Sebuah
anugerah dan rahmat yang tak ternilai harganya karena kita hampir menuntaskan
pelaksanaan ibadah puasa di bulan Ramadhan 1433 Hijriyah tahun ini. Sebagai
seorang muslim yang mukmin, perintah untuk melaksanakan ibadah puasa ini
merupakan kewajiban dan juga ibadah yang langsung dipersembahkan kepada Allah.
Artinya kita mempertanggungjawabkan ibadah puasa kepada Allah secara langsung
dan rahasia, tanpa diketahui oleh orang lain.
Sebagai
ibadah yang sifatnya ‘privat’, maka selayaknya esensi dan nilai-nilai yang
terkandung dalam ibadah puasa ini harus mampu kita resapi dan pahami dengan
sebenar-benarnya, untuk kemudian diejawantahkan dalam praksis kehidupan
sehari-hari. Memaknai kembali Ramadhan, berarti kita meredefinisi dan
mengaktualisasikan ruh Ramadhan dalam pribadi masing-masing.
Prinsip
egalitarian
Karena
itu, mari kita jadikan momentum Ramadhan ini sebagai ajang menuju level
tertinggi; menjadi muttaqin (orang
bertaqwa) sebagaimana yang dijanjikan Allah swt (QS. Al-Baqarah: 183). Dari
sini kita temukan bentuk lain manifestasi keindahan dan keadilan Islam itu
sendiri, yaitu prinsip egalitarian atau kesetaraan dan kesederajatan terkait
dengan status dan eksistensi manusia. Tanpa melihat latar belakang seseorang,
semua sama di hadapan Allah. Yang membedakan dan membuat seseorang tersebut
mulia di sisiNya adalah kadar keimanan dan ketakwaan (QS. Al-Hujarat: 13).
Dengan
spirit tersebut, semua orang mempunyai kesempatan yang sama untuk menjadi orang
bertakwa kepada Allah. Menjadi muttaqin
ini, berarti kita harus mampu ‘membumikan’ ucapan, sikap dan tindak-tanduk kita
sebagaimana konsekuensi kita untuk menjadi orang yang bertaqwa di sisi Allah.
Ketika kita telah berkomitmen ingin menjadi orang yang bertaqwa, maka sikap
tersebut harus diwujudkan dalam bentuk mengerjakan semua perintah-Nya dan
menjauhi larangan-larangan-Nya (amar
ma’ruf nahi munkar).
Dalam
konteks Ramadhan, begitu banyak pelajaran dan hikmah yang bisa direguk untuk
menegakkan amar ma’ruf nahi munkar
ini. Artinya di bulan yang penuh keampunan ini, sejatinya merupakan ladang amal
bagi kita semua untuk menyemai setiap benih-benih kebaikan dan kebajikan sesuai
dengan prinsip amar ma’ruf nahi munkar
tersebut.
Dengan
Ramadhan ini pula, seharusnya merupakan langkah awal untuk merekonstruksi dan
merestorasi makna hidup dan kehidupan kita sendiri untuk mencapai hakikat
kemanusiaan yang sebenarnya. Kemanusiaan yang dimaksud di sini, sejatinya
merupakan konsep humanisme yang berpusat dan berorientasi langsung kepada Allah
(teosentris) sebagai pemilik kosmos, ruang dan waktu serta awwalu wa akhiru (yang awal dan yang terakhir).
Sebagaimana
dikatakan HD. Bastaman, bahwa setiap orang menginginkan dirinya menjadi orang
yang bermartabat dan berguna bagi dirinya, keluarga, lingkungan kerja,
masyarakat sekitar, dan berharga di mata Tuhan. Setiap manusia berbeda cara
dalam mengekspresikan kehidupan untuk mencapai makna hidupnya. Mencapai makna
hidup dalam ibadah puasa di bulan Ramadhan ini hanya bisa dilakukan dengan
meresapi dan merenungi diri sebagai hamba Allah, untuk kemudian direfleksikan
dalam aktivitas sehari-hari.
Ramadhan
Transformatif
Sebagai
refleksi bersama, ada beberapa hal yang mestinya menjadi perhatian kita terkait
dengan momentum Ramadhan ini. Pertama,
dalam tataran individu, hendaknya Ramadhan menjadi bahan kontemplasi bagi kita
untuk menjadi manusia yang sebenar-benarnya. Mencapai makna hidup dan menuju
level tertinggi; menjadi muttaqin. Sehingga kita dengan sebenar-benarnya
menangisi dosa-dosa yang telah pernah kita lakukan dan bersungguh-sungguh
mengikat komitmen di hadapan Allah untuk bertaubat dengan sepenuh hati.
