7 Juni 2012

Psikologi Islami; Alternatif dan Solusi

5 comments
(Review Jurnal “Membangun Psikologi Islami”, Rahmat Aziz, Psikoislamika, Vol. 1, No.1; 2004)

Pendahuluan
Islamisasi Ilmu Pengetahuan (Islamization of Knowledge) atau Islamiyyat Al-Ma’rifat adalah sebuah gagasan yang timbul akibat adanya dikotomi dalam ilmu pengetahuan. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan mengembalikan ilmu pengetahuan pada pusatnya yaitu dengan ‘tauhid’. Dua di antara pencetus Islamisasi ilmu pengetahuan ini adalah Ziauddin Sardar dan Ismail Raji al-Faruqi yang terkenal dengan istilah “gerakan Islamisasi ilmu”.

Namun, kedua intelektual muslim ini berbeda dalam menafsirkan konsep islamisasi ilmu pengetahuan ini. Menurut Sardar, Islamisasi harus berangkat dari pandangan dunia (world view) yang Islami dan paradigma keilmuannya, sementara bagi Faruqi, gerakan Islamisasi dimulai dari adanya kritik terhadap ilmu-ilmu modern dengan menggunakan Islam sebagai analisisnya, setelah itu baru diadakan sintesis.

Berangkat dari salah satu pendekatan di atas, yaitu pendekatan yang digunakan Faruqi dalam mengimplementasikan Islamisasi pengetahuan dengan melakukan kritik terhadap teori-teori ilmu pengetahuan, semangat Islamisasi ini pun semakin meluas dalam peradaban kaum intelektual muslim di seluruh dunia, termasuk dalam disiplin ilmu psikologi.

Kritik atas Ilmu Pengetahuan
Dalam sebuah presentasi, Saiful Mahdi dari Aceh Institute menyebutkan bahwa Ibn al-Haytham (965-1039 M), seorang Muslim dari Basra yang diyakini sebagai ilmuwan pertama di dunia pernah berargumen bahwa manusia itu tidak ada yang sempurna, hanya Tuhanlah yang Maha Sempurna. Jadi untuk mencari kebenaran, singkirkan opini manusia dan biarkan alam berbicara. Jadi, apapun masih bisa dikritisi, dipermasalahkan, dipertanyakan dan didebatkan, tak terkecuali teori-teori ilmu pengetahuan.

Hal yang sama juga diutarakan oleh Immanuel Kant (1724-1804) yang menawarkan konsep kritisisme, yaitu suatu aliran dalam filsafat ilmu pengetahuan, hasil penggabungan antara rasionalisme Eropa yang teoritis (sesuai rasio) dengan empirisme Inggris yang berpijak pada pengalaman. Begitu pula dengan Karl Raimund Popper (1902-1994). Ia berpendapat bahwa Ilmu pengetahuan hanya dapat berkembang apabila teori yang diciptakannya itu berhasil ditentukan ketidakbenarannya. Popper menamakan konsepnya ini dengan falsifikasi.

Jadi, kritik atas teori-teori dalam khazanah ilmu pengetahuan bukanlah hal yang baru. Tujuan dari kritik ini sendiri jelas, yaitu karena tesis yang dikemukakan dalam teori tersebut tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman, atau yang dalam terminologi pengetahuan dikatakan tidak terbukti lagi validitas dan realibilitasnya.

Sebagaimana catatan Suriasumantri (1984) yang mengatakan bahwa teori adalah abstraksi yang bersifat umum dan formal dari hasil-hasil temuan lapangan. Suatu teori juga dibangun diatas landasan postulat dan asumsi-asumsi tertentu yang seringkali berbeda antara satu dan lain teori.

Sikap kritis para akademisi ini kiranya sangat dibutuhkan agar menjadi prasyarat utama demi lahirnya kreativitas penciptaan teori-teori (theorie building) atau bahkan teori-teori psikologi kontemporer dengan paradigma baru, dalam hal ini paradigma Islam. Ini merupakan suatu hal yang sangat mutlak, sesuai relevansinya dengan psikologi sebagai suatu disiplin ilmu yang sangat sentral dan sarat nilai, terkait dengan pemahaman dan perlakuannya terhadap kehidupan kejiwaan manusia. Sebaliknya, hal ini justru sangat kontradiktif dengan psikologi barat yang sarat muatan nilai-nilai kultural dalam konteks lokal, dalam hal ini konteks barat.

