Vladimir Kazanevsky @cartoonmovement.com |
Mari kita mulai paparan ini dengan dua pertanyaan mendasar: apakah rakyat benar-benar memiliki kekuasaan dalam demokrasi? Benarkan kekuasaan rakyat ini membuatnya bisa memilih dalam pemilu sesuai kehendak dirinya sendiri?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, penting kiranya untuk memeriksa kembali peran instrumen demokrasi dalam hubungannya dengan kekuasaan rakyat dalam konteks sejarah Indonesia.
Demokrasi, bagi filsuf Slovenia, Slavoj Žižek (1999) mengandung sejumlah paradoks. Ia menganalogikan demokrasi liberal ini seperti orang yang menekan tombol tutup pintu pada lift. Ditekan atau tidak, pintu lift tak akan tertutup lebih cepat. Yang ada hanyalah kesan bahwa kita mampu mengontrol pintu lift tertutup lebih cepat dengan menekan tombolnya.
Inilah yang dinamakan Žižek sebagai ilusi kontrol. Ia telah menjadi salah satu paradoks dalam demokrasi. Rakyat seolah punya kuasa untuk mengontrol pemerintah ketika memilih dalam pemilu atau pilkada. Padahal, kontrol pada pemerintah itu hanyalah ilusi.
Demokrasi liberal dengan paradoksnya hanya menguntungkan kaum borjuis dalam sistem kerja kapitalisme. ‘Ilusi demokratis’ ini menjadikan nilai-nilai demokrasi sebagai satu-satunya solusi terhadap segala permasalahan.
Ia menghalangi berbagai transformasi radikal untuk keluar dari sistem kapitalisme. Alain Badiou (dalam Žižek, 2009: 87) bahkan menyatakan bahwa musuh kita saat ini bukanlah Imperialisme (Empire) atau Kapitalisme (Capital), tapi Demokrasi.
Saat ini, kita dengan gamblang bisa menyaksikan bagaimana ilusi kontrol demokrasi ini beroperasi. Salah satunya terkait penggunaan jargon-jargon klise yang merujuk pada pelaksanaan pilkada yang dipopulerkan para pengamat dan media massa, seperti ‘pesta demokrasi’, ‘pesta lima tahunan’, ‘kenduri politik’, ‘tahun politik’ dan sebagainya.
Jargon-jargon ini justru problematis mengingat paradoks yang dikandung dalam demokrasi itu sendiri. ‘Pesta’ atau ‘kenduri’ seperti apa yang sebenarnya diandaikan sedang dirayakan rakyat? Apakah rakyat benar-benar ber-‘sukacita’ dalam menyambut pelaksanaannya?
Persoalan demokrasi yang lebih menekankan aspek elektoral dalam wujud pelaksanaan pemilu menyisakan pertanyaan bagi kita semua. Publik hanya menjadi subjek demokrasi ketika berpartisipasi dalam ‘pesta’ ini. Setelah itu, elitelah yang mengatur panggung kekuasaan.
Dengan begitu, pemilu hanya menjadi alat legitimasi elite untuk menjalankan pemerintahan. Retorika ‘siapa mewakili siapa’ menemukan momentumnya dalam konteks ini, di mana hanya elitelah yang mewakili publik dalam menjalankan kekuasaan. Celakanya, demokrasi prosedural seperti ini telah menjerumuskan Indonesia ke dalam lingkaran oligarki.
Hadiz & Robison (2004) menjelaskan bahwa oligarki merupakan kekuatan-kekuatan yang dikuasai para elite politik untuk mengakumulasi kekayaan material melalui instrumen negara. Hal ini sudah berlangsung sejak Orde Baru saat Soeharto berkuasa.
Gejalanya bisa terlihat dari banyaknya pengusaha yang menjadi elite politik dengan bergabung parpol. Dengan kekuatan ekonomi yang dimilikinya, para oligark ini ‘membeli’ politik dan suara publik, untuk kemudian menggunakan kewenangannya demi kepentingan pribadi, keluarga, dan jaringan oligarkinya.
