Aceh adalah daerah yang kaya. Bukan cuma Sumber Daya Alam
(SDA)-nya, tetapi juga khazanah etnik serta kebudayaannya. Banyak suku yang
mendiami daerah-daerah yang ada di Aceh. Mulai dari suku Aceh, Gayo, Alas,
Tamiang, Kluet, Aneuk Jamee, Singkil, Pasee, Simeulu, Tionghoa, Karo, Devayan,
Sigulai, Julu, Haloban dan suku-suku lainnya. Ini membuktikan bahwa Aceh,
seperti juga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan suatu daerah
yang dihuni oleh masyarakat dengan berbagai latar belakangnya yang sangat
plural.
Menjalani kehidupan dalam lingkungan yang plural ini
memang sarat dengan dinamika dan kompleksitasnya tersendiri. Butuh toleransi
dan solidaritas yang tinggi dalam setiap interaksi keberagaman tersebut. Karena
jika sempat terjadi kesalahpahaman, maka peluang konflik antar etnik itu sangatlah
besar. Hanya dengan sebuah pemicu (trigger) kecil saja, hal itu bisa
menjadi perang yang akan sangat sulit untuk diredam.
Sudah banyak sekali rekam jejak konflik etnik yang
terjadi di Indonesia. Contohnya konflik yang terjadi antara Suku Madura dan
Suku Dayak dan dikenal sebagai tragedi Sampit, Suku Tidung dan Suku Bugis,
konflik etnik yang berujung pada konflik agama di Poso, konflik etnik di Papua
serta masih banyak lagi.
Jika hal ini terus dibiarkan dan tak diantisipasi dari
sekarang, besar kemungkinan konflik-konflik serupa akan menjelma kembali ke
permukaan. Potensi konflik itu selalu ada, tinggal bagaimana cara
mengantisipasinya saja. Apabila hal ini tak dilihat sebagai permasalahan serius
yang perlu diperhatikan, maka konsekuensinya akan dirasakan di tahun-tahun
mendatang.
Permasalahan
Berbicara masalah konflik itu tak
terlepas dari konteks dinamika yang akan selalu ada mengiringi proses
berkehidupan dan berkemasyarakatan manusia. Menurut Hocker dan Wilmot (dalam
Isenhart dan Spangle, 2000), konflik adalah ekspresi perjuangan di antara
minimal dua belah pihak yang saling tergantung untuk mencapai tujuan tertentu,
di mana dua pihak itu merasa tidak memiliki kesamaan tujuan, memperebutkan
sumber daya yang langka, dan merasa adanya campur tangan pihak lain dalam upaya
pencapaian tujuan.
Dalam konteks Aceh, benih-benih konflik
antar etnik itu sudah ada. Serupa fenomena gunung es, hanya kasus-kasus
tertentu saja yang tampak di permukaan. Salah satunya, sikap salah kaprah
seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) terhadap mahasiswa suku
non-Aceh dalam sebuah demonstrasi yang terjadi di depan gedung DPRA (Serambi
Indonesia, 18/02/2011), sebagaimana dikutip dari opini Sehat Ihsan Shadiqin
(SIS) pada media yang sama. Saat itu, seorang anggota DPRA mengatakan bahwa
mahasiswa yang berasal dari Gayo dianggap bukan bagian dari Aceh karena mereka
tidak bisa berbahasa Aceh (SI, 21/03/2011).
SIS mengatakan bahwa apa yang dilakukan
oleh anggota dewan tersebut adalah representasi hegemoni suku mayoritas atas
suku minoritas yang ada di Aceh. Apalagi hal itu dilakukan oleh anggota dewan
yang merupakan representasi masyarakat Aceh secara umum. Artinya, fenomena
hegemoni kaum mayoritas terhadap minoritas itu terjadi dari level pemerintah
kepada masyarakat (bottom-up), bukan sebaliknya (top-down),
sehingga unsur diskriminasinya semakin kentara terasa.
Kasus ini setidaknya mengindikasikan
satu hal, bahwa masih ada praktik diskriminasi dari pemangku kebijakan (stakeholder)
terhadap elemen masyarakat tertentu dalam sikap dan perilaku yang mengarah
kepada hal-hal yang bersifat rasial. Sehingga kemudian berimbas pada kekecewaan
massal serta keinginan untuk memisahkan diri dari daerah asal. Maka tak
mengherankan jika kemudian muncul pernyataan-pernyataan untuk memisahkan diri
dari Provinsi Aceh, seperti hasrat Aceh Leuser Antara (ALA) dan Aceh Barat
Selatan (ABAS) untuk membentuk provinsi baru.
Merujuk pada kasus di atas, pemerintah yang direpresentasikan
oleh suku mayoritas telah menampakkan hegemoni kesukuannya dalam hal penggunaan
bahasa. Di sini sudah mulai tampak adanya upaya yang mengarah kepada sikap
etnosentrisme, yaitu cara pandang dan penafsiran perilaku orang lain dari
kacamata kultural orang itu sendiri. Suku mayoritas menganggap bahwa bahasanya
harus dimengerti oleh semua suku-suku lain yang ada di daerahnya. Sementara
mereka sendiri tak mau tahu dengan khazanah bahasa suku-suku lain tersebut,
bahkan cenderung meremehkannya.
Sikap abai pemerintah terhadap interaksi lintas etnik ini
akan menghasilkan kecenderungan besar terjadinya disintegrasi antar etnik. Dari
sini pula akar permasalahan timbulnya rasa ketidakadilan karena adanya
prasangka (prejudice) terhadap etnik-etnik
tertentu. Maka dengan serta-merta pula kepercayaan (trust) terhadap pemerintah semakin menipis, bahkan bisa jadi hilang
tak berbekas.
