Pendahuluan
Islamisasi
Ilmu Pengetahuan (Islamization of
Knowledge) atau Islamiyyat
Al-Ma’rifat adalah sebuah gagasan yang timbul akibat adanya dikotomi dalam ilmu
pengetahuan. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan mengembalikan ilmu
pengetahuan pada pusatnya yaitu dengan ‘tauhid’. Dua di antara pencetus
Islamisasi ilmu pengetahuan ini adalah Ziauddin Sardar dan Ismail Raji al-Faruqi
yang terkenal dengan istilah “gerakan Islamisasi ilmu”.
Namun,
kedua intelektual muslim ini berbeda dalam menafsirkan konsep islamisasi ilmu
pengetahuan ini. Menurut Sardar, Islamisasi harus berangkat dari pandangan
dunia (world view) yang Islami dan
paradigma keilmuannya, sementara bagi Faruqi, gerakan Islamisasi dimulai dari
adanya kritik terhadap ilmu-ilmu modern dengan menggunakan Islam sebagai
analisisnya, setelah itu baru diadakan sintesis.
Berangkat
dari salah satu pendekatan di atas, yaitu pendekatan yang digunakan Faruqi
dalam mengimplementasikan Islamisasi pengetahuan dengan melakukan kritik
terhadap teori-teori ilmu pengetahuan, semangat Islamisasi ini pun semakin
meluas dalam peradaban kaum intelektual muslim di seluruh dunia, termasuk dalam
disiplin ilmu psikologi.
Kritik atas Ilmu Pengetahuan
Dalam
sebuah presentasi, Saiful Mahdi dari Aceh
Institute menyebutkan bahwa Ibn al-Haytham (965-1039 M), seorang Muslim
dari Basra yang diyakini sebagai ilmuwan pertama di dunia pernah berargumen
bahwa manusia itu tidak ada yang sempurna, hanya Tuhanlah yang Maha Sempurna.
Jadi untuk mencari kebenaran, singkirkan opini manusia dan biarkan alam
berbicara. Jadi, apapun masih bisa dikritisi, dipermasalahkan, dipertanyakan
dan didebatkan, tak terkecuali teori-teori ilmu pengetahuan.
Hal
yang sama juga diutarakan oleh Immanuel Kant (1724-1804) yang menawarkan konsep
kritisisme, yaitu suatu aliran dalam filsafat ilmu pengetahuan, hasil
penggabungan antara rasionalisme Eropa yang teoritis (sesuai rasio) dengan
empirisme Inggris yang berpijak pada pengalaman. Begitu pula dengan Karl
Raimund Popper (1902-1994). Ia berpendapat bahwa Ilmu pengetahuan hanya dapat
berkembang apabila teori yang diciptakannya itu berhasil ditentukan
ketidakbenarannya. Popper menamakan konsepnya ini dengan falsifikasi.
Jadi,
kritik atas teori-teori dalam khazanah ilmu pengetahuan bukanlah hal yang baru.
Tujuan dari kritik ini sendiri jelas, yaitu karena tesis yang dikemukakan dalam
teori tersebut tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman, atau yang dalam
terminologi pengetahuan dikatakan tidak terbukti lagi validitas dan
realibilitasnya.
Sebagaimana
catatan Suriasumantri (1984) yang mengatakan bahwa teori adalah abstraksi yang
bersifat umum dan formal dari hasil-hasil temuan lapangan. Suatu teori juga
dibangun diatas landasan postulat dan asumsi-asumsi tertentu yang seringkali
berbeda antara satu dan lain teori.
Sikap
kritis para akademisi ini kiranya sangat dibutuhkan agar menjadi prasyarat
utama demi lahirnya kreativitas penciptaan teori-teori (theorie building) atau bahkan teori-teori psikologi kontemporer
dengan paradigma baru, dalam hal ini paradigma Islam. Ini merupakan suatu hal
yang sangat mutlak, sesuai relevansinya dengan psikologi sebagai suatu disiplin
ilmu yang sangat sentral dan sarat nilai, terkait dengan pemahaman dan
perlakuannya terhadap kehidupan kejiwaan manusia. Sebaliknya, hal ini justru
sangat kontradiktif dengan psikologi barat yang sarat muatan nilai-nilai
kultural dalam konteks lokal, dalam hal ini konteks barat.
