4 Januari 2017

Penyala Semangat Anak-anak Hebat

Leave a Comment
© Dok Pribadi
Bayi laki-laki di gendongan perempuan itu sesekali menangis. Ada benjolan di antara hidung dan mata kiri serta di kulit kepala sebelah kirinya. Muhammad Asril, bayi berusia 6 bulan itu mengidap hydrocephalus. Ia baru menjalani operasi pengalihan cairan otak yang menumpuk di kepalanya di Rumah Sakit Zainoel Abidin (RSUZA) Banda Aceh, awal Maret lalu.

Asril bersama ibunya, Aminah saat ini tinggal di Rumah Singgah Children Cancer Care Community (C-Four), yaitu rumah yang disediakan relawan C-Four Aceh di di Lorong Blang Cut, Lambhuk, Banda Aceh.

Rumah Singgah ini diresmikan sejak 24 Desember 2015 lalu sebagai tempat tinggal sementara bagi anak-anak penderita kanker yang sedang berobat di RSUZA.

“Sudah dua bulan,” ujar Aminah, malu-malu ketika ditanya berapa lama sudah tinggal di Rumah Singgah.

Mengenang kisah Aminah dan anaknya, membuat Ratna Eliza, sosok yang beberapa tahun terakhir mendampingi anak-anak kanker di Rumah Singgah itu, sedih. Sembari menyuapi Asril, ia menceritakan awal mula pertemuannya dengan perempuan asal Krueng Geukeuh, Aceh Utara itu.

Ratna tahu perihal Aminah dari Laila Wati, ibu dari Ajrina Marla, anak pengidap kanker rhabdomsyarcoma yang sudah duluan tinggal di Rumah Singgah dan saat itu sedang berada di ruang Pediatric Intensive Care Unit (PICU) RSUZA setelah menjalani operasi.

Sewaktu di ruang PICU itu, Laila melihat Aminah sedang tertidur di tangga rumah sakit tersebut. Tak berpikir lama, Laila langsung menghubungi Ratna.

“Ada pasien saya lihat, Bu. Kasihan,” ujar Ratna, menirukan ucapan Laila. “Malam itu langsung saya turun. Lalu saya bawa ke sini (Rumah Singgah).”

Lebih memiriskan lagi, Ratna baru tahu jika suami Aminah meninggalkan istrinya itu ketika Asril masih dalam kandungan. “Lima bulan kandungan, suaminya lari ke Jawa,” tutur Ratna.

Ratna mengungkapkan, sewaktu pertama kali membawa Asril berobat ke Banda Aceh, Aminah meminjam uang dari tetangganya.

“Waktu sudah ke sini (Rumah Singgah), udah dikasih duit, baru dia lunasin,” kenang Ratna.

Saat ini, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dirinya dan si kecil Asril selama tinggal di rumah tersebut, Aminah berjualan berbagai macam jenis gorengan.

Sebenarnya, untuk biaya operasi dan perawatan anak di rumah sakit tak perlu bayar lagi, sementara kebutuhan sehari-hari selama di Rumah Singgah, C-Four yang menanggung. Termasuk masalah transportasi jika Aminah dan anaknya hendak pulang ke kampung.

Tapi, ia memilih berusaha sendiri sambil bantu-bantu dan merawat anaknya di Rumah Singgah tersebut bersama relawan C-Four lainnya.

Mengingat anak-anak pengidap kanker yang pernah didampingi C-Four seperti Aminah dan anaknya membuat perasan Ratna campur aduk. Sedih, senang, kecewa, dan marah berkecamuk dalam benaknya.

Semuanya bermula awal Januari 2014 lalu. Saat itu, Ratna tinggal di rumahnya di Beurawe, Banda Aceh. Suatu hari, Ratna melihat seorang anak turun dari becak dengan ibunya. Namanya Annisa Alqaisya Funnari, usia 4 tahun asal Lhokseumawe.

Ada benjolan besar yang memenuhi leher anak itu. Ratna mengira itu gondok. “Karena mau tahu, saya datangi. Saya tanya, kenapa, gondok ya?” tanya Ratna waktu itu. “Bukan, Bu. Ini kanker,” sahut ibunya.

Ratna terkejut karena tak mengira benjolan kanker yang sangat besar. Ibunya cerita, Annisa hendak dirujuk RSUZA ke RS Dharmais, pusat penanganan kanker di Jakarta. Tapi tak punya biaya untuk transportasi dan kebutuhan hidup di sana nanti.

