23 Desember 2011

Hakikat Amanah

Leave a Comment
“If the people cannot trust their government to do the job for which its exists – to protect them and to promote their common welfare – all else is lost. (Jika rakyat tidak percaya lagi kepada pemerintahan mereka dalam melaksanakan tugas-tugasnya – untuk melindungi rakyat dan meningkatkan kesejahteraan mereka – maka semua hal lainnya menjadi tak berguna – terjemahan bebas).” Barack Obama.


Manusia merupakan makhluk sosial yang butuh berinteraksi dengan orang lain dalam kesehariannya. Interaksi sosial ini adalah hal niscaya bagi semua. Maka dari sebab itulah terjalin hubungan yang lebih spesifik antar manusia. Dan idealnya, hubungan atau relasi antar sesama manusia itu adalah simbiosis-mutualisme, yaitu hubungan saling menguntungkan antar kedua pihak. Artinya tak ada pihak yang dirugikan dalam lingkup kerjasama relasi tersebut.

Di zaman dulu kita tentu sering mendengar istilah barter barang. Misalnya antara seorang nelayan yang menawarkan ikan hasil tangkapannya kepada petani untuk ditukarkan (dibarter) dengan sebambu beras. Interaksi yang dilandasi motif ekonomi tersebut adalah contoh nyata hubungan simbiosis-mutualisme dalam kehidupan manusia. Bahkan seorang pengusaha kaya raya sekali pun masih tetap membutuhkan jasa seorang buruh pengangkut barang dalam menjalankan usahanya. Karena sejatinya prinsip hubungan ini adalah menempatkan manusia, apapun statusnya, pada posisi dan derajat yang sama tanpa beda (egaliter).

Pun begitu dengan para calon pemimpin suatu negeri. Dalam konteks Aceh, tanpa masyarakat ataupun massa yang memilih gubernur dalam Pilkada Aceh 2012 mendatang, maka harapan untuk menang dalam pemilihan itu juga mustahil. Artinya seorang calon gubernur (cagub) dan calon wakil gubernur (cawagub) yang diasumsikan telah memiliki kapasitas mental yang memadai serta finansial yang mapan sekali pun tetap membutuhkan “uluran tangan” masyarakat. Dan masyarakat, tanpa paksaan serta dengan ikhlas dan hati terbuka akan memilih cagub dan cawagub tersebut jika cagub dan cawagub itu tidak menyia-nyiakan kepercayaan atau amanah yang diberikan kepadanya dalam jabatan yang diemban sebelumnya.

Amanah dan Representasi
Amanah itu serupa Sumber Daya Alam (SDA). Ada yang bisa diperbaharui dan ada yang tidak. Jika pada masa sebelumnya amanah itu benar-benar dijaga, laiknya SDA yang bisa diperbaharui, maka ia akan menuai kembali kepercayaan pengamanah (yang memberi amanah). Sebaliknya, jika sebelumnya amanah itu diingkari, maka nasibnya akan sama seperti SDA yang tak bisa diperbaharui; suatu masa akan habis terkikis.

Salah satu inti dari menjaga amanah adalah kemampuan untuk memilah antara hak dan kewajiban. Dalam konteks ini maksudnya menjaga keselarasan dua variabel hasil kausal atau hubungan sebab-akibat antara hak dan kewajiban. Hak adalah apa yang menjadi miliknya yang bisa dikonsumsi, sementara kewajiban merupakan instruksi yang mesti dilaksanakan.

Karena telah menunaikan kewajiban, maka akan mendapatkan hak. Amanah jabatan, misalnya. Jika selama sebulan mengemban segala tugas yang dibebankan sebagai kewajiban, maka pada akhirnya akan diberikan reward (hadiah) berupa gaji sebagai hak atas jerih payahnya.

