27 Desember 2011

Memahami Bencana; Memahami Kearifan Lokal

2 comments
Adakah hari ini kita bertanya atau berpikir kenapa rumoh Aceh itu berbentuk panggung? Atau kenapa pintu rumah adat Batak dibuat kecil? Tentunya semua itu ada alasannya. Sebagaimana Asbabun Nuzul dalam penafsiran ayat Alquran, segala sesuatu yang berhubungan seperti hal di atas juga memiliki latar belakang historisnya tersendiri.

Pun begitu dalam memahami konteks antisipasi terhadap bencana dalam suatu lingkungan masyarakat. Beda tempat, tentu beda pula perspektif yang digunakan, atau dalam istilah yang sering dikenal sebagai “local wisdom” alias kearifan lokal.

Misalnya seperti yang terjadi di Simeulue. Bencana tsunami atau dalam khazanah lokal Simeulue dikenal dengan sebutan smong merupakan contoh nyata pengejawantahan nyata bencana dalam perspektif kearifan lokal yang dianut di daerah tersebut.

Sebagaimana yang pernah ditulis Bustami Abubakar, Peristiwa smong tahun 1907 diceritakan secara turun-temurun antargenarasi dalam masyarakat Simeulue. Bukan hanya cerita tentang kedahsyatan smong dan akibat yang ditimbulkannya, tetapi juga mengenai gejala-gejala alam yang mendahuluinya. Sehingga generasi yang hidup pada masa sekarang memiliki pengetahuan yang cukup mengenai gejala-gejala alam yang berpotensi mendatangkan smong. Kisah smong diceritakan oleh nenek atau ibu kepada cucu dan anak-anak pada waktu senggang atau menjelang tidur. Cerita lisan yang dikisahkan secara turun-temurun itu disebut sebagai nafi-nafi. (Bustami Abubakar, “Nafi-Nafi; Kearifan Lokal Masyarakat Simeulue” Serambi Indonesia, 27 Desember 2009).

Melalui nafi-nafi, pengetahuan tentang tanda-tanda smong tetap lestari dan tersebar luas di Simeulue dan nyaris meliputi semua tingkatan usia. Sehingga mereka mempunyai pengetahuan yang cukup tentang antisipasi bencana tsunami berkat apa yang disampaikan secara turun-temurun dari generasi-generasi mereka terdahulu.

Pertanyaan yang timbul selanjutnya adalah, sejauh mana kita memahami kearifan lokal daerah kita sendiri dalam menghadapi segala bentuk kemungkinan-kemungkinan bencana yang terjadi di masa yang akan datang?

Kearifan Lokal dan Siaga Bencana
Menurut Nurma Ali Ridwan (2007) dalam jurnalnya “Landasan Keilmuan Kearifan Lokal”, kearifan lokal atau sering disebut local wisdom dapat dipahami sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal budinya (kognisi) untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu. Pengertian di atas, disusun secara etimologi, di mana wisdom dipahami sebagai kemampuan seseorang dalam menggunakan akal pikirannya dalam bertindak atau bersikap sebagai hasil penilaian terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi. Sebagai sebuah istilah wisdom sering diartikan sebagai “kearifan/kebijaksanaan”.

Dalam konteks Aceh yang multi-etnis, sebagai daerah bernaung berbagai jenis suku seperti Aceh, Gayo, Alas, Tamiang, Kluet, Aneuk Jamee, Singkil, Pasee, Simeulu, Tionghoa, Karo, Haloban dan lain sebagainya tentu memiliki banyak sekali kearifan lokal yang terkandung di dalamnya.

Seperti penggunaan Hadih Maja atau Nariet Maja misalnya, yaitu rangkaian kalimat-kalimat singkat, tetapi mengandung arti yang padat dengan tamsilan-tamsilan yang mendalam dan filosofis dalam bahasa Aceh. Contohnya yaitu Hadih Maja yang berbunyi, “meunyoe na pakat, lampoh jeurat tapeugala (kalau sudah sepakat, kebun dan kuburan bisa digadaikan – terjemahan bebas)”

Hadih Maja ini mengajarkan nilai-nilai musyawarah dan demokratis dalam menyelesaikan suatu perkara dalam masyarakat Aceh. Artinya kalau semua pihak sudah sepakat, kebun atau kuburan sekali pun bisa digadaikan kepada orang lain, walau dalam pandangan masyarakat Aceh sendiri, kuburan itu merupakan hal yang sakral dan haram hukumnya diperjualbelikan.

Begitu juga dengan suku lainnya yang ada di Aceh. Setiap suku tersebut tentu mempunyai landasan ataupun pola pandang tersendiri dalam menyikapi suatu hal. Dengan adanya pedoman yang merujuk kepada kearifan atau kebijaksanaan masyarakat pribumi itu, setidaknya bisa didayagunakan sebagai antisipasi awal dalam menghadapi kemungkinan bencana. Hal tersebut bisa diejawantahkan dengan mengintegrasikan antara nilai-nilai kearifan lokal yang dihasilkan dari interpretasi dan kontemplasi terhadap lingkungan sekitar itu dengan kesadaran kolektif masyarakat akan bahaya bencana di masa yang akan datang.

