Pun begitu dalam
memahami konteks antisipasi terhadap bencana dalam suatu lingkungan masyarakat.
Beda tempat, tentu beda pula perspektif yang digunakan, atau dalam istilah yang
sering dikenal sebagai “local wisdom”
alias kearifan lokal.
Misalnya seperti
yang terjadi di Simeulue. Bencana tsunami atau dalam khazanah lokal Simeulue
dikenal dengan sebutan smong
merupakan contoh nyata pengejawantahan nyata bencana dalam perspektif kearifan
lokal yang dianut di daerah tersebut.
Sebagaimana yang
pernah ditulis Bustami Abubakar, Peristiwa smong
tahun 1907 diceritakan secara turun-temurun antargenarasi dalam masyarakat
Simeulue. Bukan hanya cerita tentang kedahsyatan smong dan akibat yang ditimbulkannya, tetapi juga mengenai
gejala-gejala alam yang mendahuluinya. Sehingga generasi yang hidup pada masa
sekarang memiliki pengetahuan yang cukup mengenai gejala-gejala alam yang
berpotensi mendatangkan smong. Kisah smong diceritakan oleh nenek atau ibu
kepada cucu dan anak-anak pada waktu senggang atau menjelang tidur. Cerita
lisan yang dikisahkan secara turun-temurun itu disebut sebagai nafi-nafi. (Bustami Abubakar, “Nafi-Nafi; Kearifan Lokal Masyarakat
Simeulue” Serambi Indonesia, 27 Desember 2009).
Melalui nafi-nafi, pengetahuan tentang
tanda-tanda smong tetap lestari dan
tersebar luas di Simeulue dan nyaris meliputi semua tingkatan usia. Sehingga
mereka mempunyai pengetahuan yang cukup tentang antisipasi bencana tsunami
berkat apa yang disampaikan secara turun-temurun dari generasi-generasi mereka
terdahulu.
Pertanyaan yang
timbul selanjutnya adalah, sejauh mana kita memahami kearifan lokal daerah kita
sendiri dalam menghadapi segala bentuk kemungkinan-kemungkinan bencana yang
terjadi di masa yang akan datang?
Kearifan Lokal dan Siaga Bencana
Menurut Nurma
Ali Ridwan (2007) dalam jurnalnya “Landasan Keilmuan Kearifan Lokal”, kearifan lokal
atau sering disebut local wisdom
dapat dipahami sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal budinya (kognisi)
untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang
terjadi dalam ruang tertentu. Pengertian di atas, disusun secara etimologi, di
mana wisdom dipahami sebagai
kemampuan seseorang dalam menggunakan akal pikirannya dalam bertindak atau
bersikap sebagai hasil penilaian terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang
terjadi. Sebagai sebuah istilah wisdom
sering diartikan sebagai “kearifan/kebijaksanaan”.
Dalam konteks
Aceh yang multi-etnis, sebagai daerah bernaung berbagai jenis suku seperti Aceh,
Gayo, Alas, Tamiang, Kluet, Aneuk Jamee, Singkil, Pasee, Simeulu, Tionghoa,
Karo, Haloban dan lain sebagainya tentu memiliki banyak sekali kearifan lokal
yang terkandung di dalamnya.
Seperti
penggunaan Hadih Maja atau Nariet Maja misalnya, yaitu rangkaian
kalimat-kalimat singkat, tetapi mengandung arti yang padat dengan
tamsilan-tamsilan yang mendalam dan filosofis dalam bahasa Aceh. Contohnya yaitu
Hadih Maja yang berbunyi, “meunyoe na pakat, lampoh jeurat tapeugala (kalau
sudah sepakat, kebun dan kuburan bisa digadaikan – terjemahan bebas)”
Hadih Maja ini mengajarkan
nilai-nilai musyawarah dan demokratis dalam menyelesaikan suatu perkara dalam
masyarakat Aceh. Artinya kalau semua pihak sudah sepakat, kebun atau kuburan
sekali pun bisa digadaikan kepada orang lain, walau dalam pandangan masyarakat
Aceh sendiri, kuburan itu merupakan hal yang sakral dan haram hukumnya
diperjualbelikan.
Begitu juga
dengan suku lainnya yang ada di Aceh. Setiap suku tersebut tentu mempunyai
landasan ataupun pola pandang tersendiri dalam menyikapi suatu hal. Dengan
adanya pedoman yang merujuk kepada kearifan atau kebijaksanaan masyarakat
pribumi itu, setidaknya bisa didayagunakan sebagai antisipasi awal dalam
menghadapi kemungkinan bencana. Hal tersebut bisa diejawantahkan dengan
mengintegrasikan antara nilai-nilai kearifan lokal yang dihasilkan dari
interpretasi dan kontemplasi terhadap lingkungan sekitar itu dengan kesadaran
kolektif masyarakat akan bahaya bencana di masa yang akan datang.