Munculnya wacana desentralisasi agar memberikan kewenangan di aras lokal dalam mendistribusikan kekuasaan ternyata terjebak hal serupa. Desentralisasi juga masih menyebabkan wabah korupsi di daerah, pejabat lokal yang tamak, dan konsolidasi politik gangsterisme (Hadiz, 2005).
Jika sudah begini, bisa dikatakan ‘demos’ (rakyat) sudah tercerabut dari ‘kratos’ (kekuasaan) yang dimilikinya. Dari pusat hingga daerah, kuasa hanya diwarisi para elite politik melalui kaki-tangan oligarki mereka dalam mengakumulasi kekuasaan, termasuk dengan menggunakan kekerasan.
Dalam konteks Aceh sendiri sejak pertama kali dilaksanakan Pilkada Aceh pada 2006 silam hingga saat ini nyaris belum menunjukkan perubahan substansial yang signifikan. Berbagai isu kekerasan seperti premanisme, intimidasi, pemukulan hingga pembunuhan baik terhadap timses maupun masyarakat biasa juga masih kerap terjadi.
Belum lagi ditambah dengan kejenuhan rakyat yang harus menyisakan waktunya melayani elite dengan mencoblos surat suara pada hari H sebagai syarat prosedural demokrasi. Di tengah kesulitan ekonomi dan berbagai problem kehidupannya, rakyat masih saja dipaksa dan dininabobokan dengan dongeng klasik bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan.
Sengitnya persaingan elite dalam konstelasi kekuasaan dan kepentingan dengan semangat oligarki kian menjauhkan publik dari lokus demokrasi. Publik tak pernah beranjak menuju ke arah penegakan keadilan dan kesejahteraan yang lebih baik. Politik uang menjerat elite. Sementara publik kian terjerumus dalam retorika kosong yang dimainkan elite.
Publik sebagai Subjek Demokrasi
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, penting kiranya untuk memeriksa kembali peran instrumen demokrasi dalam hubungannya dengan kekuasaan rakyat dalam konteks sejarah Indonesia.
Demokrasi, bagi filsuf Slovenia, Slavoj Žižek (1999) mengandung sejumlah paradoks. Ia menganalogikan demokrasi liberal ini seperti orang yang menekan tombol tutup pintu pada lift. Ditekan atau tidak, pintu lift tak akan tertutup lebih cepat. Yang ada hanyalah kesan bahwa kita mampu mengontrol pintu lift tertutup lebih cepat dengan menekan tombolnya.
Inilah yang dinamakan Žižek sebagai ilusi kontrol. Ia telah menjadi salah satu paradoks dalam demokrasi. Rakyat seolah punya kuasa untuk mengontrol pemerintah ketika memilih dalam pemilu atau pilkada. Padahal, kontrol pada pemerintah itu hanyalah ilusi.
Demokrasi liberal dengan paradoksnya hanya menguntungkan kaum borjuis dalam sistem kerja kapitalisme. ‘Ilusi demokratis’ ini menjadikan nilai-nilai demokrasi sebagai satu-satunya solusi terhadap segala permasalahan.
Ia menghalangi berbagai transformasi radikal untuk keluar dari sistem kapitalisme. Alain Badiou (dalam Žižek, 2009: 87) bahkan menyatakan bahwa musuh kita saat ini bukanlah Imperialisme (Empire) atau Kapitalisme (Capital), tapi Demokrasi.
Saat ini, kita dengan gamblang bisa menyaksikan bagaimana ilusi kontrol demokrasi ini beroperasi. Salah satunya terkait penggunaan jargon-jargon klise yang merujuk pada pelaksanaan pilkada yang dipopulerkan para pengamat dan media massa, seperti ‘pesta demokrasi’, ‘pesta lima tahunan’, ‘kenduri politik’, ‘tahun politik’ dan sebagainya.