Dalam
psikologi, teori-teori itu sering merupakan abstraksi dan generalisasi dari
suatu sampel penelitian terhadap perilaku sejumlah manusia di suatu masyarakat
dan kebudayaan tertentu. Maka, jika kemudian ada abstraksi dan generalisasi
suatu sampel penelitian masyarakat dan kebudayaan tertentu yang tak sesuai
dengan konteks masyarakat dan kebudayaan lain, di sinilah peran kritik atas
abstraksi dan generalisasi teori itu dibutuhkan.
Selain
itu, menurut Turmidhi, kritik yang dilayangkan atas teori-teori kontemporer
dalam disiplin ilmu psikologi ini diharapkan akan memunculkan sikap progresif.
Yang dimaksud dengan sikap progresif adalah keberanian melakukan upaya-upaya
inisiasi untuk membangun paradigma atau teori-teori psikologi alternatif yang
lebih sesuai dengan keyakinan akal dan jiwa sehat kita, yang diharapkan dapat
memainkan peran besar dalam upaya menyehatkan dan memanusiawikan peradaban, dan
yang integratif dengan pandangan ideologis kita, yaitu ideologi Islam. Dan
Rahmat Aziz menjadi salah satu intelektual muslim psikologi yang mengkritisi
teori-teori psikologi modern untuk kemudian diinterpretasikan dalam konteks
psikologi Islam.
Kritik Teori Psikologi Modern
Hingga
saat ini sudah banyak psikolog muslim yang melakukan kritik terhadap teori
psikologi kontemporer, seperti Malik B. Badri dalam bukunya “The Dilemma of Muslim Psychologists”
(1979), Djamaluddin Ancok dan F. Nashori dalam buku “Psikologi Islami, Solusi Islam atas Problem-problem Psikologi” (Jamaluddin
Ancok, & Fuat Nashori, 1994) dan “Membangun
Paradigma Psikologi Islami” (Fuat Nashori, 1994), Audith M. Turmudhi dalam
artikelnya “Kritik Teori Psikologi”
yang juga dimuat dalam Buku “Membangun
Paradigma Psikologi Islami” serta psikolog muslim lainnya yang telah
menuliskan kritiknya dalam wujud buku, jurnal, artikel dan media lainnya.
Rahmat
Aziz yang dalam jurnalnya mengkritik teori-teori psikologi kontemporer juga
turut ambil bagian. Dalam konteks ini, Rahmat mengkritik teori psikoanalisis,
behavioristik dan humanistik. Tentunya dengan menawarkan alternatifnya, yaitu
dengan menggunakan pendekatan psikologi Islami.
Dalam
mengkaji dan menganalisis teori-teori tersebut untuk kemudian dikritisinya,
Rahmat menggunakan tiga pendekatan kritik, yaitu pendekatan kritik empiris, epistemologis
dan ideologis. Sebagaimana yang pernah dijabarkan Turmudhi dalam tulisannya “Kritik Teori Psikologi” (1994), kritik
empiris yang dimaksud di sini adalah suatu evaluasi terhadap perspektif teori
yang terdahulu.
Sementara
kritik epistemologis, secara terminologis adalah pemahaman logis tentang apa
yang mungkin diketahui oleh manusia, dan bagaimana cara manusia mendapatkan
pengetahuan. Menurut Sahakin & Sahakin (1965), epistemologi sebagai sentral
setiap pandangan dunia (world view)
mencakup kepada sumber-sumber pengetahuan; hakikat, jangkauan, dan wilayah
pengetahuan; bahkan tentang kemungkinan manusia memperoleh pengetahuan; dan
tahapan pengetahuan yang dapat dianggap oleh manusia.
Berbeda
dengan kritik empiris dan epistemologis yang memfokuskan diri pada aspek
relevansi logis suatu teori serta hakikat pengetahuannya, kritik ideologis
lebih menekankan pada aspek ideologis, nilai-nilai, pandangan (sikap) dasar
tentang manusia dan fenomena semesta yang dirumuskan dalam formulasi teori.
Dalam hal ini, Gunnar Myrdal (1969) pernah menyangkal keras tentang asumsi
bahwa ilmu hanya mengemukakan fakta objektif yang disimpulkan dari suatu
kumpulan data dan fakta empiris saja, tanpa adanya suatu instrumen penilaian (evaluation).
