Manusia merupakan makhluk sosial yang butuh berinteraksi
dengan orang lain dalam kesehariannya. Interaksi sosial ini adalah hal niscaya
bagi semua. Maka dari sebab itulah terjalin hubungan yang lebih spesifik antar
manusia. Dan idealnya, hubungan atau relasi antar sesama manusia itu adalah
simbiosis-mutualisme, yaitu hubungan saling menguntungkan antar kedua pihak.
Artinya tak ada pihak yang dirugikan dalam lingkup kerjasama relasi tersebut.
Di zaman dulu kita tentu sering mendengar istilah barter
barang. Misalnya antara seorang nelayan yang menawarkan ikan hasil tangkapannya
kepada petani untuk ditukarkan (dibarter) dengan sebambu beras. Interaksi yang
dilandasi motif ekonomi tersebut adalah contoh nyata hubungan
simbiosis-mutualisme dalam kehidupan manusia. Bahkan seorang pengusaha kaya
raya sekali pun masih tetap membutuhkan jasa seorang buruh pengangkut barang
dalam menjalankan usahanya. Karena sejatinya prinsip hubungan ini adalah
menempatkan manusia, apapun statusnya, pada posisi dan derajat yang sama tanpa
beda (egaliter).
Pun begitu dengan para calon pemimpin suatu negeri. Dalam
konteks Aceh, tanpa masyarakat ataupun massa yang memilih gubernur dalam
Pilkada Aceh 2012 mendatang, maka harapan untuk menang dalam pemilihan itu juga
mustahil. Artinya seorang calon gubernur (cagub) dan calon wakil gubernur
(cawagub) yang diasumsikan telah memiliki kapasitas mental yang memadai serta
finansial yang mapan sekali pun tetap membutuhkan “uluran tangan” masyarakat.
Dan masyarakat, tanpa paksaan serta dengan ikhlas dan hati terbuka akan memilih
cagub dan cawagub tersebut jika cagub dan cawagub itu tidak menyia-nyiakan
kepercayaan atau amanah yang diberikan kepadanya dalam jabatan yang diemban
sebelumnya.
Amanah dan Representasi
Amanah itu serupa Sumber Daya Alam (SDA). Ada yang bisa
diperbaharui dan ada yang tidak. Jika pada masa sebelumnya amanah itu
benar-benar dijaga, laiknya SDA yang bisa diperbaharui, maka ia akan menuai
kembali kepercayaan pengamanah (yang memberi amanah). Sebaliknya, jika
sebelumnya amanah itu diingkari, maka nasibnya akan sama seperti SDA yang tak
bisa diperbaharui; suatu masa akan habis terkikis.
Salah satu inti dari menjaga amanah adalah kemampuan
untuk memilah antara hak dan kewajiban. Dalam konteks ini maksudnya menjaga
keselarasan dua variabel hasil kausal atau hubungan sebab-akibat antara hak dan
kewajiban. Hak adalah apa yang menjadi miliknya yang bisa dikonsumsi, sementara
kewajiban merupakan instruksi yang mesti dilaksanakan.
Karena telah menunaikan kewajiban, maka akan mendapatkan
hak. Amanah jabatan, misalnya. Jika selama sebulan mengemban segala tugas yang
dibebankan sebagai kewajiban, maka pada akhirnya akan diberikan reward (hadiah) berupa gaji sebagai hak
atas jerih payahnya.
Kewajiban yang diemban adalah akumulasi; penghimpunan
dari aspirasi masyarakat luas kepadanya. Ia representasi hasrat masyarakat yang
diejawantahkan dalam wujud kewajiban tugas. Jadi, apapun yang dilakukannya
dalam rangka melaksanakan tugas, hakikatnya adalah pengharapan dari masyarakat
yang telah mempercayakan jabatan itu kepada sang pengemban amanah. Ketika ia
dikhianati, maka masyarakat akan kecewa dan takkan percaya lagi padanya.
Harapan masyarakat ini akan menjelma representasi atau
perwakilan yang ditujukan kepada si pengemban amanah. Representasi kewajiban
dari pengamanah, jika mampu dijaga dengan baik, maka sang pengemban amanah
kelak akan memeroleh haknya; kembali mendapatkan kepercayaan dari pengamanah,
bahkan mungkin untuk tingkatan yang lebih besar.
Representasi pengamanah inilah yang menjadi lingkup yang
harus dipahami batasannya oleh pengemban amanah. Karena, dalam bentuk-bentuk
tertentu, hal tersebut sangat sukar untuk dibedakan, dan bahkan sering membuat
kita khilaf. Contoh kecilnya saja seperti pengelolaan akun jejaring sosial Facebook suatu lembaga. Akun itu,
wujudnya merupakan representasi dari semua anggota lembaga tersebut sebagai
pengamanah. Lalu mereka akan mempercayakan salah seorang anggotanya menjadi
pengemban amanah untuk mengelola akun yang dimaksud.
Jika si pengemban amanah tak paham atau lupa bahwasanya
akun yang diamanahkan kepadanya merupakan akun lembaga, maka besar kemungkinan ia
akan menggunakan akun lembaga itu sebagai media penyampai aspirasi individualnya
semata dan menafikan keinginan representatif seluruh anggota lembaga atas akun
tersebut.
Fatal akibatnya memang jika seseorang tak memahami
konteks amanah secara menyeluruh. Karena banyak lubang-lubang kecil yang
memiliki kecenderungan besar mengarah ke praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
(KKN) di sana. Sudah menjadi keniscayaan bagi siapa saja yang bernaung dalam
struktur kelembagaan, mulai dari level mikro hingga makro untuk lebih peka dan hati-hati
terhadap batasan-batasan hak dan kewajiban sebagai bagian dari kompleksitas
amanah yang patut diperjuangkan.
Maka, bagi mereka yang telah membulatkan tekad untuk
mendaftarkan diri sebagai kandidat gubernur dan wakil gubernur Aceh dalam bursa
Pilkada kali ini, Muhammad Nazar - Nova Iriansyah, Irwandi Yusuf - Muhyan
Yunan, Ahmad Tajuddin (Abi Lampisang) - Suriansyah, dan Darni Daud - Ahmad
Fauzi, sekarang tinggal menanti. Jika amanah yang dipercayakan di jabatan
sebelumnya mendapatkan rapor baik dari pengamanahnya, selamat! Mungkin Anda
yang akan terpilih menjadi gubernur dan wakil gubernur Aceh nanti. Begitu pula
sebaliknya.
Dan, PR selanjutnya bagi seluruh elemen masyarakat
sebagai pengamanah mereka adalah “memastikan” bahwa ke depan gubernur dan wakil
gubernur terpilih itu benar-benar menjaga amanah yang dipercayakan kepada
mereka. Masyarakat harus mengontrol dan mengingatkan jika gubernur dan wakil
gubernur tersebut “khilaf” menyalahgunakan amanahnya, baik dalam arti
sebenarnya maupun kiasan. Jika tidak, maka tanggung sendiri akibatnya kelak.
Sebagaimana yang disinyalir dalam sebuah Hadih Maja, “Yoh masa reubong han tatem ngieng-ngieng, oh kajeut keu
trieng han ek taputa (Ketika masih berupa
rebung tak mau dilihat-lihat, sewaktu sudah menjadi bambu tak sanggup lagi
dipelintir/diputar).” Wallahu’alam.
[]
Penulis adalah mahasiswa Prodi Psikologi Unsyiah; Peminat
masalah-masalah sosial dan budaya.
0 komentar:
Posting Komentar