Seperti nilai nafi-nafi dalam kearifan suku Simeulue di atas yang mampu mengurangi dampak bencana smong yang menimpa mereka, maka kearifan lokal masing-masing suku yang ada di Aceh juga memiliki sistem peringatan dini mitigasi dan siaga bencana tersendiri.

Yang membedakannya adalah, tidak semua kearifan lokal dalam masing-masing suku tersebut dieksplorasi dan dipelajari sebagai kajian analisis mau pun landasan keilmuan siaga bencana oleh generasi hari ini. Semakin lama, nilai-nilai tersebut kian terkikis; tergerus arus zaman.

Sehingga menjadi penting untuk menanyakan mengapa kearifan lokal tersebut semakin memudar dan generasi hari ini seolah enggan serta kehilangan gairah untuk mengetahui, memahami dan mempraktikkannya dalam keseharian maupun dalam menghadapi kemungkinan bencana? Ini menjadi pertanyaan kompleks yang membutuhkan campurtangan semua pihak untuk menjawabnya.

Revitalisasi Fungsi Kearifan Lokal
Bangsa yang besar adalah bangsa yang tak melupakan akar historisnya; peradaban dan nilai-nilai budaya serta kearifan lokal asalnya. Hal ini penting demi menjaga identitas kolektif, sehingga tidak diintervensi budaya luar sehingga mewabah dalam wujud hegemoni akulturasi dengan budaya luar tersebut.

Belajar dari berbagai musibah yang terus melanda negeri ini seharusnya membuat kita lebih peka dan serius menanggapinya. Salah satu bentuknya adalah dengan merevitalisasi atau menggalakkan kembali sosialisasi siaga bencana dengan pendekatan kearifan lokal.

Dengan pendekatan ini, setidaknya ada dua hal positif yang bisa didapatkan. Pertama, menjaga nilai-nilai dasar budaya itu sendiri dalam wujud kearifan lokal dari dampak akulturasi budaya luar. Dan kedua, mengantisipasi setiap kemungkinan bencana yang diprediksi akan terulang lagi di masa depan.

Hal tersebut bisa diejawantahkan dengan banyak hal. Misalnya dari kalangan para akademisi bisa menggelar pertemuan dengan para tetua kampung suatu daerah untuk mendiskusikan mengenai kearifan lokal yang berbasis mitigasi dan kesiapsiagaan bencana. Peran para akademisi di sini ialah mengintegrasikan kearifan-keraifan lokal dalam konteks masyarakat pribumi itu menjadi kajian keilmuan yang bersifat ilmiah dan bisa dipertanggungjawabkan secara intelektual. Kemudian hasilnya dipublikasikan kepada masyarakat setempat tanpa menghilangkan unsur-unsur lokal yang menyertainya.

Metode seperti ini sebelumnya juga sudah pernah dilakukan oleh Tsunami and Disaster Mitigation Research Center (TDMRC) Unsyiah yang hendak menggali lebih dalam informasi terkait kearifan lokal dalam pengurangan risiko bencana di seluruh kabupaten/kota di Aceh.

Menurut Hendra, yang juga Content Manager Divisi Knowlewdge Management TDMRC Unsyiah, penerapan kearifan lokal oleh masyarakat ini dalam mengurangi risiko, menghadapi dan menyelamatkan diri dari bencana alam telah memberikan banyak pelajaran berharga bagi para praktisi dan pengambil kebijakan akan pentingnya kearifan lokal bagi pengurangan risiko bencana. (http://www.tdmrc.org/id/597.jsp)

Begitu juga dengan pemerintah, baik Pemerintah Daerah maupun Pemerintah Pusat. Mereka harus lebih pro-aktif mendukung upaya semua elemen dalam upaya menjadikan kearifan lokal sebagai pedoman utama dalam mengantisipasi segala bentuk bencana di masa yang akan datang.

Pun begitu dengan usaha pemerintah dalam menginformasikan serta menyosialisasikan hasil dari integrasi antara kearifan lokal dan kajian ilmiah itu kepada masyarakat luas. Seharusnya  upaya itu digalakkan lebih gencar lagi. Namun bukan berarti hal ini lantas dapat disimpulkan sebagai upaya untuk mengangkangi nasionalisme bahasa Indonesia, di mana pemublikasian kampanye siaga bencana melalui poster, spanduk, baliho dan media publikasi lain sebelumnya menggunakan bahasa Indonesia, namun sekarang harus “diimbangi” dengan bahasa daerah. Tetapi semata-mata lebih kepada wujud apresiasi kekayaan dan keragaman lintas etnik yang ada di Indonesia umumnya dan Aceh khususnya.

