Berita-berita
di media tentang HAM di tanah air selama sebulan terakhir ditandai oleh
beberapa peristiwa penting yang terjadi hampir bersamaan. Pertama,
dilaksanakannya International People's
Tribunal atau Pengadilan Rakyat Internasional di Den Haag sejak Selasa
(10/11) hingga Jumat (13/11) untuk mengungkap peristiwa pembantaian di
Indonesia dalam kurun waktu 1965-1966 (kompas.com,
10/11). Kedua, pelaksanaan Konferensi Internasional Peringatan 10 Tahun Aceh
Damai di Banda Aceh, 13-15 November 2015 (aceh.tribunnews.com,
14/11). Dan terakhir, pelarangan aksi Kamisan yang biasa dilakukan oleh
keluarga korban pelanggaran HAM di depan Istana Negara sejak Kamis (19/11) oleh
pihak kepolisian (kompas.com, 12/11).
Ketiga peristiwa ini, setidaknya memiliki keterhubungan antara satu dan lainnya
yang diikat oleh satu penanda utama; tentang nasib para korban pelanggaran HAM
yang masih tertatih-tatih mengungkap kebenaran dan mencari keadilan.
Abainya
peran Negara dalam memenuhi hak korban hingga menyebabkan para korban harus
memiliki “inisiatif” sendiri untuk menuntut haknya. Hal ini bisa dilihat dengan
dibentuknya International People's
Tribunal di Den Haag beberapa waktu lalu itu. Padahal Negara
bertanggungjawab untuk memberikan perlindungan dan jaminan akan hak-hak
kemanusiaan tiap warga negaranya. Sayangnya, narasi sejarah penegakan HAM di
Indonesia tak berpihak pada korban. Ketakutan karena adanya keterlibatan rezim
penguasa dalam pelanggaran HAM menjadi salah satu penyebab keberpihakan
tersebut.
Pengadilan
Rakyat Internasional menjadi salah satu alternatif untuk menyelesaikan
persoalan tersebut. Model pengadilan ini bertujuan untuk mengungkapkan
kebenaran dan, sebagaimana ditulis Ayu Wahyuningroem bahwa hal tersebut
merupakan kritik terhadap sistem dan politik internasional yang tak berpihak pada
para korban pelanggaran HAM serta mempertegas impunitas Negara (indoprogress.com, 4/11). Walau masih ada
beberapa hal yang menjadi catatan untuk pelaksanaan pengadilan ini seperti
ketidakmampuan pengimplementasian putusan-putusan dalam perangkat hukum, namun
menurut Wahyuningroem setidaknya ada tiga peran penting dari pengadilan sipil
ini, yaitu secara prinsip, teori, dan politik.
Secara
prinsip, pengadilan ini berfokus pada prinsip keadilan terhadap para korban.
Sementara secara teoretis lebih diutamakan pada keberpihakan terhadap korban.
Dan terakhir, secara politik pengadilan ini memberikan “ruang” bagi para korban
ketika Negara menutup peluang tersebut. Selain itu, prinsip ini juga berusaha
untuk menggalang dukungan dan kesadaran masyarakat internasional terhadap
pengusutan berbagai kasus pelanggaran HAM di seluruh dunia.
Pelaksanaan Konferensi Internasional Peringatan 10 Tahun
Aceh Damai di Banda Aceh beberapa waktu lalu juga menyiratkan ihwal yang nyaris
serupa. Pemerintah terkesan enggan memberikan ruang bagi terpenuhinya hak-hak para
korban pelanggaran HAM di Aceh. Pemerintah Aceh sendiri, dalam tuntutannya
kepada pemerintah pusat, justru lebih menekankan pada hal pragmatis-teknis,
yaitu tentang kewenangan Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk daerah, sistem
bagi hasil minyak dan gas (migas), dan kewenangan pemerintah Aceh yang bersifat
nasional (beritasatu.com, 14/11).
Padahal
sebagaimana penelitian International
Center for Transitional Justice (ICTJ), proses penguatan perdamaian yang
berkelanjutan (sustainable peace) di
Aceh diwujudkan dengan memenuhi hak-hak dan tuntutan pertanggungjawaban dari
masyarakat atas berbagai pelanggaran yang terjadi selama konflik dengan
menggunakan kerangka keadilan
transisional yang mengacu pada empat mekanisme kunci, yaitu pencarian
kebenaran, reformasi kelembagaan, proses pengadilan, dan reparasi (Clarke,
Wandita, & Samsidar, 2008). Keempat mekanisme ini baru bisa bisa
diimplementasikan ketika KKR dan pengadilan HAM terbentuk di Aceh.