Dengan
menggunakan tiga pendekatan kritik ini, Rahmat mengemukakan kritiknya terhadap
aliran psikoanalisis-nya Sigmund Freud, behavioristik yang dicetus oleh Watson,
Pavlov, Skinner dan Thorndike dan humanistik yang diusung Maslow, Rogers, dan
lain-lain.
Kritik Psikoanalisis
Rahmat
menilai bahwa teori Teori Freud tentang dorongan id (libido sexual) termasuk salah satu teori yang mendapat kritik keras
karena dianggap terlalu menyederhanakan kompleksitas hidup seseorang. Menurut
Rahmat, jika dilihat dari perspektif Islam, teori ini tidak akan mampu
menjelaskan kebutuhan manusia untuk beragama yang dalam ajaran Islam diyakini
bahwa manusia punya kecenderungan untuk beragama (fitrah) sebagaimana dijelaskan dalam hadits Nabi, Setiap manusia yang lahir ke dunia membawa
bekal fithrah (sikap bertauhid), (HR. Bukhari).
Selain
itu, ia juga mengkritik pandangan Freud yang mengatakan bahwa manusia sangat
dipengaruhi oleh masa lalunya. Hal ini menjadikan manusia sebagai determinist (yang menentukan kehidupan),
sehingga menjadikan masa kecil (masa lalu) seseorang sebagai instrumen tunggal
yang menentukan masa depan orang tersebut.
Konsep
ini jelas bertentangan dengan Islam. Islam adalah suatu agama yang memberikan
kebebasan pada manusia untuk berbuat sesuai dengan kehendaknya, dengan catatan
bahwa semua itu akan diminta pertanggungjawabannya. Islam menghargai dan
menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM), namun dengan persyaratan tak
menyimpang dari nilai-nilai dan norma-norma dalam Islam itu sendiri.
Dalam
konteks ini, Rahmat mengkritik teori psikoanalisis Sigmund Freud dengan
menggunakan kritik empiris sebagai landasannya. Menurut Rahmat, konsep dorongan
id (libido sexual) dan determinasi
masa lalu yang dperkenalkan Freud tidak relevan lagi dengan konteks sekarang.
Contoh lainnya, sebagaimana yang dikemukakan Turmidhi, sejumlah ahli telah
membuktikan kekeliruan secara ilmiah pada teori Freud tentang Oedipus Complex. Branislav Malinowski
(1927) tidak memperoleh bukti adanya apa yang dinamakan dengan Oedipus Complex pada penduduk pulau
Torbiand. Pun demikian dengan Prothro (1961). Ia berspekulasi secara ilmiah
dari hasil studinya terhadap praktik-praktik pendidikan anak di Libanon bahwa
karakter anal sesungguhnya tak berhubungan dengan toilet training seperti hasil penelitian Sigmund Freud.
Dan,
klimaksnya pada penelitian Victor E. Frankl (1964) yang menyimpulkan tentang
pendapat Freud mengenai fenomena imajinasi seorang anak terhadap ayahnya,
sehingga kelak ketika dewasa menimbulkan delusi tentang Tuhan dan keyakinan
Agama, yang oleh Freud disebut sebagai suatu bentuk usaha untuk merepres
kecemasan (anxiety repression).
Pemahaman akan keagamaan seseorang yang oleh Freud ‘disederhanakan’ sebagai
bentuk ‘imajinasi’ seorang anak sebagai sosok yang serba-Maha sehingga
menciptakan delusi tentang Tuhan dan Agama ini sungguh sangat dangkal dalam
memahami kompleksitas nilai-nilai keagamaan seseorang.
Lebih
lanjut lagi, dalam ajaran psikoanalisa, mempertanyakan responsibilitas seorang
manusia merupakan suatu hal yang absurd,
karena menurut Freud, manusia hanyalah binatang yang bergerak atas
dorongan-dorongan insting: eros
dan thanatos.
Dan, sebagaimana dituliskan di atas, Freud menyinggung permasalahan relevansi
antara konsep Tuhan dan delusi ciptaan manusia yang disebutkannya.
Freud
menyesali sikap dan tindakan manusia yang ‘keliru’ karena masih menyembah apa
yang dianggapnya sebagai ilusi palsu yang diciptakan karena kebutuhan-kebutuhan
masa kecil sebagai alat untuk merepresi kecemasan dan ketakutan saja. Inilah
realitas dunia psikologi klasik dan kontemporer, yang berasumsi bahwa manusia
hanyalah sebatas makhluk psiko-fisikal-sosial belaka, tak ada jiwa atau ruh
yang menautkan manusia dengan Tuhan.
