Pada dasarnya,
konflik adalah fitrah dalam kehidupan manusia. Seperti juga halnya dengan
keinginan berkuasa atau mendominasi dalam diri manusia, konflik merupakan hal
yang tak bisa dilepaskan dan dihindari dalam dinamika kehidupan manusia. Sudah
banyak sekali kerugian yang disebabkan oleh konflik ini, namun realitasnya
fenomena ini masih terus terjadi sampai sekarang di seluruh belahan dunia.
Walaupun Ralph K. White (dalam Ancok, 2004) menyatakan nobody wanted war (tidak seorangpun yang
menyukai peperangan (konflik)) karena memang sebagaimana yang dikemukakan
Maslow dalam Hierarchy of Needs-nya,
salah satu kebutuhan manusia adalah kebutuhan akan kasih sayang atau afiliasi
sosial (need of love and belongingness).
Artinya manusia memiliki kebutuhan untuk berinteraksi dan bersosialisasi dengan
sesama dalam keharmonisan. Semangat ini tentunya bertolakbelakang dengan
prinsip yang diusung dalam konflik yang lebih mengutamakan dominasi,
agresivitas dan perpecahan. Namun pada tataran realitas, hal ini tak bisa dipungkiri
masih kerap terjadi dalam kehidupan manusia sehari-hari.
Bila dikaitkan dengan konteks Indonesia yang
masyarakatnya hidup dalam keberagaman, konflik telah menjadi semacam budaya
yang tak bisa dilepaskan dalam keseharian masyarakat. Dengan sebuah pemicu (trigger) kecil saja, konflik bisa meluas
dan merambah dalam struktur masyarakat yang lebih besar. Misalnya konflik antar
etnik, antar kelompok, mahasiswa, tawuran siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP)
dan Sekolah Menengah Atas (SMA) dan lain sebagainya.
Permasalahan
Berbicara
masalah konflik itu tak terlepas dari konteks dinamika yang akan selalu ada
mengiringi proses berkehidupan dan berkemasyarakatan manusia. Menurut Hocker
dan Wilmot (dalam Isenhart dan Spangle, 2000), konflik adalah ekspresi perjuangan
di antara minimal dua belah pihak yang saling tergantung untuk mencapai tujuan
tertentu, di mana dua pihak itu merasa tidak memiliki kesamaan tujuan,
memperebutkan sumber daya yang langka, dan merasa adanya campur tangan pihak
lain dalam upaya pencapaian tujuan.
Dalam lingkup yang lebih luas, isu yang menjadi penyebab konflik bisa menjadi kompleks dan sangat sensitif untuk dibicarakan. Misalnya konflik Papua dan Aceh di masa silam. Kompleksitas penyebab konflik yang sudah menjadi isu nasional itu tak bisa diselesaikan hanya dengan satu pendekatan. Namun juga dibutuhkan pemahaman yang kompleks dan menyeluruh tentang konflik itu sendiri untuk kemudian dipikirkan alternatif atas resolusi konflik tersebut.
Dalam lingkup yang lebih luas, isu yang menjadi penyebab konflik bisa menjadi kompleks dan sangat sensitif untuk dibicarakan. Misalnya konflik Papua dan Aceh di masa silam. Kompleksitas penyebab konflik yang sudah menjadi isu nasional itu tak bisa diselesaikan hanya dengan satu pendekatan. Namun juga dibutuhkan pemahaman yang kompleks dan menyeluruh tentang konflik itu sendiri untuk kemudian dipikirkan alternatif atas resolusi konflik tersebut.
Ralph K. White (dalam Matulessy, 2010) menekankan bahwa
ada 6 hal yang bisa menyebabkan terjadi konflik, antara lain diabolical enemy image (pandangan bahwa
musuh jahat seperti setan), vipile self
image (pandangan bahwa dirinya jantan), moral
self image (pandangan dirinya lebih bermoral), selective inatention (tidak memperhatikan sesuatu yang bertentangan
dengan keyakinan), absence of emphaty
(tidak adanya empati), military over
confidence (keyakinan yang berlebihan akan kekuatannya). Pandangan yang
dikemukakan oleh White inilah yang dianggap menjadi titik tolak munculnya
konflik. Oleh karena itu semua pihak perlu mempertimbangkan hal-hal tersebut di
atas.
Pemaafan
(Forgiveness); Sebuah Alternatif dan
Solusi
Salah satu kendala dalam merealisasikan resolusi konflik adalah tidak adanya kemauan yang besar dan kebesaran jiwa untuk mengakui kesalahan dan mengakiri konflik. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan Rapport (1960). Rapport menjelaskan bahwa konflik antarindividu disebut sebagai ‘dilema terdakwa’ (prisoner’s dilemma). Dalam konteks konflik, kedua belah pihak tentu tak mau mengaku kalah. Artinya bila ada satu orang yang memulai untuk berdamai, maka kesan yang timbul adalah dia sebagai pihak yang bersalah. Karena kedua belah pihak tak ada inisiatif, akhirnya resolusi konflik pun tak tercapai.