Jika sudah begini, maka bisa
dipastikan keadilan dan kesejahteraan terhadap semua elemen masyarakat Aceh itu
jauh panggang dari api. Pemerintah tidak mampu memosisikan diri sebagai panutan
yang independen karena telah ‘memihak’ dengan melabeli diri dengan identitas
kesukuan tertentu serta memiliki pola pandang etnosentrisme diskriminatif yang
berbasis prasangka.
Solusi
Sebagai refleksi, sikap orang
Amerika berikut ini mungkin bisa menjadi renungan bagi semua dalam hal
menyikapi keberagaman, terutama dalam hal penggunaan bahasa. Di awal abad
ke-20, banyak orang Amerika yang mengira bahwa mengetahui lebih dari satu
bahasa adalah sesuatu hal yang harus dihindari. Yang umum dipercaya adalah
bahwa manusia hanya mempunyai “ruang” terbatas untuk menyimpan bahasa. Jika
mempelajari “terlalu banyak” bahasa, maka mereka beranggapan bahwa hal tersebut
akan mengambil “ruang” yang diperuntukkan sebagai fungsi-fungsi lain seperti
intelegensi. Sekarang mereka menyadari bahwa hal tersebut salah dan tidak ada
bukti bahwa orang dengan dua bahasan atau lebih (bilingual) lebih buruk kemampuannya dalam tugas-tugas intelektual
atau tugas-tugas lain. Sebaliknya, ada bukti yang menunjukkan bahwa pengetahuan
mengenai lebih dari satu bahasa dapat meningkatkan fleksibilitas kognitif
(Matsumoto, 1994).
Berawal dari semangat tersebut, setidaknya
ini menjadi fondasi awal untuk merekonstruksi pembangunan Aceh ke depan. Butuh
sebuah pemahaman yang lebih mendalam untuk lebih menghargai perbedaan dan
keberagaman. Modal sosial inilah yang dibutuhkan masyarakat di tengah krisis
multi-dimensi yang melanda negeri.
Sementara bagi pemerintah sendiri, sebagai
pemimpin yang harus bersikap adil, pendekatan empati dan toleransi terhadap
semua elemen masyarakat tanpa pandang bulu merupakan sebuah kewajiban. Karena
itu, ke depan hal ini bisa dijadikan persyaratan mutlak bagi calon pemimpin
untuk setidaknya memahami keunikan-keunikan budaya dan latar belakang sosial masyarakatnya
secara umum serta mampu memosisikan diri sebagai figur yang independen di
tengah keberagaman agar ke depan bisa bersikap adil dengan menghilangkan
benih-benih prasangka etnik.
Prasyarat tersebut adalah hal yang
niscaya karena pendekatan budaya seperti ini sejatinya sangat diperlukan dalam
memahami fenomena sosial atau budaya suatu komunitas masyarakat, namun
realitasnya sering diabaikan begitu saja. Padahal sebagaimana yang pernah ditulis
Indra Jaya Piliang (IJP), pendekatan budaya dalam menyelesaikan konflik itu
sangatlah penting. IJP dalam bukunya mengkritik polemik konflik antara Republik
Indonesia (RI) dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang selalu dilihat dari kacamata
politik atau ekonomi, bukan melalui pendekatan kebudayaan.
Sejauh ini, studi tentang
nasionalisme dan separatisme selalu didekati secara politik atau ekonomi.
Sekalipun terdapat pendekatan kebudayaan, tetap saja pada ujungnya muncul
rekomendasi-rekomendasi politik. Rekomendasi itu berupa jabaran-jabaran tentang
bentuk pemerintahan, misalnya antara kesatuan (unitarian) atau federal.
Padahal, kalau dilihat dari kemajuan ilmu pengetahuan dewasa ini, bahkan juga
semangat anti-ilmu pengetahuan, seperti pertarungan antara modernisme dan
pascamodernisme, maka terbuka lebar upaya untuk menjadikan pendekatan
kebudayaan yang berujung pada komunikasi sebagai satu pilihan (Indra, 2010:
160).
Menciptakan kesadaran akan
keberagaman ini memang tidaklah mudah. Butuh proses dan waktu yang lama. Tapi
setidaknya belum terlambat untuk mewujudkan pembangunan Aceh yang ideal; yang
adil dan sejahtera jika direalisasikan mulai saat ini. Karena itu, pemerintah
harus bisa memainkan peran atas keberagaman ini dengan sebaik-baiknya. Sehingga
cita-cita Aceh menuju pembangunan ideal di masa yang akan datang itu
benar-benar bisa diwujudkan.
Sejatinya perbedaan itu tidaklah
bermaksud untuk membeda-bedakan satu sama lain. Semua sama di atas realitas
kehidupan ini. Sehingga tak ada kaum tertentu yang menghegemoni kaum lain hanya
karena mereka berbeda. Karena pada hakikatnya perbedaan itu adalah anugerah,
sehingga ritme kehidupan itu tetap terjaga secara dinamis, tidak monoton dan
didominasi oleh kemonotonan. Dan, ia akan menjadi kian indah apabila diwarnai
oleh perbedaan dan keberagaman yang warna-warni laiknya pesta kembang api di
akhir tahun.
Perbedaan dan keberagaman adalah
keniscayaan. Karena itu setiap orang harus menghargainya. Bukankah dalam Islam
sendiri sudah ditegaskan bahwa perbedaan itu adalah rahmat Allah SWT? []
(Tulisan ini telah diikutkan dalam Sayembara Penulisan
Karya Populer Se-Aceh yang diselenggarakan oleh Independent Research Institute
(IRI)/Lembaga Riset Independen dan berhasil mendapatkan predikat Juara Harapan
III)
0 komentar:
Posting Komentar