11 Agustus 2012

Ramadhan dan Refleksi Kita

Leave a Comment
Sebuah anugerah dan rahmat yang tak ternilai harganya karena kita hampir menuntaskan pelaksanaan ibadah puasa di bulan Ramadhan 1433 Hijriyah tahun ini. Sebagai seorang muslim yang mukmin, perintah untuk melaksanakan ibadah puasa ini merupakan kewajiban dan juga ibadah yang langsung dipersembahkan kepada Allah. Artinya kita mempertanggungjawabkan ibadah puasa kepada Allah secara langsung dan rahasia, tanpa diketahui oleh orang lain.
Sebagai ibadah yang sifatnya ‘privat’, maka selayaknya esensi dan nilai-nilai yang terkandung dalam ibadah puasa ini harus mampu kita resapi dan pahami dengan sebenar-benarnya, untuk kemudian diejawantahkan dalam praksis kehidupan sehari-hari. Memaknai kembali Ramadhan, berarti kita meredefinisi dan mengaktualisasikan ruh Ramadhan dalam pribadi masing-masing.


Prinsip egalitarian
Karena itu, mari kita jadikan momentum Ramadhan ini sebagai ajang menuju level tertinggi; menjadi muttaqin (orang bertaqwa) sebagaimana yang dijanjikan Allah swt (QS. Al-Baqarah: 183). Dari sini kita temukan bentuk lain manifestasi keindahan dan keadilan Islam itu sendiri, yaitu prinsip egalitarian atau kesetaraan dan kesederajatan terkait dengan status dan eksistensi manusia. Tanpa melihat latar belakang seseorang, semua sama di hadapan Allah. Yang membedakan dan membuat seseorang tersebut mulia di sisiNya adalah kadar keimanan dan ketakwaan (QS. Al-Hujarat: 13).
Dengan spirit tersebut, semua orang mempunyai kesempatan yang sama untuk menjadi orang bertakwa kepada Allah. Menjadi muttaqin ini, berarti kita harus mampu ‘membumikan’ ucapan, sikap dan tindak-tanduk kita sebagaimana konsekuensi kita untuk menjadi orang yang bertaqwa di sisi Allah. Ketika kita telah berkomitmen ingin menjadi orang yang bertaqwa, maka sikap tersebut harus diwujudkan dalam bentuk mengerjakan semua perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya (amar ma’ruf nahi munkar).
Dalam konteks Ramadhan, begitu banyak pelajaran dan hikmah yang bisa direguk untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar ini. Artinya di bulan yang penuh keampunan ini, sejatinya merupakan ladang amal bagi kita semua untuk menyemai setiap benih-benih kebaikan dan kebajikan sesuai dengan prinsip amar ma’ruf nahi munkar tersebut.
Dengan Ramadhan ini pula, seharusnya merupakan langkah awal untuk merekonstruksi dan merestorasi makna hidup dan kehidupan kita sendiri untuk mencapai hakikat kemanusiaan yang sebenarnya. Kemanusiaan yang dimaksud di sini, sejatinya merupakan konsep humanisme yang berpusat dan berorientasi langsung kepada Allah (teosentris) sebagai pemilik kosmos, ruang dan waktu serta awwalu wa akhiru (yang awal dan yang terakhir).
Sebagaimana dikatakan HD. Bastaman, bahwa setiap orang menginginkan dirinya menjadi orang yang bermartabat dan berguna bagi dirinya, keluarga, lingkungan kerja, masyarakat sekitar, dan berharga di mata Tuhan. Setiap manusia berbeda cara dalam mengekspresikan kehidupan untuk mencapai makna hidupnya. Mencapai makna hidup dalam ibadah puasa di bulan Ramadhan ini hanya bisa dilakukan dengan meresapi dan merenungi diri sebagai hamba Allah, untuk kemudian direfleksikan dalam aktivitas sehari-hari.

