5 Agustus 2012

Humanisme Ramadhan

Leave a Comment
Telah menjadi sebuah realitas bahwa praktik beragama, dalam hal ini ibadah puasa di bulan Ramadhan sekarang telah jauh mengalami pergeseran makna. Hal ini bisa dilihat dalam perspektif masyarakat yang menganggap ibadah puasa sebagai ritual semata dan identik dengan simbol-simbol keagamaan. Maka yang terjadi kemudian, puasa hanya diidentikkan dengan berbagai menu makanan dan pakaian baru di hari raya nanti.
            Aktivitas belanja yang berlebih-lebihan pun menjadi tren yang kian mengakar kuat dalam budaya masyarakat selama bulan puasa. Sebagaimana ditulis Jusman Dalle, mengutip data BPS November 2011, pada triwulan ke III Tahun 2011 dalam interval waktu yang bertepatan dengan bulan Ramadhan, konsumsi rumah tangga paling tinggi. Dilihat dari sisi penggunaan, komponen PDB Indonesia berupa pengeluaran konsumsi rumah tangga atas dasar harga konstan 2000 meningkat Rp. 7,7 tiliun dari Rp339,0 triliun pada Triwulan II-2011 menjadi Rp346,7 triliun pada Triwulan III-2011 atau tumbuh secara riil sebesar 2,3 persen.
            Selain itu, media pun tak ketinggalan memanfaatkan momen Ramadhan yang hanya datang setahun sekali ini untuk mengeruk keuntungan dan rating tinggi. Menjelang Ramadhan sampai lebaran nanti, kita tak henti disuguhkan tayangan bagaimana praktik kapitalisme dengan dalih Ramadhan dan religiusitas itu dipertontonkan.
            Beragam bentuk program telah lama diagendakan untuk menyambut syahru shiyam ini, mulai dari program komedi sejak tengah malam hingga sahur menjelang, reality show agama, sinetron religi, musik, iklan-iklan hingga ceramah agama yang telah disetting sedemikian rupa; lebih mengedepankan hal-hal yang bersifat ritualistik dan luput mengajak umat untuk berpikir kritis dalam konteks religiusitas dalam rangka memberikan solusi atas kemiskinan struktural dan berbagai realitas kesenjangan sosial. Bagi mereka, Ramadhan merupakan lumbung uang yang harus dimanfaatkan. Sehingga hal ini membuat mereka menjadi budak hawa nafsu kapitalisme semata demi mengejar rating siaran.
            Realitas di atas dipertegas pula oleh Erica L. Panjaitan & TM. Dhani Iqbal (2006). Menurut Erica & Iqbal, perspektif rating ini menjadi sebuah pola pikir utama yang seakan memaksa semua orang untuk menggunakannya. Adagium “seruling cukong berdasar rating menentukan lagu yang dimainkan” telah menembus semua tingkat pengambilan keputusan dan seringkali mengabaikan kualitas, termasuk estetika, sosial, dan psikologis penonton.
            Lantas jika sudah begini, kemana raibnya nilai-nilai transedental dan semangat pembebasan yang terkandung dalam ibadah puasa Ramadhan ini?
                                                                                                                      
