30 April 2012

‘Taklid Buta’ Bencana

Leave a Comment
Belum habis lagi trauma masyarakat Aceh karena gempa berkekuatan 8,1 Skala Richter (SR) yang mengguncang Aceh pada sore kelabu 11 April 2012 lalu. Masyarakat masih takut dengan kemungkinan adanya gempa susulan untuk beberapa waktu ke depan. Dan kini, masyarakat kembali dihantui oleh perasaan cemas dan was-was terkait dengan beredarnya pesan singkat atau SMS yang menyatakan bahwa akan terjadinya gempa bumi 12 SR di sekitar Pulau Sumatera dalam waktu dekat.


Entah siapa yang memulai, SMS yang dikirim oleh oknum tak bertanggungjawab itu kini sudah beredar luas di kalangan masyarakat. Kepanikan pun tak dapat dielakkan lagi. Tak sedikit masyarakat yang termakan dengan isu tersebut tanpa mempertanyakan kebenarannya. SMS yang berisi pernyataan bahwa akan terjadi gempa berkekuatan 12 SR dan kepada masyarakat diminta untuk menjauhi daerah pantai itu telah membuat gempar masyarakat.

Walau pun Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA) bersama Pusat Riset Tsunami dan Mitigasi Bencana (TDMRC) Universitas Syiah Kuala, BMKG, Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI)-Aceh, Himpunan Ahli Geofisika Indonesia-Aceh (HAGI), Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia (MPBI), RAPI, dan TAGANA telah mengeluarkan siaran pers bersama (21/4/2012) dan menyatakan bahwa isu tersebut tidak benar dan masyarakat diminta tetap tenang dan waspada, namun masih banyak masyarakat awam yang belum mendapatkan kejelasan pasti terkait hal ini karena kurangnya akses informasi yang didapatkannya.

Komplikasi Bencana
Bencana gempa bumi dan tsunami yang menimpa Aceh dulu, bagaimana pun, masih menyisakan luka yang sulit untuk dihapuskan. Salah satu bentuk efek langsung dari bencana ini adalah Gangguan Stress Pasca-Trauma atau Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD). Gejala-gejala yang terjadi pada PTSD ini antara lain re-experiencing (seperti mengalami kembali), avoidance (penghindaran) dan hyper-arousal (kewaspadaan yang berlebihan).

Kompleksitas gejala pada PTSD yang dialami masyarakat selaku para penyintas bencana ini sungguh begitu berat dirasakan. Dan tersebarnya SMS gempa 12 SR yang sesat dan menyesatkan itu kian menambah pilu dan memperkuat gejala PTSD itu sendiri bagi masyarakat.

Beredarnya SMS itu, gejala PTSD seperti kewaspadaan yang berlebihan akan semakin tak terkontrol dengan kehadiran SMS tersebut. Bisa dibayangkan kepanikan yang akan dialami. Ketika diri tak bisa lagi berpikir dengan jernih, sementara di saat yang sama, akses informasi yang dibutuhkan untuk mempertanyakan kebenaran isi SMS tersebut belum didapatkan.

Sehingga, yang terjadi kemudian adalah masyarakat kehilangan rujukan terkait dengan informasi yang sebenarnya. Dan, dalam ketiadaan informasi yang benar itu, dalam kepanikannya akan trauma bencana di masa lalu, SMS yang masih simpang-siur seperti ini pun dijadikan pedoman dalam menanggapi bahaya bencana.

Pemahaman Menyeluruh
Dalam kondisi seperti ini, kita juga tak bisa dengan serta-merta menyalahkan posisi masyarakat. Mereka merupakan individu yang telah berhadapan langsung dengan bencana dan menanggung sendiri dampak dan akibat dari bencana itu. Yang perlu diperhatikan lebih lanjut adalah peran pemerintah dan pihak terkait seperti TDMRC, BPBA, BMKG dan lembaga lainnya dalam memberikan pemahaman secara menyeluruh kepada masyarakat mengenai pengetahuan siaga dan mitigasi bencana serta masalah kebencanaan itu sendiri.

Seperti pemahaman umum bahwa sampai saat ini, para seismolog (ahli gempa bumi) belum bisa memprediksi secara tepat kapan dan di mana suatu gempa bumi itu terjadi. Banyak masyarakat yang belum mengetahui fakta ini, sehingga kalang-kabut dalam menanggapi SMS yang menyatakan akan terjadi gempa besar di Pulau Sumatera.

Jadi peran pemerintah dan pihak terkait itu dalam hal ini bukan hanya mengenai klarifikasi SMS gempa dan sosialisasi melalui media saja, namun juga bagaimana mereka memberikan pendidikan dan pemahaman yang menyeluruh tentang segala hal yang berhubungan dengan kebencanaan ini. Jika tidak, bukan tidak mungkin kejadian seperti ini akan terulang kembali di masa yang akan datang.

 Selain itu, peran ulama dan tokoh masyarakat sebagai patron dalam kehidupan masyarakat juga harus diperhatikan. Ulama sebagai tokoh agama yang masih bisa dipercaya dalam masyarakat juga harus mampu memberikan pemahaman menyeluruh terkait masalah sikap dalam menghadapi bencana ini. Bagaimana seharusnya sikap kita ketika dihadapkan pada bencana.

Juga harus dijelaskan kepada masyarakat bahwa kematian atau ajal itu merupakan suatu hal yang pasti dan sudah digariskan Allah Swt. Jadi tak mesti di daerah pantai, di dalam istana sekali pun, jika malaikat maut hendak menjemput, satu hamba pun tak akan luput. Sehingga dengan adanya pemahaman yang menggunakan pendekatan agama seperti ini, masyarakat tak salah kaprah dan ‘taklid buta’ pada hal-hal yang belum bisa dibuktikan kebenarannya. Dengan begitu, pernyataan dalam SMS gempa yang menghimbau masyarakat untuk menjauhi daerah tepi pantai itu tak perlu dihiraukan lagi.

Begitu pula dengan tokoh masyarakat. Mereka harus meyakinkan masyarakat untuk tetap tenang dan waspada. Tak perlu panik, namun juga harus senantiasa siaga terhadap bencana yang sewaktu-waktu akan menimpa. Siaga bencana itu penting, namun siaga yang berlebihan itu juga akan semakin meningkatkan intensitas kepanikan dan membawa kemudaratan dalam menghadapi bencana itu sendiri.

Semoga pengirim SMS yang membuat kepanikan massal itu khilaf dan mengakui kesalahannya. Akhiru kalam, hanya kepada Allah Swt. lah kita berserah diri dan mengembalikan segala perkara. Wallahua’lam Bishshawab. []

0 komentar:

Posting Komentar

.