Dalam psikologi, teori-teori itu sering merupakan abstraksi dan generalisasi dari suatu sampel penelitian terhadap perilaku sejumlah manusia di suatu masyarakat dan kebudayaan tertentu. Maka, jika kemudian ada abstraksi dan generalisasi suatu sampel penelitian masyarakat dan kebudayaan tertentu yang tak sesuai dengan konteks masyarakat dan kebudayaan lain, di sinilah peran kritik atas abstraksi dan generalisasi teori itu dibutuhkan.

Selain itu, menurut Turmidhi, kritik yang dilayangkan atas teori-teori kontemporer dalam disiplin ilmu psikologi ini diharapkan akan memunculkan sikap progresif. Yang dimaksud dengan sikap progresif adalah keberanian melakukan upaya-upaya inisiasi untuk membangun paradigma atau teori-teori psikologi alternatif yang lebih sesuai dengan keyakinan akal dan jiwa sehat kita, yang diharapkan dapat memainkan peran besar dalam upaya menyehatkan dan memanusiawikan peradaban, dan yang integratif dengan pandangan ideologis kita, yaitu ideologi Islam. Dan Rahmat Aziz menjadi salah satu intelektual muslim psikologi yang mengkritisi teori-teori psikologi modern untuk kemudian diinterpretasikan dalam konteks psikologi Islam.

Kritik Teori Psikologi Modern
Hingga saat ini sudah banyak psikolog muslim yang melakukan kritik terhadap teori psikologi kontemporer, seperti Malik B. Badri dalam bukunya “The Dilemma of Muslim Psychologists” (1979), Djamaluddin Ancok dan F. Nashori dalam buku “Psikologi Islami, Solusi Islam atas Problem-problem Psikologi” (Jamaluddin Ancok, & Fuat Nashori, 1994) dan “Membangun Paradigma Psikologi Islami” (Fuat Nashori, 1994), Audith M. Turmudhi dalam artikelnya “Kritik Teori Psikologi” yang juga dimuat dalam Buku “Membangun Paradigma Psikologi Islami” serta psikolog muslim lainnya yang telah menuliskan kritiknya dalam wujud buku, jurnal, artikel dan media lainnya.

Rahmat Aziz yang dalam jurnalnya mengkritik teori-teori psikologi kontemporer juga turut ambil bagian. Dalam konteks ini, Rahmat mengkritik teori psikoanalisis, behavioristik dan humanistik. Tentunya dengan menawarkan alternatifnya, yaitu dengan menggunakan pendekatan psikologi Islami.

Dalam mengkaji dan menganalisis teori-teori tersebut untuk kemudian dikritisinya, Rahmat menggunakan tiga pendekatan kritik, yaitu pendekatan kritik empiris, epistemologis dan ideologis. Sebagaimana yang pernah dijabarkan Turmudhi dalam tulisannya “Kritik Teori Psikologi” (1994), kritik empiris yang dimaksud di sini adalah suatu evaluasi terhadap perspektif teori yang terdahulu.

Sementara kritik epistemologis, secara terminologis adalah pemahaman logis tentang apa yang mungkin diketahui oleh manusia, dan bagaimana cara manusia mendapatkan pengetahuan. Menurut Sahakin & Sahakin (1965), epistemologi sebagai sentral setiap pandangan dunia (world view) mencakup kepada sumber-sumber pengetahuan; hakikat, jangkauan, dan wilayah pengetahuan; bahkan tentang kemungkinan manusia memperoleh pengetahuan; dan tahapan pengetahuan yang dapat dianggap oleh manusia.

Berbeda dengan kritik empiris dan epistemologis yang memfokuskan diri pada aspek relevansi logis suatu teori serta hakikat pengetahuannya, kritik ideologis lebih menekankan pada aspek ideologis, nilai-nilai, pandangan (sikap) dasar tentang manusia dan fenomena semesta yang dirumuskan dalam formulasi teori. Dalam hal ini, Gunnar Myrdal (1969) pernah menyangkal keras tentang asumsi bahwa ilmu hanya mengemukakan fakta objektif yang disimpulkan dari suatu kumpulan data dan fakta empiris saja, tanpa adanya suatu instrumen penilaian (evaluation).