Hal ini persis seperti yang pernah disampaikan Indra Jaya Piliang terkait dengan polemik antara Republik Indonesia (RI) dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang selalu dilihat dari kacamata politik atau ekonomi, bukan melalui pendekatan kebudayaan.

Sejauh ini, studi tentang nasionalisme dan separatisme selalu didekati secara politik atau ekonomi. Sekalipun terdapat pendekatan kebudayaan, tetap saja pada ujungnya muncul rekomendasi-rekomendasi politik. Rekomendasi itu berupa jabaran-jabaran tentang bentuk pemerintahan, misalnya antara kesatuan (unitarian) atau federal. Padahal, kalau dilihat dari kemajuan ilmu pengetahuan dewasa ini, bahkan juga semangat anti-ilmu pengetahuan, seperti pertarungan antara modernisme dan pascamodernisme, maka terbuka lebar upaya untuk menjadikan pendekatan kebudayaan yang berujung pada komunikasi sebagai satu pilihan. (Indra, 2010: 160)

Pendekatan yang dilakukan dengan berlandaskan pada nilai-nilai kebudayaan suatu masyarakat ini akan mendapatkan respons yang positif dari masyarakat setempat. Misalnya menjalin komunikasi dengan menggunakan bahasa ibu (mother tongue) mereka mempunyai kecenderungan penerimaan yang lebih baik dibandingkan dengan menggunakan bahasa nasional, dalam ha ini bahasa Indonesia.

Hal itu terjadi karena masyarakat tersebut merasakan adanya kedekatan secara emosional dengan orang yang berkomunikasi menggunakan bahasa daerah mereka. Dengan begitu, pesan yang hendak disampaikan oleh komunikator atau si penyampai pesan akan ditanggapi dengan baik oleh komunikan; si penerima pesan. Sehingga komunikasi yang persuasif pun terjalin antar mereka.

Dengan adanya kebijakan untuk mengakui dan memahami budaya dan kearifan lokal tersebut oleh pemerintah dan mendukung penuh usaha untuk menyosialisasikan hal tersebut ke khalayak ramai dalam rangka kampanye siaga bencana, terutama untuk kalangan pelajar dan mahasiswa sebagai simbol masa depan peradaban itu merupakan indikasi awal bahwa pemerintah masih toleran dengan perbedaan dan keberagaman. Selain itu, hal ini juga langkah awal pemerintah untuk lebih serius menanggapi isu-isu kebencanaan.

Begitu juga dengan masyarakat sendiri. Dengan adanya sosialisasi tersebut, diharapkan masyarakat memiliki kesadaran penuh untuk lebih waspada dan memiliki pengetahuan yang cukup tentang kebencanaan yang berbasis kearifan lokal.

Dengan begitu, pertanyaan-pertanyaan kontemplatif seperti yang diajukan di awal tulisan tak membuat kita bingung dan tak tahu-menahu perihal tersebut karena telah dibekali dengan pengetahuan-pengetahuan dasar terkait hal itu. Jadi, ketika nanti bencana terulang kembali, kita tak hanya bisa “prihatin” atau bahkan “pasrah” dengan realitas yang ada. Setidaknya kita telah berusaha mengantisipasinya dengan cara-cara dan pendekatan-pendekatan seperti yang telah dipraktikkan masyarakat pribumi dari zaman dahulu kala secara turun-temurun.

Sebagaimana filosofi dalam dunia kesehatan, “lebih baik mencegah daripada mengobati”, tentunya kita masih punya waktu untuk menyusun persiapan yang matang dalam menghadapi berbagai kemungkinan, bahkan yang terburuk sekalipun. Sehingga kita tak lantas terjebak dalam situasi bencana yang pelik karena telat mengantisipasinya. Sehingga tak terjadi pemikiran salah kaprah seperti yang disindir dalam salah satu Hadih Maja: “meudoa watee saket, meuratep watee geumpa, seumayang wajeb uroe Jumeuat, seumayang sunat uroe raya. (berdoa hanya sewaktu sakit, berzikir hanya sewaktu gempa, shalat wajib hanya setiap hari Jumat, Shalat sunat hanya saat hari raya – terjemahan bebas)”

Atau yang disinyalir dalam Hadih Maja satire lainnya, “Yoh masa reubong han tatem ngieng-ngieng, oh kajeut keu trieng han ek taputa (Ketika masih berupa rebung tak mau dilihat-lihat, sewaktu sudah menjadi bambu tak sanggup lagi dipelintir/diputar).” Sudah siapkah kita menghadapi semua kemungkinan-kemungkinan itu? Wallahu’alam. []

(Tulisan ini telah diikutkan dalam Lomba Menulis Essai bertemakan "Siaga Sebelum Petaka" yang diselenggarakan oleh Forum Jurnalis Aceh Peduli Bencana (FJAPB), 21 November - 20 Desember 2011)

2 komentar:

.