Seperti nilai nafi-nafi dalam kearifan suku Simeulue
di atas yang mampu mengurangi dampak bencana smong yang menimpa mereka, maka kearifan lokal masing-masing suku
yang ada di Aceh juga memiliki sistem peringatan dini mitigasi dan siaga
bencana tersendiri.
Yang
membedakannya adalah, tidak semua kearifan lokal dalam masing-masing suku
tersebut dieksplorasi dan dipelajari sebagai kajian analisis mau pun landasan
keilmuan siaga bencana oleh generasi hari ini. Semakin lama, nilai-nilai
tersebut kian terkikis; tergerus arus zaman.
Sehingga menjadi
penting untuk menanyakan mengapa kearifan lokal tersebut semakin memudar dan
generasi hari ini seolah enggan serta kehilangan gairah untuk mengetahui,
memahami dan mempraktikkannya dalam keseharian maupun dalam menghadapi
kemungkinan bencana? Ini menjadi pertanyaan kompleks yang membutuhkan
campurtangan semua pihak untuk menjawabnya.
Revitalisasi Fungsi Kearifan Lokal
Bangsa yang
besar adalah bangsa yang tak melupakan akar historisnya; peradaban dan
nilai-nilai budaya serta kearifan lokal asalnya. Hal ini penting demi menjaga
identitas kolektif, sehingga tidak diintervensi budaya luar sehingga mewabah
dalam wujud hegemoni akulturasi dengan budaya luar tersebut.
Belajar dari
berbagai musibah yang terus melanda negeri ini seharusnya membuat kita lebih
peka dan serius menanggapinya. Salah satu bentuknya adalah dengan
merevitalisasi atau menggalakkan kembali sosialisasi siaga bencana dengan
pendekatan kearifan lokal.
Dengan
pendekatan ini, setidaknya ada dua hal positif yang bisa didapatkan. Pertama,
menjaga nilai-nilai dasar budaya itu sendiri dalam wujud kearifan lokal dari
dampak akulturasi budaya luar. Dan kedua, mengantisipasi setiap kemungkinan
bencana yang diprediksi akan terulang lagi di masa depan.
Hal tersebut
bisa diejawantahkan dengan banyak hal. Misalnya dari kalangan para akademisi
bisa menggelar pertemuan dengan para tetua kampung suatu daerah untuk
mendiskusikan mengenai kearifan lokal yang berbasis mitigasi dan kesiapsiagaan
bencana. Peran para akademisi di sini ialah mengintegrasikan kearifan-keraifan
lokal dalam konteks masyarakat pribumi itu menjadi kajian keilmuan yang
bersifat ilmiah dan bisa dipertanggungjawabkan secara intelektual. Kemudian
hasilnya dipublikasikan kepada masyarakat setempat tanpa menghilangkan
unsur-unsur lokal yang menyertainya.
Metode seperti
ini sebelumnya juga sudah pernah dilakukan oleh Tsunami and Disaster Mitigation Research Center (TDMRC) Unsyiah
yang hendak menggali lebih dalam informasi terkait kearifan lokal dalam
pengurangan risiko bencana di seluruh kabupaten/kota di Aceh.
Menurut Hendra,
yang juga Content Manager Divisi Knowlewdge Management TDMRC Unsyiah,
penerapan kearifan lokal oleh masyarakat ini dalam mengurangi risiko,
menghadapi dan menyelamatkan diri dari bencana alam telah memberikan banyak
pelajaran berharga bagi para praktisi dan pengambil kebijakan akan pentingnya
kearifan lokal bagi pengurangan risiko bencana. (http://www.tdmrc.org/id/597.jsp)
Begitu juga
dengan pemerintah, baik Pemerintah Daerah maupun Pemerintah Pusat. Mereka harus
lebih pro-aktif mendukung upaya semua elemen dalam upaya menjadikan kearifan
lokal sebagai pedoman utama dalam mengantisipasi segala bentuk bencana di masa
yang akan datang.
Pun begitu
dengan usaha pemerintah dalam menginformasikan serta menyosialisasikan hasil
dari integrasi antara kearifan lokal dan kajian ilmiah itu kepada masyarakat
luas. Seharusnya upaya itu digalakkan
lebih gencar lagi. Namun bukan berarti hal ini lantas dapat disimpulkan sebagai
upaya untuk mengangkangi nasionalisme bahasa Indonesia, di mana pemublikasian kampanye
siaga bencana melalui poster, spanduk, baliho dan media publikasi lain
sebelumnya menggunakan bahasa Indonesia, namun sekarang harus “diimbangi”
dengan bahasa daerah. Tetapi semata-mata lebih kepada wujud apresiasi kekayaan
dan keragaman lintas etnik yang ada di Indonesia umumnya dan Aceh khususnya.
Hal ini persis
seperti yang pernah disampaikan Indra Jaya Piliang terkait dengan polemik
antara Republik Indonesia (RI) dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang selalu
dilihat dari kacamata politik atau ekonomi, bukan melalui pendekatan
kebudayaan.