Jargon-jargon ini justru problematis mengingat paradoks yang dikandung dalam demokrasi itu sendiri. ‘Pesta’ atau ‘kenduri’ seperti apa yang sebenarnya diandaikan sedang dirayakan rakyat? Apakah rakyat benar-benar ber-‘sukacita’ dalam menyambut pelaksanaannya?
Persoalan demokrasi yang lebih menekankan aspek elektoral dalam wujud pelaksanaan pemilu menyisakan pertanyaan bagi kita semua. Publik hanya menjadi subjek demokrasi ketika berpartisipasi dalam ‘pesta’ ini. Setelah itu, elitelah yang mengatur panggung kekuasaan.
Dengan begitu, pemilu hanya menjadi alat legitimasi elite untuk menjalankan pemerintahan. Retorika ‘siapa mewakili siapa’ menemukan momentumnya dalam konteks ini, di mana hanya elitelah yang mewakili publik dalam menjalankan kekuasaan. Celakanya, demokrasi prosedural seperti ini telah menjerumuskan Indonesia ke dalam lingkaran oligarki.
Hadiz & Robison (2004) menjelaskan bahwa oligarki merupakan kekuatan-kekuatan yang dikuasai para elite politik untuk mengakumulasi kekayaan material melalui instrumen negara. Hal ini sudah berlangsung sejak Orde Baru saat Soeharto berkuasa.
Gejalanya bisa terlihat dari banyaknya pengusaha yang menjadi elite politik dengan bergabung parpol. Dengan kekuatan ekonomi yang dimilikinya, para oligark ini ‘membeli’ politik dan suara publik, untuk kemudian menggunakan kewenangannya demi kepentingan pribadi, keluarga, dan jaringan oligarkinya.
Munculnya wacana desentralisasi agar memberikan kewenangan di aras lokal dalam mendistribusikan kekuasaan ternyata terjebak hal serupa. Desentralisasi juga masih menyebabkan wabah korupsi di daerah, pejabat lokal yang tamak, dan konsolidasi politik gangsterisme (Hadiz, 2005).
Jika sudah begini, bisa dikatakan ‘demos’ (rakyat) sudah tercerabut dari ‘kratos’ (kekuasaan) yang dimilikinya. Dari pusat hingga daerah, kuasa hanya diwarisi para elite politik melalui kaki-tangan oligarki mereka dalam mengakumulasi kekuasaan, termasuk dengan menggunakan kekerasan.
Dalam konteks Aceh sendiri sejak pertama kali dilaksanakan Pilkada Aceh pada 2006 silam hingga saat ini nyaris belum menunjukkan perubahan substansial yang signifikan. Berbagai isu kekerasan seperti premanisme, intimidasi, pemukulan hingga pembunuhan baik terhadap timses maupun masyarakat biasa juga masih kerap terjadi.
Belum lagi ditambah dengan kejenuhan rakyat yang harus menyisakan waktunya melayani elite dengan mencoblos surat suara pada hari H sebagai syarat prosedural demokrasi. Di tengah kesulitan ekonomi dan berbagai problem kehidupannya, rakyat masih saja dipaksa dan dininabobokan dengan dongeng klasik bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan.
Sengitnya persaingan elite dalam konstelasi kekuasaan dan kepentingan dengan semangat oligarki kian menjauhkan publik dari lokus demokrasi. Publik tak pernah beranjak menuju ke arah penegakan keadilan dan kesejahteraan yang lebih baik. Politik uang menjerat elite. Sementara publik kian terjerumus dalam retorika kosong yang dimainkan elite.
Publik sebagai Subjek Demokrasi
Sejarah panjang demokratisasi yang terjadi di Indonesia pasca-tumbangnya Soeharto masih merentang dan diperjuangkan hingga kini. Berbagai persoalan masih menjadi kendala, namun lokus kekuasaan demokrasi ini penting untuk dipertanyakan kembali.