Dengan menggunakan tiga pendekatan kritik ini, Rahmat mengemukakan kritiknya terhadap aliran psikoanalisis-nya Sigmund Freud, behavioristik yang dicetus oleh Watson, Pavlov, Skinner dan Thorndike dan humanistik yang diusung Maslow, Rogers, dan lain-lain.

Kritik Psikoanalisis
Rahmat menilai bahwa teori Teori Freud tentang dorongan id (libido sexual) termasuk salah satu teori yang mendapat kritik keras karena dianggap terlalu menyederhanakan kompleksitas hidup seseorang. Menurut Rahmat, jika dilihat dari perspektif Islam, teori ini tidak akan mampu menjelaskan kebutuhan manusia untuk beragama yang dalam ajaran Islam diyakini bahwa manusia punya kecenderungan untuk beragama (fitrah) sebagaimana dijelaskan dalam hadits Nabi, Setiap manusia yang lahir ke dunia membawa bekal fithrah (sikap bertauhid), (HR. Bukhari).

Selain itu, ia juga mengkritik pandangan Freud yang mengatakan bahwa manusia sangat dipengaruhi oleh masa lalunya. Hal ini menjadikan manusia sebagai determinist (yang menentukan kehidupan), sehingga menjadikan masa kecil (masa lalu) seseorang sebagai instrumen tunggal yang menentukan masa depan orang tersebut.

Konsep ini jelas bertentangan dengan Islam. Islam adalah suatu agama yang memberikan kebebasan pada manusia untuk berbuat sesuai dengan kehendaknya, dengan catatan bahwa semua itu akan diminta pertanggungjawabannya. Islam menghargai dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM), namun dengan persyaratan tak menyimpang dari nilai-nilai dan norma-norma dalam Islam itu sendiri.

Dalam konteks ini, Rahmat mengkritik teori psikoanalisis Sigmund Freud dengan menggunakan kritik empiris sebagai landasannya. Menurut Rahmat, konsep dorongan id (libido sexual) dan determinasi masa lalu yang dperkenalkan Freud tidak relevan lagi dengan konteks sekarang. Contoh lainnya, sebagaimana yang dikemukakan Turmidhi, sejumlah ahli telah membuktikan kekeliruan secara ilmiah pada teori Freud tentang Oedipus Complex. Branislav Malinowski (1927) tidak memperoleh bukti adanya apa yang dinamakan dengan Oedipus Complex pada penduduk pulau Torbiand. Pun demikian dengan Prothro (1961). Ia berspekulasi secara ilmiah dari hasil studinya terhadap praktik-praktik pendidikan anak di Libanon bahwa karakter anal sesungguhnya tak berhubungan dengan toilet training seperti hasil penelitian Sigmund Freud.

Dan, klimaksnya pada penelitian Victor E. Frankl (1964) yang menyimpulkan tentang pendapat Freud mengenai fenomena imajinasi seorang anak terhadap ayahnya, sehingga kelak ketika dewasa menimbulkan delusi tentang Tuhan dan keyakinan Agama, yang oleh Freud disebut sebagai suatu bentuk usaha untuk merepres kecemasan (anxiety repression). Pemahaman akan keagamaan seseorang yang oleh Freud ‘disederhanakan’ sebagai bentuk ‘imajinasi’ seorang anak sebagai sosok yang serba-Maha sehingga menciptakan delusi tentang Tuhan dan Agama ini sungguh sangat dangkal dalam memahami kompleksitas nilai-nilai keagamaan seseorang.

Lebih lanjut lagi, dalam ajaran psikoanalisa, mempertanyakan responsibilitas seorang manusia merupakan suatu hal yang absurd, karena menurut Freud, manusia hanyalah binatang yang bergerak atas dorongan-dorongan insting: eros dan  thanatos. Dan, sebagaimana dituliskan di atas, Freud menyinggung permasalahan relevansi antara konsep Tuhan dan delusi ciptaan manusia yang disebutkannya.