Sementara
dalam tataran epistimologis, kritik atas teori psikoanalisis Freud ini,
sebagaimana yang diungkapkan Malik B. Badri (1979) yang memberi contoh sebuah
adat-istiadat Sudan (yang non-Islam) di daerah Gezira, di mana pada
upacara-upacara perkawinan, pengatin pria mencambuki beberapa orang laki-laki,
yaitu teman-temannya, yang dengan sangat suka rela menjadi memar-memar
tubuhnya, seolah dalam trance
hipnotik. Sementara itu, para penonton wanita bersorak-sorai memberi semangat
dan menikmati peristiwa yang dipandang sangat ‘normal’ tersebut.
Dalam
pandangan Freud, hal ini pasti akan diasosiasikan dengan kelainan seksual, di
mana pengantin pria diasumsikan sebagai seorang sadistik, yaitu orang
mendapatkan kenikmatan seksual dengan cara menyiksa orang lain, dan sebaliknya,
teman-temannya yang dipukuli dianggap sebagai pengidap masokis atau orang yang
mendapatkan sensasi seksual setelah disiksa atau dipukuli oleh orang lain.
Padahal dalam konteks budaya di daerah Gezira, Sudan itu, hal ini hanyalah
praktik kebudayaan (adat-istiadat) yang tak ada relevansinya dengan konsep
sadisme dan masokisme yang dikatakan Freud. Freud kembali ‘gagal’ mempertahankan
universalitas teorinya dalam konteks ini.
Kritik Behavioristik
Aliran
yang diperkenalkan Watson, Pavlov, Skinner dan Thorndike ini lebih
menitikberatkan pada stimulus dari lingkungan sebagai satu-satunya determinan dalam
kehidupan manusia. Rahmat menilai hal ini sebagai bentuk kekeliruan karena
mengabaikan aspek potensi-potensi yang ada dalam diri manusia. Dalam hal ini, Rahmat
menyebutkan manusia hanya dianggap sebagai sebuah mesin sehingga teorinya
bersifat mekanistis.
Menurut
Turmidhi, pada ranah ideologis, pandangan seorang psikolog yang menganggap
manusia sebagai seekor binatang materialistik yang bermotivasi tunggal untuk
menyesuaikan diri dengan lingkungan fisik dan sosialnya dalam orientasi waktu ‘here and now’, dengan sendirinya
merupakan pandangan seorang atheis. Seekor binatang pastilah sangat berbeda
dengan seorang manusia. Binatang hanyalah seekor makhluk Tuhan yang tidak
mempunyai akal, sedangkan sentral berpikir manusia itu justru terletak pada
akal.
Dalam
pandangan para behavioris seperti Watson dan Skinner, manusia dianggap tidak
memiliki jiwa, orientasi dan tujuan (goal)
terhadap hal-hal yang bersifat lebih tinggi dan metafisis. B.F. Skinner,
pencetus teori Skinner Box dengan
meneliti tikus sebagai objek penelitiannya dan mengasosiasikan aplikasinya
terhadap manusia ini juga tidak mengakui adanya apa yang dimaksud dengan
kehendak bebas (free will) dalam
perilaku manusia, dan cenderung memandang manusia sebagai mesin belaka (Hjelle
& Ziegler, 1981).
Pandangan
seperti ini dalam sistem psikologi justru mempunyai konsekwensi untuk me-nonsenskan tanggungjawab manusia,
sedangkan dalam terminologi Islam, manusia mengemban tugas mulia sebagai
seorang khalifah (pemimpin) di muka
bumi ini. Jika manusia hanyalah sebuah mesin yang bereaksi terhadap siklus
stimulus-respons, lalu di manakah hakikat responsibilitas seorang manusia?
Kritik Humanistik
Dalam
pandangan Rahmat, aliran ini tampak sesuai dengan ajaran Islam karena sangat
apresiatif terhadap keunikan pribadi, penghayatan subjektivitas, adanya rasa
tanggungjawab dan yang paling penting adanya kemampuan pada manusia untuk
melakukan aktualisasi diri. Salah satu aliran humanistik yang dikembangkan
Victor Frankl dianggap sebagai aliran yang sesuai dengan ajaran Islam.