Karena itu, publik harus disadarkan agar melampaui bayang-bayang ilusi yang menyandera demokrasi. Salah satunya dengan penguatan basis masyarakat sipil (civil society). Peningkatan kesadaran dan kapasitas masyarakat ini harus menjadi prioritas dengan memberikan pendidikan politik kritis.
Pendidikan politik kritis yang dimaksud yaitu pemahaman menyeluruh terkait akumulasi dan relasi kekuasaan yang menjadi lingkup politik. Tentunya hal ini tak hanya sebatas retorika sehingga kembali terjebak dalam pusara jargon-jargon semata.
Misalnya pengetahuan terkait kewenangan dan kekuasaan seorang kepala daerah dalam memberikan izin kepada korporasi tertentu yang hendak mencaplok lahan warga. Publik harus diberikan pemahaman bahwa penguasa cenderung menunjukkan watak asli kerakusannya ketika dihadapkan dengan modal yang berkelindan dalam sistem kerja kapitalisme.
Ketika hal ini terjadi, maka penguasa dengan segala kewenangannya akan melakukan apa saja untuk mewujudkannya, termasuk dengan menyerobot hak-hak yang dimiliki warga. Kasus pendirian pabrik semen di Rembang, Jawa Tengah yang dikeluarkan izinnya oleh gubernur Ganjar Pranowo bisa menjadi refleksi nyata praktik ini.
Walau Mahkamah Agung telah memenangkan peninjauan kembali (PK) yang diajukan warga pegunungan Kendeng di Rembang, Ganjar tetap ngotot mengizinkan pembangunan pabrik semen di kawasan tersebut walau harus merampas hak-hak warganya sendiri.
Pemahaman kritis seperti inilah yang harus menjadi prioritas bagi publik. Sehingga publik bisa membedakan mana yang pro dan kontra terhadap publik dalam realitas politik yang dikerubungi elite. Begitu pula, mana janji retoris dengan jargon-jargon klise mainan elite dan pernyataan visioner keberpihakan kepada publik.
Selain itu, publik harus dibangunkan dari ketakberdayaannya di hadapan negara dan politik. Hak-hak dan kewajiban publik ditegaskan kembali seiring dengan potensi kekuasaan yang dimilikinya dalam lokus demokrasi.
Penyair prodemokrasi, Wiji Thukul bahkan sudah lama mengingatkan kita perihal potensi kebangkitan publik ini dalam bait puisinya, Peringatan (1986):
Karena itu, publik harus disadarkan agar melampaui bayang-bayang ilusi yang menyandera demokrasi. Salah satunya dengan penguatan basis masyarakat sipil (civil society). Peningkatan kesadaran dan kapasitas masyarakat ini harus menjadi prioritas dengan memberikan pendidikan politik kritis.
Pendidikan politik kritis yang dimaksud yaitu pemahaman menyeluruh terkait akumulasi dan relasi kekuasaan yang menjadi lingkup politik. Tentunya hal ini tak hanya sebatas retorika sehingga kembali terjebak dalam pusara jargon-jargon semata.
Misalnya pengetahuan terkait kewenangan dan kekuasaan seorang kepala daerah dalam memberikan izin kepada korporasi tertentu yang hendak mencaplok lahan warga. Publik harus diberikan pemahaman bahwa penguasa cenderung menunjukkan watak asli kerakusannya ketika dihadapkan dengan modal yang berkelindan dalam sistem kerja kapitalisme.
Ketika hal ini terjadi, maka penguasa dengan segala kewenangannya akan melakukan apa saja untuk mewujudkannya, termasuk dengan menyerobot hak-hak yang dimiliki warga. Kasus pendirian pabrik semen di Rembang, Jawa Tengah yang dikeluarkan izinnya oleh gubernur Ganjar Pranowo bisa menjadi refleksi nyata praktik ini.
