22 Juli 2012

Pemaafan; Sebuah Solusi dalam Resolusi Konflik

Leave a Comment
Pendahuluan
    Pada dasarnya, konflik adalah fitrah dalam kehidupan manusia. Seperti juga halnya dengan keinginan berkuasa atau mendominasi dalam diri manusia, konflik merupakan hal yang tak bisa dilepaskan dan dihindari dalam dinamika kehidupan manusia. Sudah banyak sekali kerugian yang disebabkan oleh konflik ini, namun realitasnya fenomena ini masih terus terjadi sampai sekarang di seluruh belahan dunia.
      Walaupun Ralph K. White (dalam Ancok, 2004) menyatakan nobody wanted war (tidak seorangpun yang menyukai peperangan (konflik)) karena memang sebagaimana yang dikemukakan Maslow dalam Hierarchy of Needs-nya, salah satu kebutuhan manusia adalah kebutuhan akan kasih sayang atau afiliasi sosial (need of love and belongingness). Artinya manusia memiliki kebutuhan untuk berinteraksi dan bersosialisasi dengan sesama dalam keharmonisan. Semangat ini tentunya bertolakbelakang dengan prinsip yang diusung dalam konflik yang lebih mengutamakan dominasi, agresivitas dan perpecahan. Namun pada tataran realitas, hal ini tak bisa dipungkiri masih kerap terjadi dalam kehidupan manusia sehari-hari.
          Bila dikaitkan dengan konteks Indonesia yang masyarakatnya hidup dalam keberagaman, konflik telah menjadi semacam budaya yang tak bisa dilepaskan dalam keseharian masyarakat. Dengan sebuah pemicu (trigger) kecil saja, konflik bisa meluas dan merambah dalam struktur masyarakat yang lebih besar. Misalnya konflik antar etnik, antar kelompok, mahasiswa, tawuran siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) dan lain sebagainya.

Permasalahan
        Berbicara masalah konflik itu tak terlepas dari konteks dinamika yang akan selalu ada mengiringi proses berkehidupan dan berkemasyarakatan manusia. Menurut Hocker dan Wilmot (dalam Isenhart dan Spangle, 2000), konflik adalah ekspresi perjuangan di antara minimal dua belah pihak yang saling tergantung untuk mencapai tujuan tertentu, di mana dua pihak itu merasa tidak memiliki kesamaan tujuan, memperebutkan sumber daya yang langka, dan merasa adanya campur tangan pihak lain dalam upaya pencapaian tujuan.
       Dalam lingkup yang lebih luas, isu yang menjadi penyebab konflik bisa menjadi kompleks dan sangat sensitif untuk dibicarakan. Misalnya konflik Papua dan Aceh di masa silam. Kompleksitas penyebab konflik yang sudah menjadi isu nasional itu tak bisa diselesaikan hanya dengan satu pendekatan. Namun juga dibutuhkan pemahaman yang kompleks dan menyeluruh tentang konflik itu sendiri untuk kemudian dipikirkan alternatif atas resolusi konflik tersebut.
       Ralph K. White (dalam Matulessy, 2010) menekankan bahwa ada 6 hal yang bisa menyebabkan terjadi konflik, antara lain diabolical enemy image (pandangan bahwa musuh jahat seperti setan), vipile self image (pandangan bahwa dirinya jantan), moral self image (pandangan dirinya lebih bermoral), selective inatention (tidak memperhatikan sesuatu yang bertentangan dengan keyakinan), absence of emphaty (tidak adanya empati), military over confidence (keyakinan yang berlebihan akan kekuatannya). Pandangan yang dikemukakan oleh White inilah yang dianggap menjadi titik tolak munculnya konflik. Oleh karena itu semua pihak perlu mempertimbangkan hal-hal tersebut di atas.

Pemaafan (Forgiveness); Sebuah Alternatif dan Solusi 
         Salah satu kendala dalam merealisasikan resolusi konflik adalah tidak adanya kemauan yang besar dan kebesaran jiwa untuk mengakui kesalahan dan mengakiri konflik. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan Rapport (1960). Rapport menjelaskan bahwa konflik antarindividu disebut sebagai ‘dilema terdakwa’ (prisoner’s dilemma). Dalam konteks konflik, kedua belah pihak tentu tak mau mengaku kalah. Artinya bila ada satu orang yang memulai untuk berdamai, maka kesan yang timbul adalah dia sebagai pihak yang bersalah. Karena kedua belah pihak tak ada inisiatif, akhirnya resolusi konflik pun tak tercapai.
       Bila dikaitkan dengan fenomena di atas, maka pendekatan pemaafan (forgiveness) ini sangat diperlukan untuk mencapai resolusi konflik dan mewujudkan perdamaian. Enright (dalam McCullough dkk., 2003) mendefinisikan pemaafan sebagai sikap untuk mengatasi hal-hal yang negatif dan penghakiman terhadap orang yang bersalah dengan tidak menyangkal rasa sakit itu sendiri tetapi dengan rasa kasihan, iba dan cinta kepada pihak yang menyakiti.
       McCullough dkk. (1997) juga mengemukakan bahwa memaafkan dapat dijadikan seperangkat motivasi untuk mengubah seseorang untuk tidak membalas dendam dan meredakan dorongan untuk memelihara kebencian terhadap pihak yang menyakiti serta meningkatkan dorongan untuk konsiliasi hubungan dengan pihak yang menyakiti. Jadi dengan pendekatan pemaafan ini bisa dikatakan dapat memberikan alternatif dan solusi terhadap resolusi konflik dan percepatan proses perdamaian (peace making).
      Namun jika belum adanya perasaan memaafkan (dalam terminologi Islam bisa dikaitkan relevansinya dengan konsep ‘ikhlas’) dari kedua belah pihak, maka proses resolusi konflik ini dengan pendekatan pemaafan ini juga akan sulit untuk diterapkan, karena kedua belah pihak masih mempertahankan egonya masing-masing. Ketika kedua belah pihak itu telah terbuka hatinya untuk berdamai dan mengakui kesalahan masing-masing serta memaafkan kesalahan-kesalahan pihak lawannya di masa silam, barulah resolusi konflik itu bisa direalisasikan dan kesepakatan perdamaian (peace making) pun akan tercapai kelak. []

Artikel ini merupakan adaptasi dari tugas esai penulis dalam mata kuliah Psikologi Perdamaian di Program Studi Psikologi Unsyiah.

0 komentar:

Posting Komentar

.