24 Maret 2012

Memperkarakan Cinta

Leave a Comment
Cinta adalah fitrah manusia. Ia merupakan anugerah terindah yang diberikan oleh Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada hamba-Nya; umat manusia. Dalam berbagai bentuk dan wujud, ia hadir mewarnai keberadaan manusia karena keniscayaannya yang akan terus mengiringi perjalanan manusia sampai kapan pun. Cinta adalah perasaan terindah yang diciptakan Tuhan untuk umat manusia sejagat raya.

Seperti udara, cinta tak bisa dilepaskan dari kehidupan manusia dan kemanusiaannya. Menyertai kenyataan-kenyataan yang terjadi dalam keseharian manusia, baik manis mau pun pahit. Itulah cinta. Dengan segala kompleksitas yang terkandung di dalamnya, ia menampilkan manusia seutuhnya dalam haru-biru dan sedu-sedan perasaan yang bercampur-aduk di hamparan dunia.

Namun, realitas yang tampak sekarang dalam dinamika kehidupan manusia mulai terasa ‘ganjil’ dan bertolakbelakang dengan semangat yang diusung cinta sesungguhnya. Cinta telah mengalami pergeseran makna. Ia kian menjauh dari hiruk-pikuk manusia. Sementara manusia hanya terlena dan mengira masih ada cinta di sekelilingnya, padahal tinggal bayang semu fatamorgana semata. Ada apa sebenarnya?

Degradasi Cinta
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Daring mendefinisikan cinta merupakan “1. suka sekali; sayang benar: 2. kasih sekali; terpikat (antara laki-laki dan perempuan): 3. ingin sekali; berharap sekali; rindu: 4. susah hati (khawatir); risau.” (http://bahasa.kemdiknas.go.id). Sementara Oxford Dictionaries mengartikannya sebagai “1. a strong feeling of affection: 2. a great interest and pleasure in something: 3. a person or thing that one loves: 4. (in tennis, squash, and some other sports) a score of zero; nil.” (http://oxforddictionaries.com/).

Memang hal ini tak bisa dijadikan landasan umum karena cinta itu sendiri begitu kompleks adanya, namun paling tidak dari pengertian di atas bisa disimpulkan bahwa cinta merupakan perasaan kasih sayang yang utuh, baik untuk manusia mau pun obyek lainnya. Sejatinya, cinta adalah bahasa universal yang dipahami oleh semua manusia di dunia.

Di sinilah letak kekeliruan pemahaman dan persepsi tentang cinta yang ada selama ini, terutama oleh kaum muda; generasi jejaring sosial dunia maya yang identik dengan kegalauannya. Cinta hanya dipandang sebagai relasi keintiman antara seorang pria dan wanita. Sehingga dengan pemahaman yang salah kaprah seperti ini menjadikan cinta hanya sebagai barang yang eksklusif dan dikonsumsi oleh orang-orang tertentu saja. Padahal aspek dan dimensi cinta itu sangatlah luas.

Ironisnya, cinta juga telah direduksi maknanya menjadi lebih sempit. Seperti pemaknaan kata ‘bercinta’. Walau pun tak tertulis, lazimnya kata ini mengacu pada aktivitas seksual antara pria dan wanita. Padahal dalam KBBI Daring sendiri, kata ‘bercinta’ ini bermakna, “menaruh (rasa) cinta”. Lebih luas lagi, makna dari kata ini adalah bagaimana seseorang mengekspresikan perasaan cintanya kepada wujud yang dicintainya, sementara pemuasan seksual yang dimaksud di atas hanyalah salah satu dari sekian banyak ekspresi cinta.

Akibat pemaknaan yang tidak tepat sasaran tersebut, maka ketimpangan-ketimpangan lainnya pun kian menggurita. Maka tak heran jika kemudian banyak pejabat pemerintah mulai dari level keuchik (kepala desa), camat, bupati, gubernur dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) serta perangkat pemerintah lainnya terekspos media massa akibat kasus Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang menjerat mereka.

