7 Desember 2015

Konsepsi dan Urgensi Pengetahuan dalam Pemikiran Ibnu Khaldun

Leave a Comment

Pendahuluan
Ibnu Khaldun (1332-1406 M) merupakan salah seorang intelektual muslim yang telah banyak memberikan kontribusi pemikiran terhadap lintas disiplin ilmu, seperti sejarah, filsafat, sosiologi, ekonomi, politik, dan budaya. Salah satu karyanya, al-Muqaddimah (Pendahuluan) atau yang dalam bahasa yunani disebut Prolegomena merupakan magnum opus Ibnu Khaldun yang membicarakan tentang disiplin ilmu secara universal, mencakup sejarah, peradaban manusia, ilmu pengetahuan (science), politik, sosiologi, ekonomi, demografi, serta historiografi.
Muqaddimah yang ditulis pada 1377 M itu sebenarnya merupakan pengantar untuk Kitab al-‘Ibrar (Kitab Pelajaran) yang membahas tentang sejarah dan politik orang-orang Arab, non-Arab, Barbar dan raja-raja besar di masa itu. Namun, karyanya yang lebih banyak dikenal justru Muqadddimah-nya sendiri. Melalui karya tersebut, ia pun dinobatkan sebagai pencetus sosiologi modern.
Selain berbagai pengetahuan multidisipliner di atas yang disinggung Ibnu Khaldun, ia juga menjelaskan tentang konsepsi pengetahuan dan psikologi manusia (human psycchology) dalam kitabnya tersebut. Zaid Ahmad (2004) dalam The Epistemology of Ibn Khaldun mengklasifikasikan pemikiran Ibn Khaldun terkait mental manusia dalam tema “Manusia sebagai Hewan yang Berpikir” (Man as Thingking Animal) dengan pendekatan filosofis dan relevansinya terhadap pembentukan organisasi sosial.
Ahmad menyebutkan bahwa Ibnu Khaldun menggunakan istilah fikr (pemikiran) untuk mendeskripsikan inti dari kemampuan pemikiran manusia. Menurut Ibnu Khaldun, fikr merujuk pada pusat dari kekuatan manusia sehingga membuatnya untuk memenuhi berbagai dimensi kebutuhan dalam kehidupannya.
Kemampuan manusia untuk berpikir juga membedakan manusia dengan makhluk Allah lainnya yang tak diberikan kemampuan serupa. Tanpa kekuatan tersebut, status manusia akan sama dengan makhluk lainnya di muka bumi. Manusia, bagi Ibnu Khaldun merupakan ciptaan Allah yang diciptakan dengan sempurna dan superior di antara ciptaan-Nya yang lain. Allah juga menjadikan manusia sebagai pemimpin (khalifah) di muka bumi (QS. Al-Baqarah: 30) sebagai representasi superioritas, keistimewaan, dan kesempurnaan manusia di antara makhluk lainnya. Dengan begitu, fikr merupakan penanda eksistensi umat manusia di muka bumi ini.

Kemampuan Berpengetahuan
Menurut Ibnu Khaldun, manusia pada hakikatnya sadar bahwa dirinya penuh dengan ketidaktahuan (ignorance), karena itu ia memerlukan pengetahuan. Hasrat manusia untuk berpengetahuan merupakan keniscayaan dan sesuatu yang alamiah bagi manusia untuk memerolehnya. Proses penerimaan pengetahuan ini, dimungkinkan dengan adanya kemampuan berpikir. Kemudian, gambaran pengetahuan (atau yang dalam bahasa psikologi dinamakan stimulus) itu diperoleh oleh manusia dengan apa yang disebut oleh Ibnu Khaldun sebagai kesadaran (consciousness).
Kesadaran tersebut, akan memroses pengetahuan atau stimulus melalui “indera eksternal yang diberikan Tuhan kepada mereka”, yaitu indera pendengaran, penglihatan, penciuman, pengecap, dan peraba. Kemudian, gambaran sensibilia atau hal yang telah diinderai itu, disematkan dalam pikiran dan kemudian diabstraksikan untuk memperoleh gambaran pengetahuan tersebut dalam pikiran mereka. Gambaran dalam pikiran itulah yang menjadi dasar persepsi manusia (idrakat), sehingga mampu mempersepsikan sesuatu pengetahuan di luar diri mereka yang kemudian dianalisis untuk menutupi ketidaktahuan mereka.
Secara umum, fungsi kemampuan berpikir yang dimiliki manusia digunakan untuk mencerap dan memeroleh pengetahuan, atau yang dalam pedagogi kritisnya filsuf pendidikan Brazil, Paulo Freire dikenal dengan konsep “conscientiousness”, yaitu penggabungan antara kesadaran (consciousness) dan ilmu (science).
Freire mengatakan bahwa sistem yang terbentuk dalam relasi sosial saat ini cenderung bungkam terhadap berbagai realitas karena adanya tekanan untuk mengkritisi kesalahan dan mengungkapkan kebenaran baik dari dominasi suatu entitas maupun individu atau kelompok yang memiliki kekuasaan. Sehingga hal ini menjadikan realitas sosial kita melanggengkan “budaya bisu” (culture of silence). Karena itu, menurut Freire pengetahuan harus mampu membangun kesadaran kritis dalam diri individu untuk mengkritisi status quo dan melihat jalinan relasi kuasa dalam kompleksitas interaksi sosial.

