18 April 2012

Cerdas sebelum Mencoblos

Leave a Comment
Siang itu, 30 Desember 2011. Di kantor Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh, tampak seorang pria tengah sibuk menuliskan sesuatu. Dengan mengenakan peci dan baju koko putih, ia begitu sibuk dengan beberapa laporan yang terletak di atas meja dalam ruangannya.

Akmal Abzal, pria yang dimaksud sedang mempersiapkan semua yang diperlukan untuk penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2012 nanti. Ia mengatakan bahwa persiapan menjelang Pilkada 2012 nanti sudah berjalan sesuai rencana, walau sempat mengalami penundaan.

“Pemungutan suara akan dilaksanakan pada 16 Februari nanti, hari ini (30 Desember) kami akan memplenokan para calon gubernur yang memenuhi syarat dan tanggal 2 Januari nanti akan dilakukan penarikan nomor urut kandidat,” ujar Ketua Kelompok Kerja Pendaftaran Pemilih KIP Aceh itu.

Terkait dengan kesiapan masyarakat sendiri dalam menghadapi Pilkada, Akmal mengaku hal tersebut bukanlah suatu kendala. Karena masyarakat sekarang sudah menyiapkan dirinya dan mulai cerdas menentukan pilihan. “Jauh-jauh hari masyarakat sudah siap, bahkan kondisi yang berlarut-larut membuat masyarakat Aceh kini mulai bosan,” tuturnya.

Akmal menyebutkan indikator pemilih yang cerdas itu sebagai pemilih yang menetapkan pilihan kepada kandidat tertentu atas dasar rekam jejak (track record) yang dia tahu dari kandidat tersebut. Dan upaya untuk memberikan pendidikan politik kepada masyarakat agar menjadi pemilih cerdas itu, menurut Akmal merupakan tanggungjawab semua pihak, baik KIP sendiri, Panitia Pengawas (Panwas), pemerintah, partai politik (parpol) dan pihak lainnya.

Pihak-pihak itulah yang mempunyai kewajiban untuk memberikan pendidikan politik yang sehat kepada masyarakat, terutama bagaimana menjadi  seorang pemilih yang cerdas. Karena itu, sambung Akmal, “Ini mesti diperhatikan agar masyarakat tak menilai politik itu hanya identik dengan money politic (politik uang) dan praktik negatif lainnya.”

Sementara itu, dari parpol sendiri ada yang sudah melakukan upaya serius yang menjurus kepada program pendidikan politik dan ada pula yang belum atau tidak ada sama sekali. Razikin, tim sukses (timses) calon gubernur (cagub) Aceh pasangan Irwandi Yusuf-Muhyan Yunan mengaku bahwa dari pasangan cagub yang diusungnya tidak mempunyai program khusus terkait dengan pendidikan politik pra-Pilkada. “Itu lebih kepada inisiatif masing-masing kita saja untuk memberikan hal-hal yang mencerdaskan bagi masyarakat pemilih,” ungkapnya.

Ia juga menambahkan bahwa program pendidikan politik untuk masyarakat pemilih itu sebenarnya merupakan tanggungjawab KIP sebagai penyelenggara Pilkada. Pihak KIP-lah yang memiliki kewenangan penuh untuk melaksanakan hal tersebut.

Berbeda pula dengan yang disampaikan Ghufran Zainal Abidin, Ketua Dewan Pengurus Wilayah (DPW) Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Aceh. Menurut Ghufran, PKS yang dalam Pilkada kali ini hanya mengusung kader untuk wilayah Kabupaten/Kota Aceh Barat dan Lhokseumawe itu menjelaskan bahwa setiap menjelang Pilkada, mereka selalu melakukan rekrutmen dan pelatihan untuk para kader PKS dalam rangka memberikan pendidikan politik kepada masyarakat. Selain itu, mereka juga melakukan sosialisasi Undang-undang (UU) terbaru tentang pemilihan kepada masyarakat.

Namun, tambahnya lagi, khususnya untuk Pilkada kali ini suasananya belum kondusif. “Masih tarik-ulur. Janji (pelaksanaan) Pilkadanya saja belum jelas. Hal ini menyebabkan sosialisasi Pilkada kepada masyarakat yang kami jalankan banyak mengalami kendala,” ujar Ghufran.

Karena itu, dalam Pilkada kali ini PKS tidak mempunyai agenda politik khusus terkait sosialisasi Pilkada kepada masyarakat karena jadwal pelaksanaan Pilkada yang masih berubah-ubah.

Ghufran juga menjelaskan bahwa masyarakat sebagai pemilih sekarang sangat cepat menyesuaikan diri dengan baik dalam rangka menyambut Pilkada nanti. “Pilkada yang pertama saja sukses (dilaksanakan) di Aceh, apalagi yang sekarang,” ungkapnya, optimis. “Masyarakat menginginkan Pilkada digelar tepat waktu karena mereka juga banyak kerja. Kalau mereka (masyarakat) cuma memikirkan Pilkada saja, kapan mereka harus memikirkan perekonomian mereka?”