Bila dikaitkan dengan fenomena di atas, maka pendekatan pemaafan (forgiveness) ini sangat diperlukan untuk mencapai resolusi konflik dan mewujudkan perdamaian. Enright (dalam McCullough dkk., 2003) mendefinisikan pemaafan sebagai sikap untuk mengatasi hal-hal yang negatif dan penghakiman terhadap orang yang bersalah dengan tidak menyangkal rasa sakit itu sendiri tetapi dengan rasa kasihan, iba dan cinta kepada pihak yang menyakiti.
McCullough dkk. (1997) juga mengemukakan bahwa memaafkan dapat dijadikan seperangkat motivasi untuk mengubah seseorang untuk tidak membalas dendam dan meredakan dorongan untuk memelihara kebencian terhadap pihak yang menyakiti serta meningkatkan dorongan untuk konsiliasi hubungan dengan pihak yang menyakiti. Jadi dengan pendekatan pemaafan ini bisa dikatakan dapat memberikan alternatif dan solusi terhadap resolusi konflik dan percepatan proses perdamaian (peace making).
Namun jika belum adanya perasaan memaafkan (dalam terminologi Islam bisa dikaitkan relevansinya dengan konsep ‘ikhlas’) dari kedua belah pihak, maka proses resolusi konflik ini dengan pendekatan pemaafan ini juga akan sulit untuk diterapkan, karena kedua belah pihak masih mempertahankan egonya masing-masing. Ketika kedua belah pihak itu telah terbuka hatinya untuk berdamai dan mengakui kesalahan masing-masing serta memaafkan kesalahan-kesalahan pihak lawannya di masa silam, barulah resolusi konflik itu bisa direalisasikan dan kesepakatan perdamaian (peace making) pun akan tercapai kelak. []
Salah satu kendala dalam merealisasikan resolusi konflik adalah tidak adanya kemauan yang besar dan kebesaran jiwa untuk mengakui kesalahan dan mengakiri konflik. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan Rapport (1960). Rapport menjelaskan bahwa konflik antarindividu disebut sebagai ‘dilema terdakwa’ (prisoner’s dilemma). Dalam konteks konflik, kedua belah pihak tentu tak mau mengaku kalah. Artinya bila ada satu orang yang memulai untuk berdamai, maka kesan yang timbul adalah dia sebagai pihak yang bersalah. Karena kedua belah pihak tak ada inisiatif, akhirnya resolusi konflik pun tak tercapai.
Bila dikaitkan dengan fenomena di atas, maka pendekatan pemaafan (forgiveness) ini sangat diperlukan untuk mencapai resolusi konflik dan mewujudkan perdamaian. Enright (dalam McCullough dkk., 2003) mendefinisikan pemaafan sebagai sikap untuk mengatasi hal-hal yang negatif dan penghakiman terhadap orang yang bersalah dengan tidak menyangkal rasa sakit itu sendiri tetapi dengan rasa kasihan, iba dan cinta kepada pihak yang menyakiti.
McCullough dkk. (1997) juga mengemukakan bahwa memaafkan dapat dijadikan seperangkat motivasi untuk mengubah seseorang untuk tidak membalas dendam dan meredakan dorongan untuk memelihara kebencian terhadap pihak yang menyakiti serta meningkatkan dorongan untuk konsiliasi hubungan dengan pihak yang menyakiti. Jadi dengan pendekatan pemaafan ini bisa dikatakan dapat memberikan alternatif dan solusi terhadap resolusi konflik dan percepatan proses perdamaian (peace making).
Namun jika belum adanya perasaan memaafkan (dalam terminologi Islam bisa dikaitkan relevansinya dengan konsep ‘ikhlas’) dari kedua belah pihak, maka proses resolusi konflik ini dengan pendekatan pemaafan ini juga akan sulit untuk diterapkan, karena kedua belah pihak masih mempertahankan egonya masing-masing. Ketika kedua belah pihak itu telah terbuka hatinya untuk berdamai dan mengakui kesalahan masing-masing serta memaafkan kesalahan-kesalahan pihak lawannya di masa silam, barulah resolusi konflik itu bisa direalisasikan dan kesepakatan perdamaian (peace making) pun akan tercapai kelak. []
Artikel
ini merupakan adaptasi dari tugas esai penulis dalam mata kuliah Psikologi Perdamaian di
Program Studi Psikologi Unsyiah.
0 komentar:
Posting Komentar