Siapa yang bisa menjamin bahwa kita telah merengkuh kemerdekaan secara
utuh-menyeluruh? Ia selalu dikungkung oleh batasan-batasan tertentu.
Memerdekakan diri berarti mencurahkan segenap usaha untuk memperkecil
ruang-ruang batasan itu sendiri. Membebaskan hal-ihwal yang memenjarakan diri
dalam keterjajahan pergerakan.
Dalam perspektif individualisme kaum Barat, setiap individu merupakan
pribadi yang unik dengan apa yang dimiliki masing-masing. Karena itu, mereka
sangat menghargai perbedaan antar sesama mereka sebagai bentuk kemerdekaan
individual.
Begitu juga dengan prinsip kolektivisme kaum Timur yang meraih kemerdekaannya
dengan mengedepankan asas musyawarah dan mufakat. Dengan asas tersebut, mereka
secara bersama-sama memerdekakan kelompoknya, yaitu suatu bentuk kemerdekaan
bersama yang dikenal sebagai kemerdekaan kolektif.
Sejatinya, merdeka merupakan suatu keadaan yang terbebas dari segala bentuk
intervensi luar dalam multi-aspek yang sangat kompleks. Terutama pembebasan
diri dari penindasan atas pikiran dan nurani seseorang. Itu adalah hal
fundamental yang wajib untuk diperjuangkan jiwa-jiwa yang haus akan semangat pembebasan.
Bagi seorang mahasiswa, spirit di atas tentu saja bisa diejawantahkan dalam
berbagai bentuk sesuai dengan perspektif masing-masing dalam
menginterpretasikannya (penginterpretasikan lintas perspektif ini sendiri
merupakan bagian dari proses menuju “pemerdekaan persepsi”). Salah satu wujud
nyata pemerdekaan diri dari kolonialisme pikiran dan nurani itu adalah, dengan
menegakkan prinsip advokasi terhadap mahasiswa dan masyarakat atas euforia dan
hegemoni para penguasa.
Artinya sebuah upaya mahasiswa untuk berada di luar ranah dan jauh dari
tapal batas penguasa serta menjadi pihak oposisi dengan “mengimbangi” setiap
sikap ataupun kebijakan para penguasa tersebut. Tentunya hal itu semata-mata
dilakukan demi membela aspirasi masyarakat terhadap kesemena-menaan pemimpin
atau penguasanya.
Pembelaan atau advokasi yang dalam perspektif peran mahasiswa dikategorikan
sebagai fungsi kontrol sosial (social
control) itu kian mempertegas relevansi antara prinsip-prinsip pemerdekaan
diri intelektual kampus dengan pengejawantahan prinsip-prinsip Tri Dharma
Perguruan Tinggi, yaitu pengabdian kepada masyarakat.
Lebih spesifiknya lagi, mahasiswa hadir dan berdiri di garda depan untuk
mengontrol setiap euforia sikap, kebijakan dan tindak-tanduk pihak rektorat
kampus sendiri. Hal tersebut merupakan upaya nyata untuk memerdekakan diri dari
hal apa saja yang dilakukan pihak rektorat, yang diasumsikan bisa “mengusik”
rasa kemerdekaan seluruh mahasiswa dalam rangka meningkatkan taraf pendidikan
dan orientasi masa depan di kampus mereka. Dan, semua hal itu tentunya
dipersepsikan setelah melalui proses penyaringan (filterisasi) dari pikiran dan
nurani terdalam seorang mahasiswa.
Seorang mahasiswa yang paham betul akan eksistensi kemerdekaan pikiran dan
nuraninya tentu akan mengerahkan segenap ikhtiar untuk mempertahankan, membela
atau mengadvokasi kemerdekaannya yang dirasa berpijak pada asas kebenaran.
Ketika ia merasa sudah menunaikan kewajibannya sebagai seorang mahasiswa, maka
bisa dipastikan ia akan menuntut hak-haknya yang timbul dari proses “sebab”
agar ia menuai “akibat”-nya. Sebab ia telah menunaikan kewajiban, maka
akibatnya ia akan memeroleh haknya; hak seorang mahasiswa.
Dan, jika hak itu tak terpenuhi, pastinya ia akan mengkalkulasikan segala
bentuk alternatif untuk dipraktikkan dalam upaya merebut kembali kemerdekaan
yang telah tercerabut dari dirinya, bahkan dengan cara-cara ekstrim sekali pun,
dengan catatan tak melanggar aturan, norma dan etika yang telah ditetapkan.
Pada titik ini, hanya tipikal-tipikal mahasiswa tertentu saja yang mampu
melaksanakannya.
Sebagaimana yang dikatakan Seneca, seorang filsuf Stoik Romawi, “He who is brave is free. (Dia yang
berani berarti bebas).” Hanya orang-orang berani yang mampu mengekspresikan
hasrat pemerdekaan dirinya dengan baik dan sistematis. Seorang mahasiswa yang
berani dan memiliki kecerdasan emosional-intelektual yang matang akan
menghadapi realitas kolonialisasi atas dirinya dan berteriak lantang dengan
semangat pembebasan yang sulit dibinasakan.
Sementara bagi yang lain mungkin akan menunggu reaksi tipe mahasiswa di
atas dulu untuk bergerak. Sejujurnya mereka, yang masih tetap menunggu itu
takut untuk memerdekakan dirinya dan lebih memilih orang lain untuk melakukan
hal tersebut, untuknya.
Memang benar apa yang ditulis Goenawan Muhammad (GM) dalam kutipan di atas.
Merdeka itu penuh risiko. Dan karena itu banyak orang tak tergerak hatinya
untuk merdeka, walau dari penindasan dan kezaliman nyata dan akut seorang
penguasa sekali pun.
Akhiru kalam, bagi mereka yang masih merasa belum tergerak hatinya
untuk memerdekakan pikiran dan nurani, ada baiknya untuk merenungi kembali apa
yang pernah diucapkan Soe Hok Gie (1942 – 1969):
“Kenapa harus takut melawan?
Bangsa ini merdeka pun karena melawan.”
Pertanyaannya adalah, sudah siapkah kita untuk merdeka? []
(Refleksi, Majalah DETaK Edisi 32/Desember 2011)
kesimpulan merdekanya dirin sendiri itu gimana ga??
BalasHapusBerkehendak atas nurani tanpa intervensi orang lain, bgeitulah kira-kira Abi Samin :)
BalasHapus