Akmal Abzal, pria yang
dimaksud sedang mempersiapkan semua yang diperlukan untuk penyelenggaraan Pemilihan
Kepala Daerah (Pilkada) 2012 nanti. Ia mengatakan bahwa persiapan menjelang
Pilkada 2012 nanti sudah berjalan sesuai rencana, walau sempat mengalami
penundaan.
“Pemungutan suara akan
dilaksanakan pada 16 Februari nanti, hari ini (30 Desember) kami akan
memplenokan para calon gubernur yang memenuhi syarat dan tanggal 2 Januari nanti
akan dilakukan penarikan nomor urut kandidat,” ujar Ketua Kelompok Kerja
Pendaftaran Pemilih KIP Aceh itu.
Terkait dengan kesiapan
masyarakat sendiri dalam menghadapi Pilkada, Akmal mengaku hal tersebut
bukanlah suatu kendala. Karena masyarakat sekarang sudah menyiapkan dirinya dan
mulai cerdas menentukan pilihan. “Jauh-jauh hari masyarakat sudah siap, bahkan
kondisi yang berlarut-larut membuat masyarakat Aceh kini mulai bosan,” tuturnya.
Akmal menyebutkan
indikator pemilih yang cerdas itu sebagai pemilih yang menetapkan pilihan
kepada kandidat tertentu atas dasar rekam jejak (track record) yang dia tahu dari kandidat tersebut. Dan upaya untuk
memberikan pendidikan politik kepada masyarakat agar menjadi pemilih cerdas
itu, menurut Akmal merupakan tanggungjawab semua pihak, baik KIP sendiri,
Panitia Pengawas (Panwas), pemerintah, partai politik (parpol) dan pihak
lainnya.
Pihak-pihak itulah yang
mempunyai kewajiban untuk memberikan pendidikan politik yang sehat kepada
masyarakat, terutama bagaimana menjadi
seorang pemilih yang cerdas. Karena itu, sambung Akmal, “Ini mesti
diperhatikan agar masyarakat tak menilai politik itu hanya identik dengan money politic (politik uang) dan praktik
negatif lainnya.”
Sementara itu, dari
parpol sendiri ada yang sudah melakukan upaya serius yang menjurus kepada
program pendidikan politik dan ada pula yang belum atau tidak ada sama sekali. Razikin,
tim sukses (timses) calon gubernur (cagub) Aceh pasangan Irwandi Yusuf-Muhyan
Yunan mengaku bahwa dari pasangan cagub yang diusungnya tidak mempunyai program
khusus terkait dengan pendidikan politik pra-Pilkada. “Itu lebih kepada
inisiatif masing-masing kita saja untuk memberikan hal-hal yang mencerdaskan
bagi masyarakat pemilih,” ungkapnya.
Ia juga menambahkan
bahwa program pendidikan politik untuk masyarakat pemilih itu sebenarnya
merupakan tanggungjawab KIP sebagai penyelenggara Pilkada. Pihak KIP-lah yang memiliki
kewenangan penuh untuk melaksanakan hal tersebut.
Berbeda pula dengan
yang disampaikan Ghufran Zainal Abidin, Ketua Dewan Pengurus Wilayah (DPW)
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Aceh. Menurut Ghufran, PKS yang dalam Pilkada
kali ini hanya mengusung kader untuk wilayah Kabupaten/Kota Aceh Barat dan
Lhokseumawe itu menjelaskan bahwa setiap menjelang Pilkada, mereka selalu
melakukan rekrutmen dan pelatihan untuk para kader PKS dalam rangka memberikan
pendidikan politik kepada masyarakat. Selain itu, mereka juga melakukan
sosialisasi Undang-undang (UU) terbaru tentang pemilihan kepada masyarakat.
Namun, tambahnya lagi,
khususnya untuk Pilkada kali ini suasananya belum kondusif. “Masih tarik-ulur.
Janji (pelaksanaan) Pilkadanya saja belum jelas. Hal ini menyebabkan
sosialisasi Pilkada kepada masyarakat yang kami jalankan banyak mengalami
kendala,” ujar Ghufran.
Karena itu, dalam
Pilkada kali ini PKS tidak mempunyai agenda politik khusus terkait sosialisasi
Pilkada kepada masyarakat karena jadwal pelaksanaan Pilkada yang masih
berubah-ubah.
Ghufran juga
menjelaskan bahwa masyarakat sebagai pemilih sekarang sangat cepat menyesuaikan
diri dengan baik dalam rangka menyambut Pilkada nanti. “Pilkada yang pertama
saja sukses (dilaksanakan) di Aceh, apalagi yang sekarang,” ungkapnya, optimis.
“Masyarakat menginginkan Pilkada digelar tepat waktu karena mereka juga banyak
kerja. Kalau mereka (masyarakat) cuma memikirkan Pilkada saja, kapan mereka
harus memikirkan perekonomian mereka?”
