Telah
menjadi sebuah realitas bahwa praktik beragama, dalam hal ini ibadah puasa di
bulan Ramadhan sekarang telah jauh mengalami pergeseran makna. Hal ini bisa
dilihat dalam perspektif masyarakat yang menganggap ibadah puasa sebagai ritual
semata dan identik dengan simbol-simbol keagamaan. Maka yang terjadi kemudian,
puasa hanya diidentikkan dengan berbagai menu makanan dan pakaian baru di hari
raya nanti.
Aktivitas belanja yang berlebih-lebihan pun menjadi tren
yang kian mengakar kuat dalam budaya masyarakat selama bulan puasa. Sebagaimana
ditulis Jusman Dalle, mengutip data BPS November 2011, pada triwulan ke III
Tahun 2011 dalam interval waktu yang bertepatan dengan bulan Ramadhan, konsumsi
rumah tangga paling tinggi. Dilihat dari sisi penggunaan, komponen PDB
Indonesia berupa pengeluaran konsumsi rumah tangga atas dasar harga konstan
2000 meningkat Rp. 7,7 tiliun dari Rp339,0 triliun pada Triwulan II-2011
menjadi Rp346,7 triliun pada Triwulan III-2011 atau tumbuh secara riil sebesar
2,3 persen.
Selain itu, media pun tak ketinggalan memanfaatkan momen
Ramadhan yang hanya datang setahun sekali ini untuk mengeruk keuntungan dan rating
tinggi. Menjelang Ramadhan sampai lebaran nanti, kita tak henti disuguhkan
tayangan bagaimana praktik kapitalisme dengan dalih Ramadhan dan religiusitas
itu dipertontonkan.
Beragam bentuk program telah lama diagendakan untuk
menyambut syahru shiyam ini, mulai
dari program komedi sejak tengah malam hingga sahur menjelang, reality show agama, sinetron religi,
musik, iklan-iklan hingga ceramah agama yang telah disetting sedemikian rupa;
lebih mengedepankan hal-hal yang bersifat ritualistik dan luput mengajak umat
untuk berpikir kritis dalam konteks religiusitas dalam rangka memberikan solusi
atas kemiskinan struktural dan berbagai realitas kesenjangan sosial. Bagi
mereka, Ramadhan merupakan lumbung uang yang harus dimanfaatkan. Sehingga hal
ini membuat mereka menjadi budak hawa nafsu kapitalisme semata demi mengejar
rating siaran.
Realitas di atas dipertegas pula oleh Erica L. Panjaitan
& TM. Dhani Iqbal (2006). Menurut Erica & Iqbal, perspektif rating ini
menjadi sebuah pola pikir utama yang seakan memaksa semua orang untuk
menggunakannya. Adagium “seruling cukong berdasar rating menentukan lagu yang dimainkan” telah menembus semua tingkat
pengambilan keputusan dan seringkali mengabaikan kualitas, termasuk estetika,
sosial, dan psikologis penonton.
Lantas jika sudah
begini, kemana raibnya nilai-nilai transedental dan semangat pembebasan yang
terkandung dalam ibadah puasa Ramadhan ini?
Dua
Perspektif
Hakikat
Islam sebagai agama rahmatan lil’alamin
bagi seluruh makhluk yang menghuni semesta ini, termasuk juga manusia adalah
hubungan kausalitas yang tak terputus. Bentuk rahmat dan kesejahteraan yang
dilimpahkan Allah itu sangatlah beragam, dari yang konkrit hingga yang paling
abstrak sekalipun. Dan kesemuanya itu saling terhubung dan bersinergi satu sama
lain. Karena dalam rantai kehidupan, satu dan yang lain pastilah saling
membutuhkan.
Sementara itu, konsep rahmatan
lil’alamin yang bersifat abstrak diejawantahkan dalam wujud kemerdekaan dan
kebebasan bagi manusia. Menjadi makhluk yang seutuhnya, demi manusia dan
kemanusiaannya, atau yang dalam bahasa kontemporer lebih populer dengan nama
‘humanisme’. Lalu, apakah konsep kemerdekaan dan kebebasannya humanisme ini
bisa diimplementasikan dalam konteks bulan Ramadhan, yang bila dilihat secara
harfiah justru tampak ‘mengekang’?