Direktur Pusat Studi Perdamaian dan Resolusi Konflik Unsyiah, Saifuddin Bantasyam menilai bahwa parpol yang memiliki tugas untuk melakukan pendidikan politik hampir dapat dikatakan tidak menjalankan fungsi atau tugas tersebut dengan maksimal. “Setelah pemilu legislatif 2009 sampai dengan sekarang, sedikit sekali forum yang dibuat oleh parpol untuk melakukan komunikasi dengan konstituennya,” tutur dosen Fakultas Hukum (FH) Unsyiah itu.

Ia mengaku sangat jarang mendengar ada pencerahan-pencerahan dari partai politik terhadap kondisi kekinian, atau solusi atas berbagai masalah yang dihadapi masyarakat. Selain itu, hampir tak ada informasi yang diperoleh tentang apa sebenarnya yang dilakukan oleh parpol saat ini. Sebagian anggota parpol malah lebih parah lagi; belum tentu sebulan sekali menyambangi kantor parpolnya. Sehingga kepedulian terhadap parpol dan masyarakat lebih banyak hanya saat menjelang Pilkada saja.

Anggota dewan hendaknya sadar bahwa gaji dan fasilitas yang mereka terima selama lima tahun atau sepuluh tahun menjadi anggota dewan itu lebih banyak karena usaha orang lain, yaitu usaha pemilih mereka. “Saya ingin ini diubah, sebab dosa besar jika partai dan wakil-wakilnya menyepelekan konstituen yang telah memilih mereka,” ujarnya lagi.

Sedangkan untuk masyarakat sendiri, Saifuddin menilai wajar jika ada masyarakat yang tidak begitu menaruh perhatian kepada kegiatan-kegiatan politik. Ia juga menambahkan, kehidupan masyarakat sekarang relatif semakin sulit dari hari ke hari. Masyarakat sangat fokus pada upaya mencari kehidupan yang lebih baik, agar kebutuhan dasar terpenuhi.

Masyarakat mungkin ada juga yang mulai apatis, ketika misalnya melihat performa lembaga politik yang begitu-begitu saja, tak ada perubahan. “Dan jangan lupa, memilih itu sendiri adalah hak, jadi terserah kepada pemilik hak, mau atau tidak menggunakan haknya itu. Jadi, jika masyarakat tidak memilih, sebenarnya bukan karena mereka tidak cerdas, mungkin malah sangat cerdas,” tutupnya.

Sebagaimana pengakuan Ibnu Syahri Ramadhan, salah seorang mahasiswa Ekonomi Pembangunan Unsyiah yang mengatakan bahwa dalam Pilkada nanti ia tak mau jadi golongan putih (golput) karena sebagai warga negara ia punya hak untuk memilih.

Karena itu, ia akan menentukan pilihannya dengan melihat dulu track record dan curriculum vitae (CV) dari sang calon, walau menurutnya sekarang tak ada lagi calon atau kandidat yang ideal. “Saya tak mau golput. Saya akan memilih yang paling baik sajalah,” katanya.

Mahasiswa yang akan wisuda pada Februari mendatang itu berharap parpol harus benar-benar selektif dalam mengusung calonnya. Tidak hanya pertimbangan nilai jual calon, tapi kapasitasnya sebagai pemimpin juga harus diperhatikan. “Parpol harus mampu menjadi kontrol yang objektif terhadap calonnya bila menang nanti,” sambungnya lagi.

Meumileh dari Hatee
Hal yang sama juga dituturkan Maneh, 48 tahun. Ibu penjual buah langsat dan rambutan di depan Masjid Jami’ Kampus Kompleks Pelajar dan Mahasiswa (Kopelma) Darusalam itu sudah sering kali berpartisipasi dalam proses pemilihan. “Itu hak kita sebagai warga negara Indonesia,” katanya seraya tersenyum.

Wanita paruh baya yang berasal dari Desa Ateuk Lam Ura, Simpang Tiga, Aceh Besar itu menceritakan bahwa selama beberapa kali mengikuti proses pemilihan para kandidat yang mencalonkan diri, ia tidak pernah diintervensi oleh pihak mana pun. “Kamoe meumileh dari hatee (kami memilih dari hati).”

Ketika ditanya mengenai sosialisasi Pilkada, Maneh mengaku tak tahu-menahu. “Mana tahu kami orang jualan ni,” ungkapnya, sendu. “Pagi hari berangkat dari rumah untuk jualan di sini. Sore nanti pulang lagi. Begitu setiap harinya...”  []

Tabloid Bungöng Edisi 51 (Khusus Pemilukada), Maret 2012

0 komentar:

Posting Komentar

.