Direktur Pusat Studi
Perdamaian dan Resolusi Konflik Unsyiah, Saifuddin Bantasyam menilai bahwa
parpol yang memiliki tugas untuk melakukan pendidikan politik hampir dapat
dikatakan tidak menjalankan fungsi atau tugas tersebut dengan maksimal. “Setelah
pemilu legislatif 2009 sampai dengan sekarang, sedikit sekali forum yang dibuat
oleh parpol untuk melakukan komunikasi dengan konstituennya,” tutur dosen
Fakultas Hukum (FH) Unsyiah itu.
Ia mengaku sangat jarang
mendengar ada pencerahan-pencerahan dari partai politik terhadap kondisi
kekinian, atau solusi atas berbagai masalah yang dihadapi masyarakat. Selain
itu, hampir tak ada informasi yang diperoleh tentang apa sebenarnya yang
dilakukan oleh parpol saat ini. Sebagian anggota parpol malah lebih parah lagi;
belum tentu sebulan sekali menyambangi kantor parpolnya. Sehingga kepedulian terhadap
parpol dan masyarakat lebih banyak hanya saat menjelang Pilkada saja.
Anggota dewan hendaknya
sadar bahwa gaji dan fasilitas yang mereka terima selama lima tahun atau
sepuluh tahun menjadi anggota dewan itu lebih banyak karena usaha orang lain,
yaitu usaha pemilih mereka. “Saya ingin ini diubah, sebab dosa besar jika
partai dan wakil-wakilnya menyepelekan konstituen yang telah memilih mereka,”
ujarnya lagi.
Sedangkan untuk
masyarakat sendiri, Saifuddin menilai wajar jika ada masyarakat yang tidak
begitu menaruh perhatian kepada kegiatan-kegiatan politik. Ia juga menambahkan,
kehidupan masyarakat sekarang relatif semakin sulit dari hari ke hari.
Masyarakat sangat fokus pada upaya mencari kehidupan yang lebih baik, agar
kebutuhan dasar terpenuhi.
Masyarakat mungkin ada
juga yang mulai apatis, ketika misalnya melihat performa lembaga politik yang
begitu-begitu saja, tak ada perubahan. “Dan jangan lupa, memilih itu sendiri
adalah hak, jadi terserah kepada pemilik hak, mau atau tidak menggunakan haknya
itu. Jadi, jika masyarakat tidak memilih, sebenarnya bukan karena mereka tidak
cerdas, mungkin malah sangat cerdas,” tutupnya.
Sebagaimana pengakuan
Ibnu Syahri Ramadhan, salah seorang mahasiswa Ekonomi Pembangunan Unsyiah yang
mengatakan bahwa dalam Pilkada nanti ia tak mau jadi golongan putih (golput)
karena sebagai warga negara ia punya hak untuk memilih.
Karena itu, ia akan
menentukan pilihannya dengan melihat dulu track
record dan curriculum vitae (CV)
dari sang calon, walau menurutnya sekarang tak ada lagi calon atau kandidat
yang ideal. “Saya tak mau golput. Saya akan memilih yang paling baik sajalah,”
katanya.
Mahasiswa yang akan
wisuda pada Februari mendatang itu berharap parpol harus benar-benar selektif
dalam mengusung calonnya. Tidak hanya pertimbangan nilai jual calon, tapi
kapasitasnya sebagai pemimpin juga harus diperhatikan. “Parpol harus mampu
menjadi kontrol yang objektif terhadap calonnya bila menang nanti,” sambungnya
lagi.
Meumileh dari Hatee
Hal yang sama juga
dituturkan Maneh, 48 tahun. Ibu penjual buah langsat dan rambutan di depan
Masjid Jami’ Kampus Kompleks Pelajar dan Mahasiswa (Kopelma) Darusalam itu
sudah sering kali berpartisipasi dalam proses pemilihan. “Itu hak kita sebagai
warga negara Indonesia,” katanya seraya tersenyum.
Wanita paruh baya yang
berasal dari Desa Ateuk Lam Ura, Simpang Tiga, Aceh Besar itu menceritakan
bahwa selama beberapa kali mengikuti proses pemilihan para kandidat yang
mencalonkan diri, ia tidak pernah diintervensi oleh pihak mana pun. “Kamoe meumileh dari hatee (kami memilih
dari hati).”
Ketika ditanya mengenai
sosialisasi Pilkada, Maneh mengaku tak tahu-menahu. “Mana tahu kami orang
jualan ni,” ungkapnya, sendu. “Pagi
hari berangkat dari rumah untuk jualan di sini. Sore nanti pulang lagi. Begitu
setiap harinya...” []
Tabloid
Bungöng Edisi 51 (Khusus Pemilukada), Maret 2012
0 komentar:
Posting Komentar