26 September 2012

Sejahtera tanpa Prasangka

Leave a Comment
Pendahuluan
Aceh adalah daerah yang kaya. Bukan cuma Sumber Daya Alam (SDA)-nya, tetapi juga khazanah etnik serta kebudayaannya. Banyak suku yang mendiami daerah-daerah yang ada di Aceh. Mulai dari suku Aceh, Gayo, Alas, Tamiang, Kluet, Aneuk Jamee, Singkil, Pasee, Simeulu, Tionghoa, Karo, Devayan, Sigulai, Julu, Haloban dan suku-suku lainnya. Ini membuktikan bahwa Aceh, seperti juga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan suatu daerah yang dihuni oleh masyarakat dengan berbagai latar belakangnya yang sangat plural.
Menjalani kehidupan dalam lingkungan yang plural ini memang sarat dengan dinamika dan kompleksitasnya tersendiri. Butuh toleransi dan solidaritas yang tinggi dalam setiap interaksi keberagaman tersebut. Karena jika sempat terjadi kesalahpahaman, maka peluang konflik antar etnik itu sangatlah besar. Hanya dengan sebuah pemicu (trigger) kecil saja, hal itu bisa menjadi perang yang akan sangat sulit untuk diredam.
Sudah banyak sekali rekam jejak konflik etnik yang terjadi di Indonesia. Contohnya konflik yang terjadi antara Suku Madura dan Suku Dayak dan dikenal sebagai tragedi Sampit, Suku Tidung dan Suku Bugis, konflik etnik yang berujung pada konflik agama di Poso, konflik etnik di Papua serta masih banyak lagi.
Jika hal ini terus dibiarkan dan tak diantisipasi dari sekarang, besar kemungkinan konflik-konflik serupa akan menjelma kembali ke permukaan. Potensi konflik itu selalu ada, tinggal bagaimana cara mengantisipasinya saja. Apabila hal ini tak dilihat sebagai permasalahan serius yang perlu diperhatikan, maka konsekuensinya akan dirasakan di tahun-tahun mendatang.

Permasalahan
            Berbicara masalah konflik itu tak terlepas dari konteks dinamika yang akan selalu ada mengiringi proses berkehidupan dan berkemasyarakatan manusia. Menurut Hocker dan Wilmot (dalam Isenhart dan Spangle, 2000), konflik adalah ekspresi perjuangan di antara minimal dua belah pihak yang saling tergantung untuk mencapai tujuan tertentu, di mana dua pihak itu merasa tidak memiliki kesamaan tujuan, memperebutkan sumber daya yang langka, dan merasa adanya campur tangan pihak lain dalam upaya pencapaian tujuan.
            Dalam konteks Aceh, benih-benih konflik antar etnik itu sudah ada. Serupa fenomena gunung es, hanya kasus-kasus tertentu saja yang tampak di permukaan. Salah satunya, sikap salah kaprah seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) terhadap mahasiswa suku non-Aceh dalam sebuah demonstrasi yang terjadi di depan gedung DPRA (Serambi Indonesia, 18/02/2011), sebagaimana dikutip dari opini Sehat Ihsan Shadiqin (SIS) pada media yang sama. Saat itu, seorang anggota DPRA mengatakan bahwa mahasiswa yang berasal dari Gayo dianggap bukan bagian dari Aceh karena mereka tidak bisa berbahasa Aceh (SI, 21/03/2011).
            SIS mengatakan bahwa apa yang dilakukan oleh anggota dewan tersebut adalah representasi hegemoni suku mayoritas atas suku minoritas yang ada di Aceh. Apalagi hal itu dilakukan oleh anggota dewan yang merupakan representasi masyarakat Aceh secara umum. Artinya, fenomena hegemoni kaum mayoritas terhadap minoritas itu terjadi dari level pemerintah kepada masyarakat (bottom-up), bukan sebaliknya (top-down), sehingga unsur diskriminasinya semakin kentara terasa.
            Kasus ini setidaknya mengindikasikan satu hal, bahwa masih ada praktik diskriminasi dari pemangku kebijakan (stakeholder) terhadap elemen masyarakat tertentu dalam sikap dan perilaku yang mengarah kepada hal-hal yang bersifat rasial. Sehingga kemudian berimbas pada kekecewaan massal serta keinginan untuk memisahkan diri dari daerah asal. Maka tak mengherankan jika kemudian muncul pernyataan-pernyataan untuk memisahkan diri dari Provinsi Aceh, seperti hasrat Aceh Leuser Antara (ALA) dan Aceh Barat Selatan (ABAS) untuk membentuk provinsi baru.
Merujuk pada kasus di atas, pemerintah yang direpresentasikan oleh suku mayoritas telah menampakkan hegemoni kesukuannya dalam hal penggunaan bahasa. Di sini sudah mulai tampak adanya upaya yang mengarah kepada sikap etnosentrisme, yaitu cara pandang dan penafsiran perilaku orang lain dari kacamata kultural orang itu sendiri. Suku mayoritas menganggap bahwa bahasanya harus dimengerti oleh semua suku-suku lain yang ada di daerahnya. Sementara mereka sendiri tak mau tahu dengan khazanah bahasa suku-suku lain tersebut, bahkan cenderung meremehkannya.  
Sikap abai pemerintah terhadap interaksi lintas etnik ini akan menghasilkan kecenderungan besar terjadinya disintegrasi antar etnik. Dari sini pula akar permasalahan timbulnya rasa ketidakadilan karena adanya prasangka (prejudice) terhadap etnik-etnik tertentu. Maka dengan serta-merta pula kepercayaan (trust) terhadap pemerintah semakin menipis, bahkan bisa jadi hilang tak berbekas.
            Jika sudah begini, maka bisa dipastikan keadilan dan kesejahteraan terhadap semua elemen masyarakat Aceh itu jauh panggang dari api. Pemerintah tidak mampu memosisikan diri sebagai panutan yang independen karena telah ‘memihak’ dengan melabeli diri dengan identitas kesukuan tertentu serta memiliki pola pandang etnosentrisme diskriminatif yang berbasis prasangka.