Namun
setelah 10 tahun perdamaian Aceh, upaya untuk membentuk Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi (KKR) belum juga direalisasikan hingga kini. Setelah hampir dua
tahun pengesahan qanun KKR, saat ini DPRA hanya baru membentuk tim Pansel
(Panitia seleksi) KKR Aceh (aceh.tribunnews.com,
22/11). Artinya, upaya untuk menegakkan keadilan transisional (transitional justice) pascakonflik di
Aceh masih jauh dari harapan. Pembentukan KKR dan Pengadilan HAM di Aceh belum
menjadi fokus utama. Logika pemerintah dalam menyusun skala prioritas ini
pascaperdamaian ini menjadi bukti bahwa belum ada upaya serius untuk mengungkap
kasus dugaan pelanggaran HAM dan memberikan keadilan bagi para korban konflik.
Sebagai
perbandingan, bisa dilihat bagaimana upaya Timor Leste dalam melawan impunitas
pelanggaran HAM dengan membentuk Komisi untuk Penerimaan, Kebenaran, dan
Rekonsiliasi (CAVR) dan menyusun laporan kerja CAVR yang berjudul Chega!. Sebagaimana dikutip dari laman
CAVR (cavr-timorleste.org), laporan
setebal 2.800 halaman itu “meliputi pendirian CAVR, kegiatannya, dukungan
kepada korban, usaha rekonsiliasi komunitas, pencarian kebenaran mengenai
pelanggaran hak asasi manusia (HAM) antara 25 April 1974 dan 25 Oktober 1999,
kesimpulan, dan rekomendasi.” Laporan tersebut digunakan sebagai rujukan
penyelesaian berbagai pelanggaran HAM di bekas provinsi Indonesia itu. Sebuah
upaya yang, pada dasarnya adalah untuk menegakkan keadilan transisional dan
melawan impunitas para pelanggar HAM.
Menolak
Bungkam
Peristiwa terakhir, yaitu pelarangan aksi Kamisan di
depan Istana Negara sejak Kamis (19/11) oleh pihak kepolisian sepertinya menjadi
klimaks dari impunitas dan pembungkaman atas berbagai pelanggaran HAM yang
terjadi di masa lalu. Bagaimana tidak, aksi Kamisan yang merupakan bentuk
protes dari para keluarga korban pelanggaran HAM dengan berdiam diri di depan
Istana Negara untuk menolak lupa, sejak Kamis (19/11) tidak diperbolehkan lagi.
Undang-Undang (UU) Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat
di Muka Umum dan Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 228 Tahun 2015 tentang
Pengendalian Pelaksanaan Penyampaian Pendapat di Muka Umum pada Ruang Terbuka
menjadi dalih pelarangan.
Lalu, apa lagi yang bisa diharapkan ketika, untuk
menyampaikan kritik terhadap pengusutan pelanggaran HAM saja tidak
diperbolehkan lagi? Bukankah ini upaya pembungkaman Negara untuk mengokohkan impunitas?
Padahal filsuf Inggris, Bertrand Russell, yang dikutip Wahyuningroem,
mengatakan bahwa salah satu kejahatan kemanusiaan yang paling sering dilakukan
banyak orang dan Negara adalah crime of
silence atau kejahatan pembungkaman, yaitu pembungkaman terhadap berbagai
kasus pelanggaran HAM yang melamggengkan impunitas. Salah satu bentuk crime of silence ini, dalam wujudnya
yang paling nyata tercermin dari ketiga peristiwa di atas. Bungkamnya Negara
terhadap kejahatan pelanggaran HAM akan menjelma sebagai kejahatan lainnya,
selain kejahatan pelanggaran HAM itu sendiri. Karena itu, kita sebagai
masyarakat yang memiliki risiko dan kecenderungan paling besar menjadi korban
kekerasan dan pelanggaran HAM harus menolak upaya tersebut. Segala bentuk
pelanggaran HAM sebagaimana diamanatkan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dan
UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM serta pembungkaman terhadap
pelanggaran tersebut harus dilawan.
Mungkin para korban, dan juga kita
mulai lelah dan pesimis dalam menuntut kebenaran dan keadilan di negeri ini.
Namun sebagaimana ditulis Nelson Mandela dalam Long Walk to Freedom: The Autobiography of Nelson Mandela (1995),
bahwa dalam perjuangannya melawan apartheid
di Afrika Selatan, Mandela telah banyak mengalami masa-masa kelam ketika
keyakinannya terhadap kemanusiaan diuji, namun ia tak menyerah dan berputus
asa, karena jalan tersebut justru akan mengalahkan dan menjadikannya mati.
Kisah tersebut setidaknya menyampaikan pesan dan semangat bagi kita semua di
tengah pesimisme untuk melawan segala bentuk kekerasan, penindasan,
diskriminasi, dan dehumanisasi. Bahwa hak manusia untuk hidup harus
diperjuangkan demi kemanusiaan itu sendiri. Ayo lawan!. []
*Penulis
adalah Alumnus Program Studi Psikologi Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.
0 komentar:
Posting Komentar