Urgensi Pengetahuan
Dalam pembacaan Ibn Khaldun, secara spesifik setidaknya ada tiga fungsi utama dari kemampuan berpikir yang dimiliki manusia. Tentunya dasar dari fungsi ini juga bertumpu pada pengetahuan. Pertama, untuk kelangsungan hidup manusia (li-tahsil ma’ashi-hi). Fungsi dari pemikiran yang pertama ini memiliki peran yang sangat signifikan bagi manusia. Artinya, tanpa kemampuan tersebut, manusia takkan bisa memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari dan menjalani kehidupan secara normal karena nihil pengetahuan tentang hal-hal apa saja yang diperlukan manusia untuk mempertahankan keberlangsungan hidup mereka serta bagaimana caranya agar mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut.
Kedua, untuk menjalin kerjasama dengan orang lain (al-ta’awun ‘alay-hi). Yang dimaksud dengan kerjasama di sini bukan semata saling membantu satu sama lain, namun lebih ditujukan pada aspek pemahaman akan pentingnya konsep dan proses sosial yang terjadi dari fungsi tersebut. Jika disimpulkan, fungsi ini merupakan tindaklanjut dari fungsi pertama di atas. Ketika manusia hendak memenuhi kebutuhan hidupnya dengan pengetahuan yang dimiliki, ia harus berusaha secara maksimal untuk mendapatkannya. Namun, usaha seorang individu saja tentu tidak memadai. Karena itu, manusia membutuhkan orang lain untuk membantu dan bekerjasama dalam rangka memenuhi kebutuhan tersebut.
Kerjasama ini dilakukan sesuai dengan keterampilan masing-masing, sehingga suatu pekerjaan yang dilakukan secara bersama-sama akan memberikan hasil yang maksimal karena setiap orang bertanggungjawab atas peran dalam pekerjaan yang dijalaninya. Atas dasar perumusan kerjasama dalam kelompok sosial ini, Ibnu khaldun mengembangkan konsep‘asabiyyah atau solidaritas sosial yang membentuk ikatan kesukuan yang kemudian terjelmakan sebagai konstruksi masyarakat. Tesis Ibnu Khaldun ini menjadi cikal bakal lahirnya teori dan konsepsi tentang negara. Dalam struktur pekerjaan, Ibnu Khaldun juga menjadi pemantik awal teori sosial terkait pembagian kerja (division of labour).
Fungsi ketiga dari konsep pemikiran manusia adalah kemampuan untuk menerima wahyu-wahyu yang disampaikan oleh Allah kepada para rasul-Nya (qabul ma ja’at bi-hi al-anbiya’ ‘an Allah ta’ala). Ibnu Khaldun menjelaskan bahwa dalam terminologi Islam, fungsi ini berkaitan erat dengan pemahaman manusia terkait firman yang disampaikan Allah. Manusia takkan bisa mencerna dan memahami langsung wahyu atau pengetahuan dari Allah tersebut hanya dengan pengetahuan rasional atau penghayatan mentalnya semata. Karena itu, Allah mengutus para rasul-Nya sebagai perantara untuk menyampaikan pengetahuan tersebut kepada umat manusia. Para rasul diutus untuk menyampaikan firman Allah dengan bahasa yang bisa dipahami oleh manusia pada waktu itu, yaitu bahasa Arab yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa lainnya yang ada di dunia, sehingga umat muslim seluruh dunia mendapatkan pemahaman yang komprehensif.
Dalam hal ini, para rasul Allah memiliki peran yang sangat vital dalam eksistensi umat manusia. Menurut Ibnu Khaldun, firman Allah yang tertulis dalam Al-Quran sebagai rekaman teks wahyu Allah tersebut merupakan sumber pengetahuan tertinggi serta pedoman paling sakral menuju keselamatan hidup dunia dan akhirat bagi umat muslim. Karena itu, Ibnu Khaldun menempatkan fungsi ketiga dari konsep fikr ini pada tingkatan tertinggi dan terpenting dari kemampuan berpikir manusia, sehingga dengan pengetahuan inilah manusia bisa mencapai tahapan kesempurnaan hidup.