Spirit humanisme dalam perspektif barat jelas sangat
kontradiktif dengan humanisme yang diusung dalam ibadah puasa Ramadhan. Esensi
dari humanisme barat adalah memberikan kebebasan sebebas-bebasnya bagi manusia
untuk mengatur hidupnya sendiri tanpa adanya campur tangan Tuhan. Jadi, bisa
dikatakan bahwa humanisme barat hendak ‘menuhankan’ manusia sendiri dan
‘membunuh’ Tuhan dengan kemanusiaannya.
Humanisme barat berpusat dan berorientasi pada manusia
itu sendiri (antroposentris) dan menafikan eksistensi Tuhan. Sehingga tak heran
jika kemudian, atas nama kemanusiaan, humanisme dalam peradaban barat
memberikan legalisasi praktik gay dan lesbian, misalnya. Namun ironisnya, atas
nama kebebasan pula, mereka mengabaikan Tuhan serta perintah dan larangan
(aturan-aturan)-nya, tapi lebih memilih tunduk kepada regulasi-regulasi
pemerintah tempat mereka berdomisili yang hakikatnya dipimpin oleh manusia.
Sementara spirit humanisme Ramadhan adalah sebuah
kesatuan universalitas yang utuh dan menyeluruh. Humanisme dalam perspektif
Ramadhan berpusat dan berorientasi langsung kepada Tuhan sebagai Sang Pencipta
(teosentris), yaitu Allah. Manusia diberikan kebebasan dan kemerdekaan atas
nama manusia dan kemanusiaannya, namun ada batasan-batasan yang tak boleh
dilanggar dalam kapasitas manusia sebagai Hamba Allah.
Konsep humanisme ini memiliki kuota yang proporsional
antara hubungan manusia dengan Allah (hablumminallah)
atau teosentris dengan hubungan manusia dengan sesamanya (hablumminannas) atau antoposentris. Dan puasa sebagai ibadah
rahasia antara manusia dengan Rabb-nya, juga menyisipkan pesat tersirat untuk
berbuat amal dan kebajikan terhadap sesama manusia.
Humanisme
Kaffah
Konsep humanisme dalam Ramadhan jauh lebih sakral dan
lebih ‘humanis’ dari humanisme itu sendiri. Jika humanisme dalam konteks barat
hanya memandang kebebasan bersifat individualistik, humanisme Ramadhan melihat
hal tersebut secara lebih kompleks, total dan menyeluruh. Ia merupakan praktik
pengejawantahan nilai-nilai kemanusiaan yang bersifat kolektivistik, bukan
hanya pada satu individu semata.
Inti dari ibadah berpuasa di bulan Ramadhan adalah bagaimana
kita memahami orang lain dengan turut merasakan apa yang dirasakan orang lain
tersebut. Orang lain yang dimaksud tersebut tak lain adalah umat muslim di
seluruh dunia yang tak seberuntung kita dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
Inilah bentuk empati yang sebenarnya, di mana kita diberikan kesempatan
langsung untuk merasakan apa yang mereka rasakan.
Begitulah bentuk humanisme kolektivistik umat muslim
dalam momentum Ramadhan. Di mana manusia dan kemanusiaannya itu tidak hanya
dipandang dari level individualistik semata, namun merupakan kesatuan utuh yang
saling melengkapi, yang merasakan setiap kesakitan yang dirasakan
saudara-saudaranya; kesatuan umat Islam. Karena itulah, spirit ini disebut
sebagai humanisme yang menyeluruh (kaffah).
Dengan memahami Ramadhan sebagai ladang amal transedental
dan humanistik, maka hal ini akan membuka perspektif baru bagi kita semua. Ramadhan
bukan hanya sekadar ritus semata, namun lebih jauh lagi sebagai suatu wujud
kesadaran, media transformasi, semangat pembebasan dan landasan kritis untuk
menjauhi kekufuran, memerangi kemiskinan struktural dan mencarikan solusi atas
kesenjangan sosial yang kian kentara dalam masyarakat.
Maka diperlukan kesadaran dan sikap kritis kita melalui
momentum Ramadhan ini, sebagaimana sinyalemen Allah yang menyeru agar manusia
mau berpikir (QS. An Nahl: 12, QS. Al-Baqarah: 164, QS. Ar Ra’d: 4, QS.
Al-Nahl: 64, QS. Ar Ruum: 24). Artinya, kita harus bisa mengevaluasi makna
humanisme Ramadhan ini, baik sebagai ibadah yang dipersembahkan untuk Allah
maupun sebagai medium sosial untuk kemaslahatan bersama; kemaslahatan umat
Islam secara keseluruhan. Wallahu a’lam
bishshawab. []
0 komentar:
Posting Komentar