
Seperti udara, cinta
tak bisa dilepaskan dari kehidupan manusia dan kemanusiaannya. Menyertai
kenyataan-kenyataan yang terjadi dalam keseharian manusia, baik manis mau pun
pahit. Itulah cinta. Dengan segala kompleksitas yang terkandung di dalamnya, ia
menampilkan manusia seutuhnya dalam haru-biru dan sedu-sedan perasaan yang
bercampur-aduk di hamparan dunia.
Namun, realitas yang
tampak sekarang dalam dinamika kehidupan manusia mulai terasa ‘ganjil’ dan
bertolakbelakang dengan semangat yang diusung cinta sesungguhnya. Cinta telah
mengalami pergeseran makna. Ia kian menjauh dari hiruk-pikuk manusia. Sementara
manusia hanya terlena dan mengira masih ada cinta di sekelilingnya, padahal tinggal
bayang semu fatamorgana semata. Ada apa sebenarnya?
Degradasi
Cinta
Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) Daring mendefinisikan cinta merupakan “1. suka sekali; sayang
benar: 2. kasih sekali; terpikat (antara laki-laki dan perempuan): 3. ingin
sekali; berharap sekali; rindu: 4. susah hati (khawatir); risau.” (http://bahasa.kemdiknas.go.id).
Sementara Oxford Dictionaries
mengartikannya sebagai “1. a strong
feeling of affection: 2. a great interest and pleasure in something: 3. a
person or thing that one loves: 4. (in tennis, squash, and some other sports) a
score of zero; nil.” (http://oxforddictionaries.com/).
Memang hal ini tak bisa
dijadikan landasan umum karena cinta itu sendiri begitu kompleks adanya, namun
paling tidak dari pengertian di atas bisa disimpulkan bahwa cinta merupakan
perasaan kasih sayang yang utuh, baik untuk manusia mau pun obyek lainnya.
Sejatinya, cinta adalah bahasa universal yang dipahami oleh semua manusia di
dunia.
Di sinilah letak
kekeliruan pemahaman dan persepsi tentang cinta yang ada selama ini, terutama
oleh kaum muda; generasi jejaring sosial dunia maya yang identik dengan kegalauannya.
Cinta hanya dipandang sebagai relasi keintiman antara seorang pria dan wanita.
Sehingga dengan pemahaman yang salah kaprah seperti ini menjadikan cinta hanya
sebagai barang yang eksklusif dan dikonsumsi oleh orang-orang tertentu saja.
Padahal aspek dan dimensi cinta itu sangatlah luas.
Ironisnya, cinta juga
telah direduksi maknanya menjadi lebih sempit. Seperti pemaknaan kata
‘bercinta’. Walau pun tak tertulis, lazimnya kata ini mengacu pada aktivitas
seksual antara pria dan wanita. Padahal dalam KBBI Daring sendiri, kata
‘bercinta’ ini bermakna, “menaruh (rasa) cinta”. Lebih luas lagi, makna dari
kata ini adalah bagaimana seseorang mengekspresikan perasaan cintanya kepada
wujud yang dicintainya, sementara pemuasan seksual yang dimaksud di atas
hanyalah salah satu dari sekian banyak ekspresi cinta.
Akibat pemaknaan yang
tidak tepat sasaran tersebut, maka ketimpangan-ketimpangan lainnya pun kian
menggurita. Maka tak heran jika kemudian banyak pejabat pemerintah mulai dari
level keuchik (kepala desa), camat,
bupati, gubernur dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) serta perangkat
pemerintah lainnya terekspos media massa akibat kasus Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme (KKN) yang menjerat mereka.
Salah satu faktor yang
menyebabkan hal ini bisa terjadi adalah karena ketiadaan perasaan cinta yang
‘membumi’ dalam diri mereka. Dalam arti sebenarnya, mereka hampir sepenuhnya
tidak mencintai profesi atau pun jabatan yang diembannya saat ini. Mereka hanya
melihat profesi atau jabatan yang diembannya itu sebagai instrumen untuk
memperkaya diri, keluarga dan golongannya serta menyalahgunakan wewenang dan
kekuasaannya. Hal ini tak semata-mata karena kecintaannya pada uang dan
kekuasaan yang, pada hakikatnya berlandaskan cinta semu (pseudo-love).