Penutup
            Jika dilihat dari kerangka psikoanalisis, mungkin bisa dikatakan bahwa ketiga fungsi kemampuan berpikir yang dirumuskan Ibnu Khaldun ini, paling tidak memiliki relevensi dengan struktur kepribadian (psyche) yang dipopulerkan Sigmund Freud dalam kumpulan esainya, Beyond the Pleasure Principle (1961). Freud menjelaskan bahwa manusia memiliki tiga struktur kepribadian; id (naluri dasar manusia yang harus dipenuhi, seperti makan, minum, hubungan seksual, dan lain-lain), ego (jembatan realitas antara id dan superego), dan superego (internalisasi nilai-nilai agama, moral, dan budaya dalam lingkungan masyarakat yang kerap menjadi penghalang pemenuhan id).
            Prinsip id hampir serupa dengan fungsi kemampuan berpikir untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Ego yang menjadi jembatan untuk merealisasikan id juga mirip dengan konsep kemampuan berpikir untuk bekerjasama dengan orang lain dalam rangka memenuhi kebutuhan tersebut. Sementara superego sebagai “polisi moral” yang mengatur hal-hal normatif juga memiliki beberapa kesamaan dengan fungsi kemampuan berpikir untuk memahami dan mematuhi ajaran agama.
Namun perlu digarisbawahi bahwa konsep psyche hanya melihat manusia terkait upaya pemenuhan dorongan prinsip kesenangan (pleasure priciple; lustprinzip) atau insting semata dalam rangka menghindari rasa sakit untuk memenuhi kebutuhan biologis dan psikologis manusia. Sementara Ibnu Khaldun melihat dari perspektif bagaimana manusia mengakumulasi pengetahuan yang, selain digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup, juga untuk memeroleh wahyu, pengetahuan, dan hidayah dari Allah melalui perantara para rasul-Nya. Tujuannya untuk menutupi ketidaktahuan (ignorance) manusia, sehingga dengan begitu mampu menginternalisasikan pengetahuan tersebut dalam praksis sehari-hari. Fungsi psyche yang dijabarkan Freud merujuk pada satu penanda utama; prinsip kesenangan, sementara Ibnu Khaldun meletakkan fondasi fikr-nya pada bangunan pengetahuan dunia dan akhirat, yang tentunya jauh “melampaui” insting, hasrat, dan dorongan kesenangan yang ada dalam diri manusia.
Pastinya masih banyak lagi teori dan konsepsi lintas displin ilmu yang dicetuskan Ibnu Khaldun dalam kitabnya itu. Tulisan ini hanya mendeskripsikan secara sekilas beberapa konsep tersebut. Harus diakui, sampai saat ini masih sangat sedikit sarjana Islam yang mendedikasikan dirinya untuk membedah karya-karya dan pemikiran klasik intelektual dan filsuf muslim seperti Ibnu Khaldun ini baik dalam bentuk jurnal atau buku yang bisa diakses publik secara umum. Padahal karya dan pemikiran klasik seperti ini sarat dengan muatan pengetahuan serta konteksnya juga masih relevan untuk dikaji atau dikontekstualisasikan dengan realitas saat ini. Kita berharap semoga ke depan semakin banyak intelektual Islam, terutama di Indonesia yang memfokuskan kajian pada pemikiran dan keilmuan intelektual Islam sendiri. Wallahu a’lam bishshawab. []

*Alumnus Program Studi Psikologi Universitas Syiah Kuala.

Referensi
Ahmad, Zaid. (2003). The Epistemology of Ibn Khaldūn. London: RoutledgeCurzon.
Freire, Paulo. (2005). Pedagogy of the Oppressed, 30th Anniversary Ed. New York: Continuum.
Freud, Sigmund. (1961). Beyond Pleasure Principle. Trans. James Strachey. New York: Norton.
Khaldun, Ibn. (1377). Muqaddimah. Trans. Franz Rosenthal. Islamic Philosophy Online. Muslim Philosophy. Web. 31 Aug. 2013.

0 komentar:

Posting Komentar

.