Freud menyesali sikap dan tindakan manusia yang ‘keliru’ karena masih menyembah apa yang dianggapnya sebagai ilusi palsu yang diciptakan karena kebutuhan-kebutuhan masa kecil sebagai alat untuk merepresi kecemasan dan ketakutan saja. Inilah realitas dunia psikologi klasik dan kontemporer, yang berasumsi bahwa manusia hanyalah sebatas makhluk psiko-fisikal-sosial belaka, tak ada jiwa atau ruh yang menautkan manusia dengan Tuhan.

Sementara dalam tataran epistimologis, kritik atas teori psikoanalisis Freud ini, sebagaimana yang diungkapkan Malik B. Badri (1979) yang memberi contoh sebuah adat-istiadat Sudan (yang non-Islam) di daerah Gezira, di mana pada upacara-upacara perkawinan, pengatin pria mencambuki beberapa orang laki-laki, yaitu teman-temannya, yang dengan sangat suka rela menjadi memar-memar tubuhnya, seolah dalam trance hipnotik. Sementara itu, para penonton wanita bersorak-sorai memberi semangat dan menikmati peristiwa yang dipandang sangat ‘normal’ tersebut.

Dalam pandangan Freud, hal ini pasti akan diasosiasikan dengan kelainan seksual, di mana pengantin pria diasumsikan sebagai seorang sadistik, yaitu orang mendapatkan kenikmatan seksual dengan cara menyiksa orang lain, dan sebaliknya, teman-temannya yang dipukuli dianggap sebagai pengidap masokis atau orang yang mendapatkan sensasi seksual setelah disiksa atau dipukuli oleh orang lain. Padahal dalam konteks budaya di daerah Gezira, Sudan itu, hal ini hanyalah praktik kebudayaan (adat-istiadat) yang tak ada relevansinya dengan konsep sadisme dan masokisme yang dikatakan Freud. Freud kembali ‘gagal’ mempertahankan universalitas teorinya dalam konteks ini.

Kritik Behavioristik
Aliran yang diperkenalkan Watson, Pavlov, Skinner dan Thorndike ini lebih menitikberatkan pada stimulus dari lingkungan sebagai satu-satunya determinan dalam kehidupan manusia. Rahmat menilai hal ini sebagai bentuk kekeliruan karena mengabaikan aspek potensi-potensi yang ada dalam diri manusia. Dalam hal ini, Rahmat menyebutkan manusia hanya dianggap sebagai sebuah mesin sehingga teorinya bersifat mekanistis.

Menurut Turmidhi, pada ranah ideologis, pandangan seorang psikolog yang menganggap manusia sebagai seekor binatang materialistik yang bermotivasi tunggal untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan fisik dan sosialnya dalam orientasi waktu ‘here and now’, dengan sendirinya merupakan pandangan seorang atheis. Seekor binatang pastilah sangat berbeda dengan seorang manusia. Binatang hanyalah seekor makhluk Tuhan yang tidak mempunyai akal, sedangkan sentral berpikir manusia itu justru terletak pada akal.

Dalam pandangan para behavioris seperti Watson dan Skinner, manusia dianggap tidak memiliki jiwa, orientasi dan tujuan (goal) terhadap hal-hal yang bersifat lebih tinggi dan metafisis. B.F. Skinner, pencetus teori Skinner Box dengan meneliti tikus sebagai objek penelitiannya dan mengasosiasikan aplikasinya terhadap manusia ini juga tidak mengakui adanya apa yang dimaksud dengan kehendak bebas (free will) dalam perilaku manusia, dan cenderung memandang manusia sebagai mesin belaka (Hjelle & Ziegler, 1981).

Pandangan seperti ini dalam sistem psikologi justru mempunyai konsekwensi untuk me-nonsenskan tanggungjawab manusia, sedangkan dalam terminologi Islam, manusia mengemban tugas mulia sebagai seorang khalifah (pemimpin) di muka bumi ini. Jika manusia hanyalah sebuah mesin yang bereaksi terhadap siklus stimulus-respons, lalu di manakah hakikat responsibilitas seorang manusia?

Kritik Humanistik
Dalam pandangan Rahmat, aliran ini tampak sesuai dengan ajaran Islam karena sangat apresiatif terhadap keunikan pribadi, penghayatan subjektivitas, adanya rasa tanggungjawab dan yang paling penting adanya kemampuan pada manusia untuk melakukan aktualisasi diri. Salah satu aliran humanistik yang dikembangkan Victor Frankl dianggap sebagai aliran yang sesuai dengan ajaran Islam.