Namun,
Rahmat menilai kelemahan utama aliran ini justru terletak pada pandangannya
yang terlalu optimistik terhadap manusia itu sendiri yang keadaan ini pada
gilirannya akan menyebabkan manusia dianggap menjadi penentu (determinan)
tunggal terhadap kehidupannya dan menafikan eksistensi Tuhan. Hal ini
bertentangan dengan ajaran Islam yang menyatakan bahwa Tuhanlah yang Maha
menentukan, meski manusia mempunyai kuasa usaha.
Di
sinilah letak kesalahan paradigma humanistik yang memperhatikan dan
mengapresiasi potensi-potensi serta keunikan yang ada pada manusia. Karena
pemahaman seperti ini, manusia dijadikan sebagai satu-satunya penentu
(determinan), sehingga manusia bebas sebebas-bebasnya dalam melakukan apapun
dalam upayanya memberdayakan dan mengoptimalkan potensi-potensi yang
dimilikinya. Konsep Maslow dan kawan-kawannya tentang humanistik ini sejalan
dengan semangat yang diusung oleh aktivis HAM yang ada saat ini.
Kelemahannya
terletak pada cara humanistik yang memosisikan manusia sebagai determinan
tunggal dan melupakan kehadiran Tuhan. Sehingga tak ada konsep yang berimbang
antara hablumminallah (hubungan
manusia dengan Tuhan) dan hablumminannaas
(hubungan manusia dengan sesamanya). Sebagaimana yang dituliskan di atas,
Islam menjunjung tinggi hakikat kebebasan manusia selama masih sejalan dengan
nilai dan norma-norma Islam.
Konsep
HAM dalam Islam itu jelas; manusia bebas dalam mengekspresikan dirinya, dengan
catatan melaksanakan segala perintah Allah sebagai Sang Khalik (amar ma’ruf) dan menjauhi segala bentuk
larangan-Nya (nahi mungkar). Aspek
inilah yang dilupakan oleh penganut humanistik. Rahmat mengatakan bahwa humanistik
beranggapan terlalu optimistik dalam memandang manusia, sedangkan Islam
memandang manusia dengan optimist
proportional, yang berarti bahwa selain mempunyai kemampuan luhur, manusia
juga mempunyai keterbatasan sehingga selalu ada tempat kembali dalam hidupnya.
Jadi, dalam konteks ini, Rahmat menilai aliran humanistik ini juga ‘gagal’
dalam memahami kompleksitas manusia secara universal dan utuh-menyeluruh,
terutama dalam hal keagamaan.
Psikologi Islami sebagai Alternatif
Karena
itu, menurut Rahmat diperlukan sebuah alternatif dan solusi untuk ‘menambal’
kekurangan-kekurangan yang ada dalam ketiga paradigma psikologi modern di atas,
yaitu Psikologi Islami. Ada dua pendapat tentang pengertian dari Psikologi
Islami itu sendiri. Pendapat pertama mengatakan bahwa psikologi Islami adalah
suatu corak (aliran) psikologi yang dihasilkan dari filterisasi terhadap
teori-teori psikologi modern. Artinya teori-teori psikologi kontemporer
‘disaring’ sehingga kemudian pisau analisis yang digunakan adalah dengan
menggunakan perspektif Islam.
Sementara
pandangan kedua menyatakan bahwa psikologi Islami adalah suatu aliran psikologi
yang dibangun atas dasar konsep-konsep yang ada dalam sumber-sumber ajaran
Islam. Dalam hal ini, psikologi Islami berdiri sendiri (independen) sebagai
sebuah disiplin ilmu yang berbeda dengan psikoanalisis, behavioristik atau
humanistik. Dengan mengacu dan berpedoman pada konsep-konsep Islam (Al-Quran
dan Hadits), fenomena psikologis diinterpretasikan dengan pendekatan psikologi
Islami ini.
Cara
pertama, menurut Rahmat memiliki keuntungan karena hanya ‘mengupas’ dan
merevisi teori-teori yang sudah ada, untuk kemudian dikritisi dan disesuaikan
dengan pendekatan yang bersumber dari ajaran Islam, sehingga melahirkan
teori-teori baru. Kelemahannya, kemungkinan akan terjadi bias dalam proses
penginterpretasian dan pembentukan konsep-konsep yang baru.