Solusi
            Sebagai refleksi, sikap orang Amerika berikut ini mungkin bisa menjadi renungan bagi semua dalam hal menyikapi keberagaman, terutama dalam hal penggunaan bahasa. Di awal abad ke-20, banyak orang Amerika yang mengira bahwa mengetahui lebih dari satu bahasa adalah sesuatu hal yang harus dihindari. Yang umum dipercaya adalah bahwa manusia hanya mempunyai “ruang” terbatas untuk menyimpan bahasa. Jika mempelajari “terlalu banyak” bahasa, maka mereka beranggapan bahwa hal tersebut akan mengambil “ruang” yang diperuntukkan sebagai fungsi-fungsi lain seperti intelegensi. Sekarang mereka menyadari bahwa hal tersebut salah dan tidak ada bukti bahwa orang dengan dua bahasan atau lebih (bilingual) lebih buruk kemampuannya dalam tugas-tugas intelektual atau tugas-tugas lain. Sebaliknya, ada bukti yang menunjukkan bahwa pengetahuan mengenai lebih dari satu bahasa dapat meningkatkan fleksibilitas kognitif (Matsumoto, 1994).
            Berawal dari semangat tersebut, setidaknya ini menjadi fondasi awal untuk merekonstruksi pembangunan Aceh ke depan. Butuh sebuah pemahaman yang lebih mendalam untuk lebih menghargai perbedaan dan keberagaman. Modal sosial inilah yang dibutuhkan masyarakat di tengah krisis multi-dimensi yang melanda negeri.
            Sementara bagi pemerintah sendiri, sebagai pemimpin yang harus bersikap adil, pendekatan empati dan toleransi terhadap semua elemen masyarakat tanpa pandang bulu merupakan sebuah kewajiban. Karena itu, ke depan hal ini bisa dijadikan persyaratan mutlak bagi calon pemimpin untuk setidaknya memahami keunikan-keunikan budaya dan latar belakang sosial masyarakatnya secara umum serta mampu memosisikan diri sebagai figur yang independen di tengah keberagaman agar ke depan bisa bersikap adil dengan menghilangkan benih-benih prasangka etnik.
            Prasyarat tersebut adalah hal yang niscaya karena pendekatan budaya seperti ini sejatinya sangat diperlukan dalam memahami fenomena sosial atau budaya suatu komunitas masyarakat, namun realitasnya sering diabaikan begitu saja. Padahal sebagaimana yang pernah ditulis Indra Jaya Piliang (IJP), pendekatan budaya dalam menyelesaikan konflik itu sangatlah penting. IJP dalam bukunya mengkritik polemik konflik antara Republik Indonesia (RI) dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang selalu dilihat dari kacamata politik atau ekonomi, bukan melalui pendekatan kebudayaan.
            Sejauh ini, studi tentang nasionalisme dan separatisme selalu didekati secara politik atau ekonomi. Sekalipun terdapat pendekatan kebudayaan, tetap saja pada ujungnya muncul rekomendasi-rekomendasi politik. Rekomendasi itu berupa jabaran-jabaran tentang bentuk pemerintahan, misalnya antara kesatuan (unitarian) atau federal. Padahal, kalau dilihat dari kemajuan ilmu pengetahuan dewasa ini, bahkan juga semangat anti-ilmu pengetahuan, seperti pertarungan antara modernisme dan pascamodernisme, maka terbuka lebar upaya untuk menjadikan pendekatan kebudayaan yang berujung pada komunikasi sebagai satu pilihan (Indra, 2010: 160).
            Menciptakan kesadaran akan keberagaman ini memang tidaklah mudah. Butuh proses dan waktu yang lama. Tapi setidaknya belum terlambat untuk mewujudkan pembangunan Aceh yang ideal; yang adil dan sejahtera jika direalisasikan mulai saat ini. Karena itu, pemerintah harus bisa memainkan peran atas keberagaman ini dengan sebaik-baiknya. Sehingga cita-cita Aceh menuju pembangunan ideal di masa yang akan datang itu benar-benar bisa diwujudkan.
            Sejatinya perbedaan itu tidaklah bermaksud untuk membeda-bedakan satu sama lain. Semua sama di atas realitas kehidupan ini. Sehingga tak ada kaum tertentu yang menghegemoni kaum lain hanya karena mereka berbeda. Karena pada hakikatnya perbedaan itu adalah anugerah, sehingga ritme kehidupan itu tetap terjaga secara dinamis, tidak monoton dan didominasi oleh kemonotonan. Dan, ia akan menjadi kian indah apabila diwarnai oleh perbedaan dan keberagaman yang warna-warni laiknya pesta kembang api di akhir tahun.
            Perbedaan dan keberagaman adalah keniscayaan. Karena itu setiap orang harus menghargainya. Bukankah dalam Islam sendiri sudah ditegaskan bahwa perbedaan itu adalah rahmat Allah SWT? []

(Tulisan ini telah diikutkan dalam Sayembara Penulisan Karya Populer Se-Aceh yang diselenggarakan oleh Independent Research Institute (IRI)/Lembaga Riset Independen dan berhasil mendapatkan predikat Juara Harapan III)

0 komentar:

Posting Komentar

.