Walau Mahkamah Agung telah memenangkan peninjauan kembali (PK) yang diajukan warga pegunungan Kendeng di Rembang, Ganjar tetap ngotot mengizinkan pembangunan pabrik semen di kawasan tersebut walau harus merampas hak-hak warganya sendiri.
Pemahaman kritis seperti inilah yang harus menjadi prioritas bagi publik. Sehingga publik bisa membedakan mana yang pro dan kontra terhadap publik dalam realitas politik yang dikerubungi elite. Begitu pula, mana janji retoris dengan jargon-jargon klise mainan elite dan pernyataan visioner keberpihakan kepada publik.
Selain itu, publik harus dibangunkan dari ketakberdayaannya di hadapan negara dan politik. Hak-hak dan kewajiban publik ditegaskan kembali seiring dengan potensi kekuasaan yang dimilikinya dalam lokus demokrasi.
Penyair prodemokrasi, Wiji Thukul bahkan sudah lama mengingatkan kita perihal potensi kebangkitan publik ini dalam bait puisinya, Peringatan (1986):
Jika rakyat pergi
ketika penguasa pidato
kita harus hati-hati
barangkali mereka putus asa
Kalau rakyat sembunyi
Kalau rakyat sembunyi
dan berbisik-bisik
ketika membicarakan masalahnya sendiri
penguasa harus waspada dan belajar mendengar
Penguatan kapasitas masyarakat sipil semacam ini juga tentunya akan mengalami berbagai hambatan dan kendala dalam manifestasinya. Namun laiknya sejarah demokratisasi di Indonesia sendiri, sejatinya hal ini harus terus digaungkan untuk menggugah kesadaran publik.
Semua elemen harus aktif berpartisipasi mewujudkan hal ini sehingga kekuatan publik tak terfragmentasikan lagi. Dengan begitu, elite tak lagi menjadi subjek tunggal demokrasi dan publik pun mampu meruntuhkan sekat-sekat ilusi.
Pemaknaan kembali demokrasi ini menjadi niscaya agar ia mampu menjawab tantangan yang dihadapi publik dan tak hanya menghambakan diri pada kepentingan elite. Publik harus menjadi subjek dalam lokus demokrasi sebagaimana cita-cita demokratisasi Indonesia.
Dan khususnya bagi masyarakat Aceh yang telah memilih calon kepala daerah pilihannya dalam Pilkada Aceh 2017, momentum ini sepatutnya menjadi titik balik dalam memaknai dan mentransformasikan demokrasi yang berorientasi pada publik di aras lokal. Venceremos democratia! []
Penguatan kapasitas masyarakat sipil semacam ini juga tentunya akan mengalami berbagai hambatan dan kendala dalam manifestasinya. Namun laiknya sejarah demokratisasi di Indonesia sendiri, sejatinya hal ini harus terus digaungkan untuk menggugah kesadaran publik.
Semua elemen harus aktif berpartisipasi mewujudkan hal ini sehingga kekuatan publik tak terfragmentasikan lagi. Dengan begitu, elite tak lagi menjadi subjek tunggal demokrasi dan publik pun mampu meruntuhkan sekat-sekat ilusi.
Pemaknaan kembali demokrasi ini menjadi niscaya agar ia mampu menjawab tantangan yang dihadapi publik dan tak hanya menghambakan diri pada kepentingan elite. Publik harus menjadi subjek dalam lokus demokrasi sebagaimana cita-cita demokratisasi Indonesia.
Dan khususnya bagi masyarakat Aceh yang telah memilih calon kepala daerah pilihannya dalam Pilkada Aceh 2017, momentum ini sepatutnya menjadi titik balik dalam memaknai dan mentransformasikan demokrasi yang berorientasi pada publik di aras lokal. Venceremos democratia! []
0 komentar:
Posting Komentar