Sejauh ini,
studi tentang nasionalisme dan separatisme selalu didekati secara politik atau
ekonomi. Sekalipun terdapat pendekatan kebudayaan, tetap saja pada ujungnya
muncul rekomendasi-rekomendasi politik. Rekomendasi itu berupa jabaran-jabaran
tentang bentuk pemerintahan, misalnya antara kesatuan (unitarian) atau federal. Padahal, kalau dilihat dari kemajuan ilmu
pengetahuan dewasa ini, bahkan juga semangat anti-ilmu pengetahuan, seperti
pertarungan antara modernisme dan pascamodernisme, maka terbuka lebar upaya
untuk menjadikan pendekatan kebudayaan yang berujung pada komunikasi sebagai
satu pilihan. (Indra, 2010: 160)
Pendekatan yang
dilakukan dengan berlandaskan pada nilai-nilai kebudayaan suatu masyarakat ini
akan mendapatkan respons yang positif dari masyarakat setempat. Misalnya
menjalin komunikasi dengan menggunakan bahasa ibu (mother tongue) mereka mempunyai kecenderungan penerimaan yang lebih
baik dibandingkan dengan menggunakan bahasa nasional, dalam ha ini bahasa
Indonesia.
Hal itu terjadi
karena masyarakat tersebut merasakan adanya kedekatan secara emosional dengan
orang yang berkomunikasi menggunakan bahasa daerah mereka. Dengan begitu, pesan
yang hendak disampaikan oleh komunikator atau si penyampai pesan akan ditanggapi
dengan baik oleh komunikan; si penerima pesan. Sehingga komunikasi yang
persuasif pun terjalin antar mereka.
Dengan adanya
kebijakan untuk mengakui dan memahami budaya dan kearifan lokal tersebut oleh
pemerintah dan mendukung penuh usaha untuk menyosialisasikan hal tersebut ke
khalayak ramai dalam rangka kampanye siaga bencana, terutama untuk kalangan
pelajar dan mahasiswa sebagai simbol masa depan peradaban itu merupakan
indikasi awal bahwa pemerintah masih toleran dengan perbedaan dan keberagaman.
Selain itu, hal ini juga langkah awal pemerintah untuk lebih serius menanggapi
isu-isu kebencanaan.
Begitu juga
dengan masyarakat sendiri. Dengan adanya sosialisasi tersebut, diharapkan
masyarakat memiliki kesadaran penuh untuk lebih waspada dan memiliki
pengetahuan yang cukup tentang kebencanaan yang berbasis kearifan lokal.
Dengan begitu,
pertanyaan-pertanyaan kontemplatif seperti yang diajukan di awal tulisan tak
membuat kita bingung dan tak tahu-menahu perihal tersebut karena telah dibekali
dengan pengetahuan-pengetahuan dasar terkait hal itu. Jadi, ketika nanti
bencana terulang kembali, kita tak hanya bisa “prihatin” atau bahkan “pasrah”
dengan realitas yang ada. Setidaknya kita telah berusaha mengantisipasinya dengan
cara-cara dan pendekatan-pendekatan seperti yang telah dipraktikkan masyarakat
pribumi dari zaman dahulu kala secara turun-temurun.
Sebagaimana
filosofi dalam dunia kesehatan, “lebih baik mencegah daripada mengobati”,
tentunya kita masih punya waktu untuk menyusun persiapan yang matang dalam
menghadapi berbagai kemungkinan, bahkan yang terburuk sekalipun. Sehingga kita
tak lantas terjebak dalam situasi bencana yang pelik karena telat
mengantisipasinya. Sehingga tak terjadi pemikiran salah kaprah seperti yang
disindir dalam salah satu Hadih Maja:
“meudoa watee saket, meuratep watee
geumpa, seumayang wajeb uroe Jumeuat, seumayang sunat uroe raya. (berdoa
hanya sewaktu sakit, berzikir hanya sewaktu gempa, shalat wajib hanya setiap
hari Jumat, Shalat sunat hanya saat hari raya – terjemahan bebas)”
Atau yang
disinyalir dalam Hadih Maja satire
lainnya, ““Yoh masa
reubong han tatem ngieng-ngieng, oh kajeut keu trieng han ek taputa (Ketika
masih berupa rebung tak mau dilihat-lihat, sewaktu sudah menjadi bambu tak
sanggup lagi dipelintir/diputar).” Sudah siapkah kita menghadapi semua
kemungkinan-kemungkinan itu? Wallahu’alam.
[]
(Tulisan ini telah diikutkan dalam Lomba Menulis Essai bertemakan "Siaga Sebelum Petaka" yang diselenggarakan oleh Forum Jurnalis Aceh Peduli Bencana (FJAPB), 21 November - 20 Desember 2011)
(Tulisan ini telah diikutkan dalam Lomba Menulis Essai bertemakan "Siaga Sebelum Petaka" yang diselenggarakan oleh Forum Jurnalis Aceh Peduli Bencana (FJAPB), 21 November - 20 Desember 2011)
izin ngintip samkhaf
BalasHapusAneuk Muda Aceh
Yups, silakan :)
BalasHapus