“Oke, saya bantu, karena kasihan saya lihat,” kata Ratna.

Lalu, Ratna membawa mereka ke Dinas Sosial Aceh. Ia meminta bantuan dana untuk biaya pengobatan Annisa di Jakarta. Namun, orang yang dijumpai di Dinsos itu mengaku tak ada plot dana khusus untuk kasus seperti ini. Ratna bingung.

“Sempat juga saya bilang ke Bapak itu, aneh ya, saya bukan orang Aceh, tapi peduli sama anak Aceh. Tapi kenapa orang Aceh kok nggak peduli ya?”

Mendengar pengakuan demikian, akhirnya bapak tersebut memberikan uang pribadinya sekitar Rp400 ribu. Ratna meyakinkan mereka bahwa ia akan tetap membantu mereka untuk dapatkan dana.

Pascakejadian itu, Ratna berpikir. Kalau terus begitu, ia tak tahu harus minta bantuan kepada siapa. “Saya pendatang dan nggak kenal orang-orang di sini,” akunya. Ratna berasal dari Palembang dan menikah dengan suaminya dari Pidie.

Akhirnya, ia berinisiatif mengunggah foto-foto anak yang menderita tumor atau kanker di media sosial Facebook. Ternyata foto-foto itu mendapatkan respons dari teman-teman semasa SMP Ratna di Palembang dan mengirimkan sejumlah uang.

Dan akhirnya, Annisa jadi berangkat ke Jakarta.

Ketika hendak mendampingi Annisa ke Jakarta, Ratna mendapati kabar ada anak umur 1 tahun menderita retinablastoma atau kanker mata stadium lanjut di RSUZA, Airan Barat dari Subulussalam.

Kedua bola mata anak itu menyembul keluar. Ketika menangis, darah dan nanah turut mengalir dari matanya. Bola mata sebelah kanan sudah berukuran hampir sebesar bola kasti. Mendapati kenyataan itu, Ratna merasa sangat terpukul.

“Saya seharian tidak bisa tidur, nangis. Karena memikirnya matanya si Airan ini. Kita bisul saja sakit, apalagi kayak gini,” kata Ratna.

Ia merasa tak sanggup melihat dan membayangkan kondisi bocah penderita kanker mata dalam kondisi separah itu. Namun Ratna mulai berpikir lagi. Tangisnya itu tak akan menyelesaikan masalah.

“Saya menyalahkan Tuhan tak mungkin. Sedangkan kita sebagai ciptaan-Nya, ya harus menerima.”

Sejak momen itu, Ratna pun memutuskan bertekad dalam hatinya; lihat Airan, tapi tidak menangis. Ratna pun mendampingi Airan, hingga bola mata bocah itu tak lagi menyembul dan mengeluarkan darah.

Ia juga menceritakan perihal Airan pada anggota Komisi IV DPRA yang membidangi Kesehatan dan Pendidikan, Darwati A Gani, dan turut membantu pengobatan Airan.

Hingga akhirnya bocah itu meninggal setelah menjalani kemoterapi ketiga, 23 Maret 2014 pada usia 1,5 tahun.

Pascakejadian itu, Ratna kembali terpukul. Ditambah beberapa kasus anak kanker lain yang didampinginya yang juga tak terselamatkan, Ratna sempat vakum selama hampir setahun.

“Saya down waktu itu. Melihat anak-anak meninggal, saya merasa tak bisa kasih harapan untuk mereka,” tuturnya.

Ia merasa sangat bersedih ketika mengenang kondisi keluarga mendiang Airan. Bapak dan ibu Airan adalah salah satu keluarga kurang mampu yang tinggal di Subulussalam.

“Waktu itu saya tanya ke bapaknya Airan, ‘kok bisa mata anaknya bisa kayak gini?’ Katanya ada sesuatu di matanya, lalu dibawa ke Puskesmas, dikasih salep.”

Namun matanya tak kunjung sembuh. Ratna lalu bertanya lagi, setelah itu dibawa kemana. Bapaknya bilang Airan dibawa ke dukun. Di sana, menurut pengakuan bapaknya, Airan “disembur pakai daun sirih.”

“Saya bilang, ‘Lho, itu mulut dukun, steril nggak?’ Nggak tahu saya, Bu, katanya. Itulah, dari tingkat pengetahuan orang tua, nggak tahu ya, penyakit anak itu apa,” tutur guru di SMA Labschool Unsyiah itu.

