Kini mereka akan
menanti hasil akhir berupa pengumuman kelulusan UN nanti. Berbagai akumulasi
perasaan yang bercampur-aduk pun telah dialami. Bukan hanya oleh siswa sebagai
peserta didik, namun juga orangtua, guru, stakeholder
dan seluruh elemen masyarakat yang masih memiliki kepedulian terhadap nasib
masa depan pendidikan kaum remaja generasi penerus cita-cita peradaban bangsa
ini.
Ketakutan-ketakutan
tersebut bukanlah hal yang tak beralasan. Sejak pertama sekali diterapkan pada
periode 1950-an sampai sekarang dan sudah beberapa kali berganti nama, mulai
dari Ujian Penghabisan, Ujian Negara, Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional
(Ebtanas), Ujian Akhir Nasional (UAN) hingga sekarang menjadi UN, beragam
pro-kontra masih saja menyertainya. Fenomena ini kian rumit pula ketika
dihadapkan pada kenyataan kompleksitas yang dimiliki remaja (adolescene) usia sekolah ini.
Putih
Abu-abu
Masa SMA dikenal juga
sebagai masa ‘putih abu-abu’. Istilah ini mulai dikenal setelah dipopulerkan
oleh sebuah sinetron di salah satu stasiun televisi swasta dengan judul yang
sama. Putih abu-abu yang dimaksud di sini merujuk pada warna seragam SMA, di
mana bajunya berwarna putih dan celana/rok berwarna abu-abu.
Jika ditelaah secara lebih
mendalam, pelabelan istilah yang bersumber dari warna seragam ini bukanlah hal
yang kebetulan semata. Bila diperhatikan, warna putih pada baju seragam SMA ini
berakar dari filosofi tabularasa-nya
John Locke, yang menganggap bahwa seorang anak manusia itu masih ‘kosong’, dan
pengetahuan diperoleh dari interaksinya dengan dunia luar dalam bentuk
pengalaman dan persepsi. Dan hal ini sejalan dengan visi-misi pendidikan di
sekolah usia menengah atas itu.
Sementara warna abu-abu
pada celana/rok lebih identik dengan hal yang sifatnya samar-samar. Jika
dikaitkan dengan status identitas remaja SMA, di sinilah letak kesamaan antara
ketidakjelasan (kabur, samar-samar) dengan kelabilan identitas pada remaja usia
SMA.
Lebih jauh lagi, Erik
Erikson dalam teori tugas psikologi-nya (psychological
task) mengkategorikan fase remaja (adolescene)
ini, mulai usia 12 – 18/20 tahun dalam masa identitas diri vs kekacauan peran (ego-identity vs role confusion). Fase
remaja ini juga disebut sebagai ‘moratorium psikososial’, karena mereka mengisi
‘kekosongan’ fase, antara telah melewati fase anak-anak dan mulai beranjak
menuju fase dewasa awal.
Dalam pandangan
Erikson, fase remaja ini masih dalam masa pencarian identitas, sehingga terjadi
dua kemungkinan; antara mendapatkan identitas idealnya sebagai fondasi awal
pembentukan karakter di masa yang akan datang dan terjadinya kekacauan
identitas yang mengaburkan peran dan karakternya (krisis identitas).
Realitas di atas ini setidaknya
mengindikasikan satu hal; ada yang harus dibenahi terkait dengan pembekalan
pendidikan dan ilmu pengetahuan kepada remaja selaku peserta didik, terutama
terkait dengan proses evaluasi akhir berbasis nasional, yaitu UN.
Dilema
UN
Ada banyak hal yang
perlu dikritisi dan dikaji ulang terkait
pelaksanaan UN ini. UN yang hadir di akhir masa sekolah dan di tengah realitas
pencarian identitas para remaja, seharusnya juga memperhatikan sisi fisik,
psikis dan juga latar belakang lingkungan peserta didik itu sendiri.
Sebagaimana yang telah penulis uraikan di atas terkait hubungan antara
eksistensi UN dan realitas diri remaja SMA, setidaknya ada dua hal yang perlu
digarisbawahi dalam konteks ini.
Pertama, pelaksanaan UN
saat ini masih mengabaikan kondisi mental para peserta didik. Penyeragaman
konteks yang diejawantahkan dalam bentuk ujian secara nasional berpotensi besar
mengaburkan identitas peserta didiknya. Peserta didik tidak diberikan ruang
untuk mendefinisikan dirinya sendiri dalam proses pendidikan, kemana ia akan
melangkah, apa perannya saat ini serta penanaman nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom) dalam dirinya sebagai
cikal-bakal identitasnya di masa yang akan datang.