Namun, Rahmat menilai kelemahan utama aliran ini justru terletak pada pandangannya yang terlalu optimistik terhadap manusia itu sendiri yang keadaan ini pada gilirannya akan menyebabkan manusia dianggap menjadi penentu (determinan) tunggal terhadap kehidupannya dan menafikan eksistensi Tuhan. Hal ini bertentangan dengan ajaran Islam yang menyatakan bahwa Tuhanlah yang Maha menentukan, meski manusia mempunyai kuasa usaha.

Di sinilah letak kesalahan paradigma humanistik yang memperhatikan dan mengapresiasi potensi-potensi serta keunikan yang ada pada manusia. Karena pemahaman seperti ini, manusia dijadikan sebagai satu-satunya penentu (determinan), sehingga manusia bebas sebebas-bebasnya dalam melakukan apapun dalam upayanya memberdayakan dan mengoptimalkan potensi-potensi yang dimilikinya. Konsep Maslow dan kawan-kawannya tentang humanistik ini sejalan dengan semangat yang diusung oleh aktivis HAM yang ada saat ini.

Kelemahannya terletak pada cara humanistik yang memosisikan manusia sebagai determinan tunggal dan melupakan kehadiran Tuhan. Sehingga tak ada konsep yang berimbang antara hablumminallah (hubungan manusia dengan Tuhan) dan hablumminannaas (hubungan manusia dengan sesamanya). Sebagaimana yang dituliskan di atas, Islam menjunjung tinggi hakikat kebebasan manusia selama masih sejalan dengan nilai dan norma-norma Islam.

Konsep HAM dalam Islam itu jelas; manusia bebas dalam mengekspresikan dirinya, dengan catatan melaksanakan segala perintah Allah sebagai Sang Khalik (amar ma’ruf) dan menjauhi segala bentuk larangan-Nya (nahi mungkar). Aspek inilah yang dilupakan oleh penganut humanistik. Rahmat mengatakan bahwa humanistik beranggapan terlalu optimistik dalam memandang manusia, sedangkan Islam memandang manusia dengan optimist proportional, yang berarti bahwa selain mempunyai kemampuan luhur, manusia juga mempunyai keterbatasan sehingga selalu ada tempat kembali dalam hidupnya. Jadi, dalam konteks ini, Rahmat menilai aliran humanistik ini juga ‘gagal’ dalam memahami kompleksitas manusia secara universal dan utuh-menyeluruh, terutama dalam hal keagamaan.

Psikologi Islami sebagai Alternatif
Karena itu, menurut Rahmat diperlukan sebuah alternatif dan solusi untuk ‘menambal’ kekurangan-kekurangan yang ada dalam ketiga paradigma psikologi modern di atas, yaitu Psikologi Islami. Ada dua pendapat tentang pengertian dari Psikologi Islami itu sendiri. Pendapat pertama mengatakan bahwa psikologi Islami adalah suatu corak (aliran) psikologi yang dihasilkan dari filterisasi terhadap teori-teori psikologi modern. Artinya teori-teori psikologi kontemporer ‘disaring’ sehingga kemudian pisau analisis yang digunakan adalah dengan menggunakan perspektif Islam.

Sementara pandangan kedua menyatakan bahwa psikologi Islami adalah suatu aliran psikologi yang dibangun atas dasar konsep-konsep yang ada dalam sumber-sumber ajaran Islam. Dalam hal ini, psikologi Islami berdiri sendiri (independen) sebagai sebuah disiplin ilmu yang berbeda dengan psikoanalisis, behavioristik atau humanistik. Dengan mengacu dan berpedoman pada konsep-konsep Islam (Al-Quran dan Hadits), fenomena psikologis diinterpretasikan dengan pendekatan psikologi Islami ini.

Cara pertama, menurut Rahmat memiliki keuntungan karena hanya ‘mengupas’ dan merevisi teori-teori yang sudah ada, untuk kemudian dikritisi dan disesuaikan dengan pendekatan yang bersumber dari ajaran Islam, sehingga melahirkan teori-teori baru. Kelemahannya, kemungkinan akan terjadi bias dalam proses penginterpretasian dan pembentukan konsep-konsep yang baru.