Ratna juga mempertanyakan kinerja tenaga medis, terutama yang ada di daerah yang terkesan tak terlalu memedulikan kondisi anak yang butuh penanganan serius seperti kanker dan tumor ini.

Seperti kasus mendiang Airan yang hanya dikasih salep, padahal dia mengalami kanker mata, bukan iritasi biasa.

“Tenaga medis itu kan harusnya memang lebih peduli pada penanganan pasien. Kalau di daerah banyak kita dengar, misalnya Puskesmas cepat sekali tutup, dokter nggak ada, gimana mau tangani kasus-kasus seperti ini?” protes Ratna.

Ia mencontohkan kasus yang menimpa Aminah, ibunya Asril.

Saat itu, masa berlaku rujukannya di RSUZA sudah habis. Namun pihak RSUZA terkesan mempersulit adminstrasi dengan mewajibkan Aminah membuat rujukan di RS di Aceh Utara dengan membawa serta anaknya, Asril ketika membuat rujukan di sana.

“Apa salahnya bisa diperpanjang, ya bisalah dibantu di sana. Tapi ini nggak, kan kasihan kita,” kata Ratna.

Namun, Ratna mengancam. Jika nanti Ratna masa berlaku rujukan Aminah sudah habis lagi dan ketika membuat rujukan masih dipersulit administrasinya, “Saya akan ngadu ke DPRA!” cetus Ratna.

Selain tenaga medis, pejabat di kabupaten/kota juga terkesan tak peduli dengan nasib anak-anak kanker ini.

“Pemerintah, dinas sosial, turunlah. Lihat kondisi anak-anak ini. Kita tak berharap muluk-muluk, kasih seikhlasnya saja. Dengan adanya perhatian dari instansi pemerintah ini, orang tua akan senang ngobatin anaknya,” ujar Ratna.

Belum lagi stigma masyarakat terhadap anak-anak kanker ini juga membuat Ratna geleng-geleng kepala. Ia tak habis pikir, saat ini masyarakat masih berpandangan negatif terhadap derita yang dialami anak-anak ini.

Ratna menuturkan, sewaktu mencari rumah sewa untuk dijadikan sebagai Rumah Singgah dulu, ia harus mengurut dada. Tiga kali ia harus bernegosiasi menyewa rumah, namun semua ditolak pemiliknya.

Sebenarnya, kata Ratna, salah satu pemilik rumah itu sudah setuju menyewakan. Namun, ketika Ratna bilang rumah itu merupakan penampungan anak-anak kanker, sang pemilik menolak dengan halus.

Alasan pemilik rumah itu menolak, kata Ratna mengutip pemilik rumah itu, karena “tetangga saya nggak enak lihat anak-anak kanker botak-botak.”

Namun, sedemikian banyak halangan dan kendala yang dihadapi Ratna untuk membantu dan mendampingi anak-anak penderita kanker, pada akhirnya justru hanya akan membuat Ratna kian tegar.

“Anak-anak hebat bukanlah anak-anak kanker. Mereka adalah pejuang sebenarnya. Bukan kita yang ngajarin mereka, kitalah yang seharusnya belajar dari mereka.”

Hal itu pula yang selalu ditularkan Ratna kepada setiap orang tua dari anak-anak penderita kanker.

“Orang tua nggak boleh sedih, harus kuat. Karena anak-anak ini kan kontak batinnya ke orang tua. Jika orang tua kuat, anak akan kuat. Saat orang tua itu nangis, anak itu akan down,” ungkap Ratna.

Saat ini, Rumah Singgah sudah mendampingi sebanyak 40 anak-anak kanker dari seluruh kabupaten/kota yang ada di Aceh per April 2016 yang dibantu oleh sekitar 15 orang relawan C-Four yang terdiri dari mahasiswa dan pekerja.

Donasi masyarakat diperoleh C-Four dari foto-foto anak-anak kanker dan tumor yang diunggah ke Facebook. C-Four juga dibantu oleh Baitul Mal Aceh, Dompet Dhuafa, dan bergabung di laman galang dana dan donasi, kitabisa.com.

Selain itu, Ratna bersama relawan lainnya berencana akan menambah sumber pendanaan mereka dari penjualan kaus oblong atau T-shirt logo C-Four.

“Mimpi saya cuma satu; punya rumah singgah untuk anak-anak kanker yang dibiayai oleh pemerintah, sehingga mereka tak berpikir lagi tinggal di mana nanti,” harap Ratna. []

Tabloid Satu Aceh, Edisi I

0 komentar:

Posting Komentar

.