Dua Perspektif
Hakikat Islam sebagai agama rahmatan lil’alamin bagi seluruh makhluk yang menghuni semesta ini, termasuk juga manusia adalah hubungan kausalitas yang tak terputus. Bentuk rahmat dan kesejahteraan yang dilimpahkan Allah itu sangatlah beragam, dari yang konkrit hingga yang paling abstrak sekalipun. Dan kesemuanya itu saling terhubung dan bersinergi satu sama lain. Karena dalam rantai kehidupan, satu dan yang lain pastilah saling membutuhkan.
            Sementara itu, konsep rahmatan lil’alamin yang bersifat abstrak diejawantahkan dalam wujud kemerdekaan dan kebebasan bagi manusia. Menjadi makhluk yang seutuhnya, demi manusia dan kemanusiaannya, atau yang dalam bahasa kontemporer lebih populer dengan nama ‘humanisme’. Lalu, apakah konsep kemerdekaan dan kebebasannya humanisme ini bisa diimplementasikan dalam konteks bulan Ramadhan, yang bila dilihat secara harfiah justru tampak ‘mengekang’?
            Spirit humanisme dalam perspektif barat jelas sangat kontradiktif dengan humanisme yang diusung dalam ibadah puasa Ramadhan. Esensi dari humanisme barat adalah memberikan kebebasan sebebas-bebasnya bagi manusia untuk mengatur hidupnya sendiri tanpa adanya campur tangan Tuhan. Jadi, bisa dikatakan bahwa humanisme barat hendak ‘menuhankan’ manusia sendiri dan ‘membunuh’ Tuhan dengan kemanusiaannya.
            Humanisme barat berpusat dan berorientasi pada manusia itu sendiri (antroposentris) dan menafikan eksistensi Tuhan. Sehingga tak heran jika kemudian, atas nama kemanusiaan, humanisme dalam peradaban barat memberikan legalisasi praktik gay dan lesbian, misalnya. Namun ironisnya, atas nama kebebasan pula, mereka mengabaikan Tuhan serta perintah dan larangan (aturan-aturan)-nya, tapi lebih memilih tunduk kepada regulasi-regulasi pemerintah tempat mereka berdomisili yang hakikatnya dipimpin oleh manusia.
            Sementara spirit humanisme Ramadhan adalah sebuah kesatuan universalitas yang utuh dan menyeluruh. Humanisme dalam perspektif Ramadhan berpusat dan berorientasi langsung kepada Tuhan sebagai Sang Pencipta (teosentris), yaitu Allah. Manusia diberikan kebebasan dan kemerdekaan atas nama manusia dan kemanusiaannya, namun ada batasan-batasan yang tak boleh dilanggar dalam kapasitas manusia sebagai Hamba Allah.
            Konsep humanisme ini memiliki kuota yang proporsional antara hubungan manusia dengan Allah (hablumminallah) atau teosentris dengan hubungan manusia dengan sesamanya (hablumminannas) atau antoposentris. Dan puasa sebagai ibadah rahasia antara manusia dengan Rabb-nya, juga menyisipkan pesat tersirat untuk berbuat amal dan kebajikan terhadap sesama manusia.

Humanisme Kaffah
            Konsep humanisme dalam Ramadhan jauh lebih sakral dan lebih ‘humanis’ dari humanisme itu sendiri. Jika humanisme dalam konteks barat hanya memandang kebebasan bersifat individualistik, humanisme Ramadhan melihat hal tersebut secara lebih kompleks, total dan menyeluruh. Ia merupakan praktik pengejawantahan nilai-nilai kemanusiaan yang bersifat kolektivistik, bukan hanya pada satu individu semata.
            Inti dari ibadah berpuasa di bulan Ramadhan adalah bagaimana kita memahami orang lain dengan turut merasakan apa yang dirasakan orang lain tersebut. Orang lain yang dimaksud tersebut tak lain adalah umat muslim di seluruh dunia yang tak seberuntung kita dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Inilah bentuk empati yang sebenarnya, di mana kita diberikan kesempatan langsung untuk merasakan apa yang mereka rasakan.
            Begitulah bentuk humanisme kolektivistik umat muslim dalam momentum Ramadhan. Di mana manusia dan kemanusiaannya itu tidak hanya dipandang dari level individualistik semata, namun merupakan kesatuan utuh yang saling melengkapi, yang merasakan setiap kesakitan yang dirasakan saudara-saudaranya; kesatuan umat Islam. Karena itulah, spirit ini disebut sebagai humanisme yang menyeluruh (kaffah).
            Dengan memahami Ramadhan sebagai ladang amal transedental dan humanistik, maka hal ini akan membuka perspektif baru bagi kita semua. Ramadhan bukan hanya sekadar ritus semata, namun lebih jauh lagi sebagai suatu wujud kesadaran, media transformasi, semangat pembebasan dan landasan kritis untuk menjauhi kekufuran, memerangi kemiskinan struktural dan mencarikan solusi atas kesenjangan sosial yang kian kentara dalam masyarakat.
            Maka diperlukan kesadaran dan sikap kritis kita melalui momentum Ramadhan ini, sebagaimana sinyalemen Allah yang menyeru agar manusia mau berpikir (QS. An Nahl: 12, QS. Al-Baqarah: 164, QS. Ar Ra’d: 4, QS. Al-Nahl: 64, QS. Ar Ruum: 24). Artinya, kita harus bisa mengevaluasi makna humanisme Ramadhan ini, baik sebagai ibadah yang dipersembahkan untuk Allah maupun sebagai medium sosial untuk kemaslahatan bersama; kemaslahatan umat Islam secara keseluruhan. Wallahu a’lam bishshawab. []

0 komentar:

Posting Komentar

.