Cara kedua, sumber-sumber dari ajaran Islam dijadikan sebagai landasan pengetahuan baru dengan melakukan penelitian-penelitian ilmiah terkait hal tersebut. Sehingga nanti akan ada konsep baru yang ‘bernafaskan’ Islam, artinya ada integrasi antara nilai-nilai Islam dan aspek ilmu pengetahuan. Namun, kelemahan cara ini adalah butuh waktu yang lama. Rahmat mengusulkan agar kedua cara ini disinergikan, sehingga yang disebut psikologi Islami adalah suatu corak psikologi dalam pengertian pertama untuk jangka pendek, dan pengertian kedua kedua untuk jangka waktu panjang.

Bagaimana pun, Rahmat menganggap masih banyak tantangan yang harus dihadapi untuk ‘membumikan’ psikologi Islami dalam khazanah ilmu pengetahuan psikologi ini. Seperti tantangan tantangan eksternal (para ahli psikologi yang bukan beragama Islam) dan internal (para ahli psikologi yang beragama Islam) yang belum tentu sepakat dengan konsep ini. Namun ia optimis hal ini bisa terwujud jika ada komitmen dan konsistensi tinggi dari seluruh para ahli psikologi dan ahli agama untuk terus mengembangkannya sehingga psikologi Islami benar-benar lahir sebagai rahmatan lil’alamin. Semoga! []

Daftar Pustaka
Istana Ilmu, 2011. “Islamisasi Ilmu Pengetahuan: Sebuah Gagasan Ismail Raji al-Faruqi.” http://istanailmu.com/archives-2011/islamisasi-ilmu-pengetahuan-“sebuah-gagasan-ismail-raji-al-faruqi/html (Diakses pada 5 Mei 2012).
Khalifa, Sammy. 2009. “Kampus dan Peradaban Budaya Intelektual.” http://id.acehinstitute.org/index.php?option=com_content&view=article&id=655:kampus-a-peradaban-budaya-intelektual&catid=18:pendidikan&Itemid=30 (Diakses pada 4 Mei 2012).
Mahdi, Saiful. 2009. Makalah “Membangun Budaya Intelektual Melalui Kelompok Studi Mahasiswa” dalam workshop di Aula Dinas Syariat Islam Provinsi Aceh. Banda Aceh: Aceh Institute.
Aziz, Rahmat. 2004. Membangun Psikologi Islami. Jurnal Psikoislamika, Vol. 1, No.1; 2004. Malang: Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim.
Turmudhi, Audith M. 1993. Kritik Teori Psikologi. Majalah Ilmiah “Kalam” No. 5 Vol. III. Yogyakarta: Kalam.
Badri, Malik B. 1986. Dilema Psikolog Muslim (Terjemahan Siti Zaenab Luxfiati). Jakarta: Penerbit Firdaus.
Suriasumantri, Jujun S. 1984. Filsafat Ilmu. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan.
Ancok, D., & Nashori, F. 1994. Psikologi Islami, Solusi Islam atas Problem-
Problem Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Nashori, F. 1994. Membangun Paradigma Psikologi Islami. Yogyakarta:
Sipress.
Kuntowijoyo. 1991. Paradigma Islam, Interpretasi untuk Aksi. Bandung:
Mizan.

5 komentar:

  1. Mantao artikel nyoe. Peu hana neukirem bak media?
    hahhaha
    saleum.
    Kunjung balek beh.

    BalasHapus
  2. Hana media yang tem muat bang..
    Hehehe..
    Teurimong geunaseh ka neukunjong keuno Bg Masri.
    Akan lon kunjong balek cit.
    Saleum :)

    BalasHapus
  3. Yups, semoga bisa menjadi referensi untuk pengembangan khasanah keilmuan di masa yang akan datang. Terima kasih telah berkunjung kemari.
    Salam :)

    BalasHapus
  4. Sedap ni artikelnya.....saya sangat suka dengan islamisasi ilmu pengetahuan.....bukan ilmu yg dibarat baratkan.........

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ya, makanya kita harus terus belajar. Jgn terjebak dgn romantisme klaim islamisasi. Biar bs mewujudkannya dlm bentuk ilmu sosial profetik.

      Hapus

.