Ramadhan Transformatif
Sebagai refleksi bersama, ada beberapa hal yang mestinya menjadi perhatian kita terkait dengan momentum Ramadhan ini. Pertama, dalam tataran individu, hendaknya Ramadhan menjadi bahan kontemplasi bagi kita untuk menjadi manusia yang sebenar-benarnya. Mencapai makna hidup dan menuju level tertinggi; menjadi muttaqin. Sehingga kita dengan sebenar-benarnya menangisi dosa-dosa yang telah pernah kita lakukan dan bersungguh-sungguh mengikat komitmen di hadapan Allah untuk bertaubat dengan sepenuh hati.
Kedua, dalam konteks berkeluarga. Baik sebagai anak, saudara, suami, istri, ayah ataupun ibu. Bagaimana kita mempertanggungjawabkan dan menjaga amanah tersebut, misalnya sebagai anak haruslah patuh dan tak boleh durhaka kepada kedua orangtuanya. Begitu pula sebagai ayah atau ibu, di mana anak merupakan amanah Allah yang dititipkan kepada mereka, bagaimana seharusnya mereka bersikap dan memperlakukan amanah tersebut. Juga sebagai suami, istri, saudara dan seterusnya.
Ketiga, dalam hubungan berkehidupan berkemasyarakatan. Apakah kita sudah benar-benar peduli dengan lingkungan sekitar kita? Sudahkah kita mengulurkan tangan untuk fakir miskin dan anak yatim di sekeliling kita, sehingga tidak ‘dicap’ sebagai pendusta agama oleh Allah? (QS. Al Maa’uun: 1-3). Bagaimana pula sikap kita terhadap kemiskinan struktural dan kesenjangan-kesenjangan sosial yang tak jauh dari realitas keseharian kita? Sudahkan kita melakukan sesuatu? Masih banyak pertanyaan reflektif lain yang mesti kita tanyakan diri dan –meminjam Sarlito Wirawan Sarwono- “akal sehat dan komitmen” kita masing-masing (Sarlito tidak mau menyebut “hati nurani”, karena menurutnya istilah itu sudah jadi pasaran, malah murahan).
Ramadhan mengajarkan kita untuk berempati dengan realitas kita sendiri. Salah satunya dengan menjadi sosok yang sederhana. Juga sebagai spirit transedental dan nilai-nilai pembebasan serta perlawanan terhadap kekufuran dan kemiskinan yang kian menyedihkan. Yang kaya semakin kaya, yang miskin kian terpuruk. Belum lagi praktik kapitalisme yang semakin menggerogoti umat, bahkan kini dengan berani membaurkan diri dalam tema religiusitas dengan langgam menyaru program-program religi populer saban hari di televisi. Semangat pembebasan dan perlawanan inilah yang tersirat dari esensi dan hikmah Ramadhan.

Diperlukan nalar kritis
Dan terakhir, dalam kehidupan bernegara. Sebagai warga negara yang baik, kita tentu diharuskan taat dan patuh kepada ulil amri; para pemimpin kita. Namun, jika sikap dan perilaku para pemimpin itu sendiri sudah cenderung mengarah kepada kebatilan dan kemaksiatan, di sinilah diperlukan nalar kritis dan sikap skeptis kita. Realitas sendiri sekarang telah berbicara, mental korup para pemimpin sudah menjadi mindset utama. Bahkan, sebagaimana diwartakan media beberapa waktu terakhir, pengadaan Al-Quran, sebagai landasan, arah dan pedoman hidup umat Islam, juga dikorupsi. Karena itu, diperlukan sikap kritis, skeptis dan tindak nyata kita untuk melawan berbagai kebobrokan dan kebiadaban ini. Dan, Ramadhan pun datang untuk memberikan pencerahan dan menyadarkan kita untuk kembali mempertanyakan semua hal tersebut.
Akhirul kalam, semoga Ramadhan kali ini memberikan sebuah perspektif baru bagi kita semua. Masih banyak hikmah, baik yang sudah maupun yang belum tersingkap dari Ramadhan sebagai bulan penuh berkah (syahrul mubarak) ini. Mari merayakan Ramadhan dengan penuh kekhusyukan dan kesederhanaan. Menuju semangat pembebasan dan kemerdekaan sebagai manusia yang berlandaskan amar ma’ruf nahi munkar, hingga nanti menyambut hari kemenangan di hari yang fitri.
Seperti telur, yang semakin lama direbus dalam air mendidih, maka semakin keras dan kuatlah ia. Semoga kelak kita menjadi generasi paripurna (insan kamil), sebagaimana yang dimaksud Muhammad Iqbal. Menjadi mukmin yang dalam dirinya terdapat kekuatan, wawasan, perbuatan, dan kebijaksanaan. Sifat-sifat luhur yang dalam wujud tertingginya tergambar dalam akhlak Nabi Muhammad SAW; teladan kita semua. Amien ya Rabbal ‘Alamien. []

Penulis adalah mahasiswa Program Studi Psikologi Unsyiah, pernah mondok di Pesantren Jabal Nur Jadid, Manggeng, Abdya.

0 komentar:

Posting Komentar

.