7 Desember 2015

HAM, Impunitas, dan Pembungkaman Negara

Leave a Comment

Berita-berita di media tentang HAM di tanah air selama sebulan terakhir ditandai oleh beberapa peristiwa penting yang terjadi hampir bersamaan. Pertama, dilaksanakannya International People's Tribunal atau Pengadilan Rakyat Internasional di Den Haag sejak Selasa (10/11) hingga Jumat (13/11) untuk mengungkap peristiwa pembantaian di Indonesia dalam kurun waktu 1965-1966 (kompas.com, 10/11). Kedua, pelaksanaan Konferensi Internasional Peringatan 10 Tahun Aceh Damai di Banda Aceh, 13-15 November 2015 (aceh.tribunnews.com, 14/11). Dan terakhir, pelarangan aksi Kamisan yang biasa dilakukan oleh keluarga korban pelanggaran HAM di depan Istana Negara sejak Kamis (19/11) oleh pihak kepolisian (kompas.com, 12/11). Ketiga peristiwa ini, setidaknya memiliki keterhubungan antara satu dan lainnya yang diikat oleh satu penanda utama; tentang nasib para korban pelanggaran HAM yang masih tertatih-tatih mengungkap kebenaran dan mencari keadilan.
Abainya peran Negara dalam memenuhi hak korban hingga menyebabkan para korban harus memiliki “inisiatif” sendiri untuk menuntut haknya. Hal ini bisa dilihat dengan dibentuknya International People's Tribunal di Den Haag beberapa waktu lalu itu. Padahal Negara bertanggungjawab untuk memberikan perlindungan dan jaminan akan hak-hak kemanusiaan tiap warga negaranya. Sayangnya, narasi sejarah penegakan HAM di Indonesia tak berpihak pada korban. Ketakutan karena adanya keterlibatan rezim penguasa dalam pelanggaran HAM menjadi salah satu penyebab keberpihakan tersebut.
Pengadilan Rakyat Internasional menjadi salah satu alternatif untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Model pengadilan ini bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran dan, sebagaimana ditulis Ayu Wahyuningroem bahwa hal tersebut merupakan kritik terhadap sistem dan politik internasional yang tak berpihak pada para korban pelanggaran HAM serta mempertegas impunitas Negara (indoprogress.com, 4/11). Walau masih ada beberapa hal yang menjadi catatan untuk pelaksanaan pengadilan ini seperti ketidakmampuan pengimplementasian putusan-putusan dalam perangkat hukum, namun menurut Wahyuningroem setidaknya ada tiga peran penting dari pengadilan sipil ini, yaitu secara prinsip, teori, dan politik.
Secara prinsip, pengadilan ini berfokus pada prinsip keadilan terhadap para korban. Sementara secara teoretis lebih diutamakan pada keberpihakan terhadap korban. Dan terakhir, secara politik pengadilan ini memberikan “ruang” bagi para korban ketika Negara menutup peluang tersebut. Selain itu, prinsip ini juga berusaha untuk menggalang dukungan dan kesadaran masyarakat internasional terhadap pengusutan berbagai kasus pelanggaran HAM di seluruh dunia.
            Pelaksanaan Konferensi Internasional Peringatan 10 Tahun Aceh Damai di Banda Aceh beberapa waktu lalu juga menyiratkan ihwal yang nyaris serupa. Pemerintah terkesan enggan memberikan ruang bagi terpenuhinya hak-hak para korban pelanggaran HAM di Aceh. Pemerintah Aceh sendiri, dalam tuntutannya kepada pemerintah pusat, justru lebih menekankan pada hal pragmatis-teknis, yaitu tentang kewenangan Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk daerah, sistem bagi hasil minyak dan gas (migas), dan kewenangan pemerintah Aceh yang bersifat nasional (beritasatu.com, 14/11).
Padahal sebagaimana penelitian International Center for Transitional Justice (ICTJ), proses penguatan perdamaian yang berkelanjutan (sustainable peace) di Aceh diwujudkan dengan memenuhi hak-hak dan tuntutan pertanggungjawaban dari masyarakat atas berbagai pelanggaran yang terjadi selama konflik dengan menggunakan  kerangka keadilan transisional yang mengacu pada empat mekanisme kunci, yaitu pencarian kebenaran, reformasi kelembagaan, proses pengadilan, dan reparasi (Clarke, Wandita, & Samsidar, 2008). Keempat mekanisme ini baru bisa bisa diimplementasikan ketika KKR dan pengadilan HAM terbentuk di Aceh.
Namun setelah 10 tahun perdamaian Aceh, upaya untuk membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) belum juga direalisasikan hingga kini. Setelah hampir dua tahun pengesahan qanun KKR, saat ini DPRA hanya baru membentuk tim Pansel (Panitia seleksi) KKR Aceh (aceh.tribunnews.com, 22/11). Artinya, upaya untuk menegakkan keadilan transisional (transitional justice) pascakonflik di Aceh masih jauh dari harapan. Pembentukan KKR dan Pengadilan HAM di Aceh belum menjadi fokus utama. Logika pemerintah dalam menyusun skala prioritas ini pascaperdamaian ini menjadi bukti bahwa belum ada upaya serius untuk mengungkap kasus dugaan pelanggaran HAM dan memberikan keadilan bagi para korban konflik.
Sebagai perbandingan, bisa dilihat bagaimana upaya Timor Leste dalam melawan impunitas pelanggaran HAM dengan membentuk Komisi untuk Penerimaan, Kebenaran, dan Rekonsiliasi (CAVR) dan menyusun laporan kerja CAVR yang berjudul Chega!. Sebagaimana dikutip dari laman CAVR (cavr-timorleste.org), laporan setebal 2.800 halaman itu “meliputi pendirian CAVR, kegiatannya, dukungan kepada korban, usaha rekonsiliasi komunitas, pencarian kebenaran mengenai pelanggaran hak asasi manusia (HAM) antara 25 April 1974 dan 25 Oktober 1999, kesimpulan, dan rekomendasi.” Laporan tersebut digunakan sebagai rujukan penyelesaian berbagai pelanggaran HAM di bekas provinsi Indonesia itu. Sebuah upaya yang, pada dasarnya adalah untuk menegakkan keadilan transisional dan melawan impunitas para pelanggar HAM.