Cara
kedua, sumber-sumber dari ajaran Islam dijadikan sebagai landasan pengetahuan
baru dengan melakukan penelitian-penelitian ilmiah terkait hal tersebut.
Sehingga nanti akan ada konsep baru yang ‘bernafaskan’ Islam, artinya ada
integrasi antara nilai-nilai Islam dan aspek ilmu pengetahuan. Namun, kelemahan
cara ini adalah butuh waktu yang lama. Rahmat mengusulkan agar kedua cara ini
disinergikan, sehingga yang disebut psikologi Islami adalah suatu corak
psikologi dalam pengertian pertama untuk jangka pendek, dan pengertian kedua
kedua untuk jangka waktu panjang.
Bagaimana
pun, Rahmat menganggap masih banyak tantangan yang harus dihadapi untuk
‘membumikan’ psikologi Islami dalam khazanah ilmu pengetahuan psikologi ini.
Seperti tantangan tantangan eksternal (para ahli psikologi yang bukan beragama
Islam) dan internal (para ahli psikologi yang beragama Islam) yang belum tentu
sepakat dengan konsep ini. Namun ia optimis hal ini bisa terwujud jika ada
komitmen dan konsistensi tinggi dari seluruh para ahli psikologi dan ahli agama
untuk terus mengembangkannya sehingga psikologi Islami benar-benar lahir
sebagai rahmatan lil’alamin. Semoga!
[]
Daftar Pustaka
Istana Ilmu, 2011.
“Islamisasi Ilmu Pengetahuan: Sebuah Gagasan Ismail Raji al-Faruqi.” http://istanailmu.com/archives-2011/islamisasi-ilmu-pengetahuan-“sebuah-gagasan-ismail-raji-al-faruqi/html
(Diakses pada 5 Mei 2012).
Khalifa, Sammy. 2009.
“Kampus dan Peradaban Budaya Intelektual.” http://id.acehinstitute.org/index.php?option=com_content&view=article&id=655:kampus-a-peradaban-budaya-intelektual&catid=18:pendidikan&Itemid=30
(Diakses pada 4 Mei 2012).
Mahdi,
Saiful. 2009. Makalah “Membangun Budaya Intelektual Melalui Kelompok Studi
Mahasiswa” dalam workshop di Aula
Dinas Syariat Islam Provinsi Aceh. Banda Aceh: Aceh Institute.
Aziz,
Rahmat. 2004. Membangun Psikologi Islami. Jurnal
Psikoislamika, Vol. 1, No.1; 2004. Malang: Universitas Islam Negeri Maulana
Malik Ibrahim.
Turmudhi,
Audith M. 1993. Kritik Teori Psikologi. Majalah
Ilmiah “Kalam” No. 5 Vol. III. Yogyakarta:
Kalam.
Badri,
Malik B. 1986. Dilema Psikolog Muslim
(Terjemahan Siti Zaenab Luxfiati). Jakarta: Penerbit Firdaus.
Suriasumantri,
Jujun S. 1984. Filsafat Ilmu.
Jakarta: Penerbit Sinar Harapan.
Ancok, D., &
Nashori, F. 1994. Psikologi Islami, Solusi Islam atas Problem-
Problem Psikologi. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Nashori, F. 1994. Membangun
Paradigma Psikologi Islami. Yogyakarta:
Sipress.
Kuntowijoyo.
1991. Paradigma Islam, Interpretasi untuk Aksi. Bandung:
Mizan.
Mantao artikel nyoe. Peu hana neukirem bak media?
BalasHapushahhaha
saleum.
Kunjung balek beh.
Hana media yang tem muat bang..
BalasHapusHehehe..
Teurimong geunaseh ka neukunjong keuno Bg Masri.
Akan lon kunjong balek cit.
Saleum :)
Yups, semoga bisa menjadi referensi untuk pengembangan khasanah keilmuan di masa yang akan datang. Terima kasih telah berkunjung kemari.
BalasHapusSalam :)
Sedap ni artikelnya.....saya sangat suka dengan islamisasi ilmu pengetahuan.....bukan ilmu yg dibarat baratkan.........
BalasHapusYa, makanya kita harus terus belajar. Jgn terjebak dgn romantisme klaim islamisasi. Biar bs mewujudkannya dlm bentuk ilmu sosial profetik.
Hapus