Kewajiban yang diemban adalah akumulasi; penghimpunan dari aspirasi masyarakat luas kepadanya. Ia representasi hasrat masyarakat yang diejawantahkan dalam wujud kewajiban tugas. Jadi, apapun yang dilakukannya dalam rangka melaksanakan tugas, hakikatnya adalah pengharapan dari masyarakat yang telah mempercayakan jabatan itu kepada sang pengemban amanah. Ketika ia dikhianati, maka masyarakat akan kecewa dan takkan percaya lagi padanya.

Harapan masyarakat ini akan menjelma representasi atau perwakilan yang ditujukan kepada si pengemban amanah. Representasi kewajiban dari pengamanah, jika mampu dijaga dengan baik, maka sang pengemban amanah kelak akan memeroleh haknya; kembali mendapatkan kepercayaan dari pengamanah, bahkan mungkin untuk tingkatan yang lebih besar.

Representasi pengamanah inilah yang menjadi lingkup yang harus dipahami batasannya oleh pengemban amanah. Karena, dalam bentuk-bentuk tertentu, hal tersebut sangat sukar untuk dibedakan, dan bahkan sering membuat kita khilaf. Contoh kecilnya saja seperti pengelolaan akun jejaring sosial Facebook suatu lembaga. Akun itu, wujudnya merupakan representasi dari semua anggota lembaga tersebut sebagai pengamanah. Lalu mereka akan mempercayakan salah seorang anggotanya menjadi pengemban amanah untuk mengelola akun yang dimaksud.

Jika si pengemban amanah tak paham atau lupa bahwasanya akun yang diamanahkan kepadanya merupakan akun lembaga, maka besar kemungkinan ia akan menggunakan akun lembaga itu sebagai media penyampai aspirasi individualnya semata dan menafikan keinginan representatif seluruh anggota lembaga atas akun tersebut.

Fatal akibatnya memang jika seseorang tak memahami konteks amanah secara menyeluruh. Karena banyak lubang-lubang kecil yang memiliki kecenderungan besar mengarah ke praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) di sana. Sudah menjadi keniscayaan bagi siapa saja yang bernaung dalam struktur kelembagaan, mulai dari level mikro hingga makro untuk lebih peka dan hati-hati terhadap batasan-batasan hak dan kewajiban sebagai bagian dari kompleksitas amanah yang patut diperjuangkan.

Maka, bagi mereka yang telah membulatkan tekad untuk mendaftarkan diri sebagai kandidat gubernur dan wakil gubernur Aceh dalam bursa Pilkada kali ini, Muhammad Nazar - Nova Iriansyah, Irwandi Yusuf - Muhyan Yunan, Ahmad Tajuddin (Abi Lampisang) - Suriansyah, dan Darni Daud - Ahmad Fauzi, sekarang tinggal menanti. Jika amanah yang dipercayakan di jabatan sebelumnya mendapatkan rapor baik dari pengamanahnya, selamat! Mungkin Anda yang akan terpilih menjadi gubernur dan wakil gubernur Aceh nanti. Begitu pula sebaliknya.

Dan, PR selanjutnya bagi seluruh elemen masyarakat sebagai pengamanah mereka adalah “memastikan” bahwa ke depan gubernur dan wakil gubernur terpilih itu benar-benar menjaga amanah yang dipercayakan kepada mereka. Masyarakat harus mengontrol dan mengingatkan jika gubernur dan wakil gubernur tersebut “khilaf” menyalahgunakan amanahnya, baik dalam arti sebenarnya maupun kiasan. Jika tidak, maka tanggung sendiri akibatnya kelak. Sebagaimana yang disinyalir dalam sebuah Hadih Maja,Yoh masa reubong han tatem ngieng-ngieng, oh kajeut keu trieng han ek taputa (Ketika masih berupa rebung tak mau dilihat-lihat, sewaktu sudah menjadi bambu tak sanggup lagi dipelintir/diputar).” Wallahu’alam. []

Penulis adalah mahasiswa Prodi Psikologi Unsyiah; Peminat masalah-masalah sosial dan budaya.

0 komentar:

Posting Komentar

.