Salah satu faktor yang menyebabkan hal ini bisa terjadi adalah karena ketiadaan perasaan cinta yang ‘membumi’ dalam diri mereka. Dalam arti sebenarnya, mereka hampir sepenuhnya tidak mencintai profesi atau pun jabatan yang diembannya saat ini. Mereka hanya melihat profesi atau jabatan yang diembannya itu sebagai instrumen untuk memperkaya diri, keluarga dan golongannya serta menyalahgunakan wewenang dan kekuasaannya. Hal ini tak semata-mata karena kecintaannya pada uang dan kekuasaan yang, pada hakikatnya berlandaskan cinta semu (pseudo-love).

Hal-hal seperti ini (pemahaman cinta yang salah kaprah), tanpa disadari secara perlahan-lahan akan mengikis habis kesakralan dan kekudusan nilai-nilai cinta. Sehingga cinta bukan lagi barang yang suci dan keramat, tetapi telah kotor dan nista oleh pemahaman yang setengah-setengah. Disadari atau tidak, mereka telah menurunkan derajat cinta sedikit demi sedikit hingga ke titik kulminasi terendah yang begitu hina.

Mencintai dengan Nurani
Hati adalah lentera jiwa. Begitu orang bijak membahasakannya. Cinta tanpa hati itu mustahil, dan hati tanpa cinta laksana jasad kehilangan jiwa. Karena itu, dalam mencinta, hati haruslah dijadikan sebagai barometer utama dalam setiap penilaiannya melihat realitas dunia. Dengan begitu, takkan ada lagi kedangkalan dalam memaknai cinta karena sudah dinilai atas pertimbangan hati sebagai kontrol diri manusia.

Tak ada lagi yang akan mengira bahwa cinta hanya sekadar cerita eksklusivisme kalangan muda-mudi modern atau aktivitas pemuasan nafsu dua jenis kelamin yang suka sama suka semata. Karena dengan adanya filter hati, semua realitas mampu dipilah-pilah dan dipertimbangkan dengan jernih.

Cinta tak lagi sebatas perhatian yang diberikan kepada objek yang dicinta ketika sang pecinta merasakan sensasi kebahagiaan pada dirinya semata semata tanpa realisasi tanggungjawab terhadap cintanya. Berani mencinta, maka berani pula menghadapi berbagai risiko dan konsekuensi yang menyertainya.

Cinta tanpa tanggungjawab itu hipokrit. Karena itu, hati sebagai filter yang mempertimbangkan berbagai sikap dan tindakan yang akan dilakukan terhadap apa yang dicinta diharapkan mampu mengemban tanggungjawab cinta dengan sebenar-benarnya.

Pejabat pemerintah yang mengaku mencintai profesi atau jabatannya harus mampu membuktikan klaimnya itu dengan mempertanggungjawabkan jabatannya. Ia harus mencintai jabatannya dari hati, dengan pertimbangan nurani mengemban jabatan sesuai aturan main yang berlaku; menjalankan tugas dan kewajiban yang berlaku. Dengan demikian, kecenderungan untuk melakukan praktik KKN semakin kecil karena telah terikat ‘ikrar’ untuk mencintai jabatannya sepenuh hati.

Pun begitu, mencintai profesi atau jabatan bagi seorang pejabat pemerintah juga berarti mencintai apa-apa saja yang menjadi objek yang harus diadvokasi dan diperjuangkan dalam lingkup tugas dan kewajibannya. Dalam hal ini tentu saja masyarakat luas. Jadi, seorang pejabat pemerintah harus mencintai masyarakat, rakyatnya seperti ia mencintai jabatannya, seperti ia mencintai dirinya sendiri. Itulah makna cinta sejati yang sesungguhnya.

Maka, pesan cinta ini sudah selayaknya dihadiahkan untuk para kandidat, baik calon bupati (Cabup) mau pun calon Gubernur (Cagub) Aceh yang akan bersaing mengekspresikan cintanya kepada rakyat dalam bursa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Aceh nanti. Semoga mereka benar-benar menunjukkan cinta yang tulus dan ikhlas dari nurani yang sebenarnya.

Hidup tak akan paripurna tanpa hadirnya cinta. Betapa indahnya dunia tatkala cinta menyapa. Ketika setiap umat manusia mampu mengikrarkan dan juga mempertanggungjawabkan cinta di hadapan wujud yang dicintainya. Mari bercinta! []

Penulis adalah mahasiswa prodi Psikologi Universitas Syiah Kuala.

0 komentar:

Posting Komentar

.