Kedua,
dalam konteks berkeluarga. Baik sebagai anak, saudara, suami, istri, ayah
ataupun ibu. Bagaimana kita mempertanggungjawabkan dan menjaga amanah tersebut,
misalnya sebagai anak haruslah patuh dan tak boleh durhaka kepada kedua
orangtuanya. Begitu pula sebagai ayah atau ibu, di mana anak merupakan amanah
Allah yang dititipkan kepada mereka, bagaimana seharusnya mereka bersikap dan
memperlakukan amanah tersebut. Juga sebagai suami, istri, saudara dan
seterusnya.
Ketiga,
dalam hubungan berkehidupan berkemasyarakatan. Apakah kita sudah benar-benar
peduli dengan lingkungan sekitar kita? Sudahkah kita mengulurkan tangan untuk
fakir miskin dan anak yatim di sekeliling kita, sehingga tidak ‘dicap’ sebagai
pendusta agama oleh Allah? (QS. Al Maa’uun: 1-3). Bagaimana pula sikap kita
terhadap kemiskinan struktural dan kesenjangan-kesenjangan sosial yang tak jauh
dari realitas keseharian kita? Sudahkan kita melakukan sesuatu? Masih banyak
pertanyaan reflektif lain yang mesti kita tanyakan diri dan –meminjam Sarlito
Wirawan Sarwono- “akal sehat dan komitmen” kita masing-masing (Sarlito tidak
mau menyebut “hati nurani”, karena menurutnya istilah itu sudah jadi pasaran,
malah murahan).
Ramadhan
mengajarkan kita untuk berempati dengan realitas kita sendiri. Salah satunya
dengan menjadi sosok yang sederhana. Juga sebagai spirit transedental dan
nilai-nilai pembebasan serta perlawanan terhadap kekufuran dan kemiskinan yang
kian menyedihkan. Yang kaya semakin kaya, yang miskin kian terpuruk. Belum lagi
praktik kapitalisme yang semakin menggerogoti umat, bahkan kini dengan berani
membaurkan diri dalam tema religiusitas dengan langgam menyaru program-program
religi populer saban hari di televisi. Semangat pembebasan dan perlawanan
inilah yang tersirat dari esensi dan hikmah Ramadhan.
Diperlukan
nalar kritis
Dan
terakhir, dalam kehidupan bernegara. Sebagai warga negara yang baik, kita tentu
diharuskan taat dan patuh kepada ulil
amri; para pemimpin kita. Namun, jika sikap dan perilaku para pemimpin itu
sendiri sudah cenderung mengarah kepada kebatilan dan kemaksiatan, di sinilah
diperlukan nalar kritis dan sikap skeptis kita. Realitas sendiri sekarang telah
berbicara, mental korup para pemimpin sudah menjadi mindset utama. Bahkan, sebagaimana diwartakan media beberapa waktu
terakhir, pengadaan Al-Quran, sebagai landasan, arah dan pedoman hidup umat
Islam, juga dikorupsi. Karena itu, diperlukan sikap kritis, skeptis dan tindak
nyata kita untuk melawan berbagai kebobrokan dan kebiadaban ini. Dan, Ramadhan
pun datang untuk memberikan pencerahan dan menyadarkan kita untuk kembali
mempertanyakan semua hal tersebut.
Akhirul kalam,
semoga Ramadhan kali ini memberikan sebuah perspektif baru bagi kita semua.
Masih banyak hikmah, baik yang sudah maupun yang belum tersingkap dari Ramadhan
sebagai bulan penuh berkah (syahrul
mubarak) ini. Mari merayakan Ramadhan dengan penuh kekhusyukan dan
kesederhanaan. Menuju semangat pembebasan dan kemerdekaan sebagai manusia yang
berlandaskan amar ma’ruf nahi munkar,
hingga nanti menyambut hari kemenangan di hari yang fitri.
Seperti
telur, yang semakin lama direbus dalam air mendidih, maka semakin keras dan
kuatlah ia. Semoga kelak kita menjadi generasi paripurna (insan kamil), sebagaimana yang dimaksud Muhammad Iqbal. Menjadi
mukmin yang dalam dirinya terdapat kekuatan, wawasan, perbuatan, dan
kebijaksanaan. Sifat-sifat luhur yang dalam wujud tertingginya tergambar dalam
akhlak Nabi Muhammad SAW; teladan kita semua. Amien ya Rabbal ‘Alamien. []
Penulis
adalah mahasiswa Program Studi Psikologi Unsyiah, pernah mondok di Pesantren
Jabal Nur Jadid, Manggeng, Abdya.
0 komentar:
Posting Komentar