Menolak Bungkam
            Peristiwa terakhir, yaitu pelarangan aksi Kamisan di depan Istana Negara sejak Kamis (19/11) oleh pihak kepolisian sepertinya menjadi klimaks dari impunitas dan pembungkaman atas berbagai pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu. Bagaimana tidak, aksi Kamisan yang merupakan bentuk protes dari para keluarga korban pelanggaran HAM dengan berdiam diri di depan Istana Negara untuk menolak lupa, sejak Kamis (19/11) tidak diperbolehkan lagi. Undang-Undang (UU) Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum dan Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 228 Tahun 2015 tentang Pengendalian Pelaksanaan Penyampaian Pendapat di Muka Umum pada Ruang Terbuka menjadi dalih pelarangan.
            Lalu, apa lagi yang bisa diharapkan ketika, untuk menyampaikan kritik terhadap pengusutan pelanggaran HAM saja tidak diperbolehkan lagi? Bukankah ini upaya pembungkaman Negara untuk mengokohkan impunitas? Padahal filsuf Inggris, Bertrand Russell, yang dikutip Wahyuningroem, mengatakan bahwa salah satu kejahatan kemanusiaan yang paling sering dilakukan banyak orang dan Negara adalah crime of silence atau kejahatan pembungkaman, yaitu pembungkaman terhadap berbagai kasus pelanggaran HAM yang melamggengkan impunitas. Salah satu bentuk crime of silence ini, dalam wujudnya yang paling nyata tercermin dari ketiga peristiwa di atas. Bungkamnya Negara terhadap kejahatan pelanggaran HAM akan menjelma sebagai kejahatan lainnya, selain kejahatan pelanggaran HAM itu sendiri. Karena itu, kita sebagai masyarakat yang memiliki risiko dan kecenderungan paling besar menjadi korban kekerasan dan pelanggaran HAM harus menolak upaya tersebut. Segala bentuk pelanggaran HAM sebagaimana diamanatkan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM serta pembungkaman terhadap pelanggaran tersebut harus dilawan.
            Mungkin para korban, dan juga kita mulai lelah dan pesimis dalam menuntut kebenaran dan keadilan di negeri ini. Namun sebagaimana ditulis Nelson Mandela dalam Long Walk to Freedom: The Autobiography of Nelson Mandela (1995), bahwa dalam perjuangannya melawan apartheid di Afrika Selatan, Mandela telah banyak mengalami masa-masa kelam ketika keyakinannya terhadap kemanusiaan diuji, namun ia tak menyerah dan berputus asa, karena jalan tersebut justru akan mengalahkan dan menjadikannya mati. Kisah tersebut setidaknya menyampaikan pesan dan semangat bagi kita semua di tengah pesimisme untuk melawan segala bentuk kekerasan, penindasan, diskriminasi, dan dehumanisasi. Bahwa hak manusia untuk hidup harus diperjuangkan demi kemanusiaan itu sendiri. Ayo lawan!. []

*Penulis adalah Alumnus Program Studi Psikologi Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.

0 komentar:

Posting Komentar

.