Hal-hal seperti ini
(pemahaman cinta yang salah kaprah), tanpa disadari secara perlahan-lahan akan
mengikis habis kesakralan dan kekudusan nilai-nilai cinta. Sehingga cinta bukan
lagi barang yang suci dan keramat, tetapi telah kotor dan nista oleh pemahaman
yang setengah-setengah. Disadari atau tidak, mereka telah menurunkan derajat
cinta sedikit demi sedikit hingga ke titik kulminasi terendah yang begitu hina.
Mencintai
dengan Nurani
Hati adalah lentera
jiwa. Begitu orang bijak membahasakannya. Cinta tanpa hati itu mustahil, dan
hati tanpa cinta laksana jasad kehilangan jiwa. Karena itu, dalam mencinta,
hati haruslah dijadikan sebagai barometer utama dalam setiap penilaiannya
melihat realitas dunia. Dengan begitu, takkan ada lagi kedangkalan dalam
memaknai cinta karena sudah dinilai atas pertimbangan hati sebagai kontrol diri
manusia.
Tak ada lagi yang akan
mengira bahwa cinta hanya sekadar cerita eksklusivisme kalangan muda-mudi
modern atau aktivitas pemuasan nafsu dua jenis kelamin yang suka sama suka
semata. Karena dengan adanya filter hati, semua realitas mampu dipilah-pilah
dan dipertimbangkan dengan jernih.
Cinta tak lagi sebatas perhatian
yang diberikan kepada objek yang dicinta ketika sang pecinta merasakan sensasi
kebahagiaan pada dirinya semata semata tanpa realisasi tanggungjawab terhadap
cintanya. Berani mencinta, maka berani pula menghadapi berbagai risiko dan
konsekuensi yang menyertainya.
Cinta tanpa
tanggungjawab itu hipokrit. Karena itu, hati sebagai filter yang
mempertimbangkan berbagai sikap dan tindakan yang akan dilakukan terhadap apa
yang dicinta diharapkan mampu mengemban tanggungjawab cinta dengan
sebenar-benarnya.
Pejabat pemerintah yang
mengaku mencintai profesi atau jabatannya harus mampu membuktikan klaimnya itu
dengan mempertanggungjawabkan jabatannya. Ia harus mencintai jabatannya dari
hati, dengan pertimbangan nurani mengemban jabatan sesuai aturan main yang
berlaku; menjalankan tugas dan kewajiban yang berlaku. Dengan demikian,
kecenderungan untuk melakukan praktik KKN semakin kecil karena telah terikat
‘ikrar’ untuk mencintai jabatannya sepenuh hati.
Pun begitu, mencintai
profesi atau jabatan bagi seorang pejabat pemerintah juga berarti mencintai
apa-apa saja yang menjadi objek yang harus diadvokasi dan diperjuangkan dalam
lingkup tugas dan kewajibannya. Dalam hal ini tentu saja masyarakat luas. Jadi,
seorang pejabat pemerintah harus mencintai masyarakat, rakyatnya seperti ia
mencintai jabatannya, seperti ia mencintai dirinya sendiri. Itulah makna cinta
sejati yang sesungguhnya.
Maka, pesan cinta ini
sudah selayaknya dihadiahkan untuk para kandidat, baik calon bupati (Cabup) mau
pun calon Gubernur (Cagub) Aceh yang akan bersaing mengekspresikan cintanya
kepada rakyat dalam bursa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Aceh nanti. Semoga
mereka benar-benar menunjukkan cinta yang tulus dan ikhlas dari nurani yang
sebenarnya.
Hidup tak akan
paripurna tanpa hadirnya cinta. Betapa indahnya dunia tatkala cinta menyapa.
Ketika setiap umat manusia mampu mengikrarkan dan juga mempertanggungjawabkan
cinta di hadapan wujud yang dicintainya. Mari bercinta! []
Penulis
adalah mahasiswa prodi Psikologi Universitas Syiah Kuala.
0 komentar:
Posting Komentar