipenuhi, seperti makan, minum, hubungan seksual, dan lain-lain), ego (jembatan realitas antara id dan superego), dan superego (internalisasi
nilai-nilai agama, moral, dan budaya dalam lingkungan masyarakat yang kerap menjadi
penghalang pemenuhan id).
Prinsip id hampir serupa dengan fungsi kemampuan berpikir untuk memenuhi
kebutuhan hidup manusia. Ego yang
menjadi jembatan untuk merealisasikan id juga
mirip dengan konsep kemampuan berpikir untuk bekerjasama dengan orang lain
dalam rangka memenuhi kebutuhan tersebut. Sementara superego sebagai “polisi moral” yang mengatur hal-hal normatif juga
memiliki beberapa kesamaan dengan fungsi kemampuan berpikir untuk memahami dan
mematuhi ajaran agama.
Namun
perlu digarisbawahi bahwa konsep psyche hanya
melihat manusia terkait upaya pemenuhan dorongan prinsip kesenangan (pleasure priciple; lustprinzip) atau insting semata dalam rangka menghindari rasa
sakit untuk memenuhi kebutuhan biologis dan psikologis manusia. Sementara Ibnu
Khaldun melihat dari perspektif bagaimana manusia mengakumulasi pengetahuan
yang, selain digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup, juga untuk memeroleh
wahyu, pengetahuan, dan hidayah dari Allah melalui perantara para rasul-Nya.
Tujuannya untuk menutupi ketidaktahuan (ignorance)
manusia, sehingga dengan begitu mampu menginternalisasikan pengetahuan tersebut
dalam praksis sehari-hari. Fungsi psyche
yang dijabarkan Freud merujuk pada satu penanda utama; prinsip kesenangan,
sementara Ibnu Khaldun meletakkan fondasi fikr-nya
pada bangunan pengetahuan dunia dan akhirat, yang tentunya jauh “melampaui” insting,
hasrat, dan dorongan kesenangan yang ada dalam diri manusia.
Pastinya
masih banyak lagi teori dan konsepsi lintas displin ilmu yang dicetuskan Ibnu
Khaldun dalam kitabnya itu. Tulisan ini hanya mendeskripsikan secara sekilas
beberapa konsep tersebut. Harus diakui, sampai saat ini masih sangat sedikit
sarjana Islam yang mendedikasikan dirinya untuk membedah karya-karya dan
pemikiran klasik intelektual dan filsuf muslim seperti Ibnu Khaldun ini baik
dalam bentuk jurnal atau buku yang bisa diakses publik secara umum. Padahal
karya dan pemikiran klasik seperti ini sarat dengan muatan pengetahuan serta
konteksnya juga masih relevan untuk dikaji atau dikontekstualisasikan dengan
realitas saat ini. Kita berharap semoga ke depan semakin banyak intelektual
Islam, terutama di Indonesia yang memfokuskan kajian pada pemikiran dan
keilmuan intelektual Islam sendiri. Wallahu
a’lam bishshawab. []
*Alumnus
Program Studi Psikologi Universitas Syiah Kuala.
Referensi
Ahmad, Zaid. (2003). The Epistemology of Ibn Khaldūn. London: RoutledgeCurzon.
Freire, Paulo. (2005). Pedagogy of the Oppressed, 30th Anniversary Ed. New York:
Continuum.
Freud, Sigmund. (1961). Beyond Pleasure Principle. Trans. James Strachey. New York: Norton.
Khaldun, Ibn. (1377). Muqaddimah. Trans. Franz Rosenthal. Islamic Philosophy Online. Muslim Philosophy. Web. 31 Aug. 2013.
0 komentar:
Posting Komentar