Jika hal ini terus
berlangsung, besar kemungkinan anak didik tak bisa menempa identitas yang ideal
sesuai dengan latar belakang lingkungannya. Sehingga ia akan merasa inferior
atau minder dengan identitas lingkungannya, dan dipaksa untuk seragam dan menjadi
superior dengan standar nasional.
Kedua, akibat
penyeragaman ini, maka secara otomatis UN juga telah menafikan unsur kearifan
lokal dan nilai-nilai kedaerahan yang merupakan identitas kolektif suatu
daerah. Hegemoni nasional ini telah mengangkangi prinsip-prinsip lokalisme yang
seyogyanya juga memberikan andil bagi peradaban bangsa di masa yang akan
datang.
Nasionalisme yang
hendak dicapai UN seperti ini sama sekali tidak memiliki kepedulian dan
apresiasi terhadap perbedaan dan keberagaman di tengah kehidupan masyarakat.
Karena walau bagaimana pun, penerapan standar UN yang sama antara sekolah yang
berada di Jakarta dengan sekolah-sekolah yang ada di pedalaman masing-masing
provinsi di negeri ini tak akan pernah mencapai target yang optimal.
Sebagaimana yang
ditulis J. Sumardianta dalam opininya, “Fenomena Kodok Rebus Ujian Nasional”,
UN berseberangan dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). KTSP
memberikan kewenangan kepada guru untuk mengkreasikan kurikulum agar selaras
dengan konteks sosial, ekonomi dan lingkungan tempat sekolah berada. Spirit
KTSP adalah multikultural, demokratis dan desentralisasi. Semangat UN
sentralistik dan monokultural. (Tempo, 13/04/2012).
Menyikapi
Keberagaman
‘Kegalauan’ kaum putih
abu-abu ini haruslah dipahami secara utuh-menyeluruh, terutama sekali terkait
kondisi internal dan eksternal para peserta didik. Dari kondisi internal,
kelabilan identitas yang mereka alami tidaklah harus disikapi dengan memaksakan
penyeragaman dengan standar yang bersifat tunggal.
Alangkah lebih baik jika
standar UN dipertimbangkan lagi oleh para stakeholder
pendidikan untuk dikembangkan sesuai dengan konteks masing-masing daerah
sehingga lebih ‘membumi’, mengingat Indonesia sebagai negara yang aktivitas
berkehidupan-berkemasyarakatannya tak terlepas dari kemajemukan yang sangat kompleks.
Dengan begitu, peserta didik pun tak akan ‘galau’ dan kebingungan lagi karena
telah menemukan formulasi awal pembentukan peran, karakter dan identitasnya
sesuai dengan latar belakang masing-masing.
Menolak semangat
nasionalisme-penyeragaman yang diusung UN ini bukan berarti tidak sepakat
dengan prinsip nasionalisme, karena nasionalisme yang tidak memberikan
apresiasi kepada perbedaan dan keberagaman juga pemikiran yang salah kaprah.
Intinya, harus ada konsep keseimbangan antara nasionalisme dan lokalisme
sehingga keduanya bisa berjalan beriringan dalam keharmonisan.
Semua hal di atas juga
harus dibarengi dengan partisipasi aktif semua pihak untuk memberikan dukungan
psikologis (psychological support)
bagi remaja peserta didik dalam pelaksanaan UN sehingga membuat mereka merasa
nyaman dan termotivasi untuk memberikan kontribusi terbaik dalam bidang
pendidikan. Akhiru kalam, semoga
pelaksanaan UN tahun ini mampu mencapai target yang diharapkan. Amien! []
*Penulis
adalah mahasiswa prodi Psikologi Unsyiah, alumni SMA Harapan Persada, Aceh
Barat Daya.
moga aja siswa-siswi diaceh lulus semua...
BalasHapuskasian juga mereka kalau nggak lulus...
pasti stres berat tu...
mampir balik ya gan !
http://x-cube.blogspot.com/
Amien... Kita berharap semua generasi penerus bangsa khususnya di Aceh lulus UN semua. Thanks Bro Andrian sudah mampir dimari :)
BalasHapus