7 Februari 2011

Memoar Jalan Kakap (25 April 2010)

Leave a Comment
Ket. Foto : Si pasien berpeci lusuh sedang menunjukkan gaya terbaiknya saat berpose setelah saya meminta izin untuk memotretnya. [RSJ Jalan Kakap, 25 April 2010].

Hari minggu yang lalu, saya berencana merealisasikan agenda pribadi yang belum terlaksanakan, yaitu berkunjung ke Rumah Sakit Jiwa (RSJ) yang terletak di Jalan Kakap, Lampriet. Hal ini memang sudah sangat lama tertanam dalam hati saya. Tanpa sedikitpun bermaksud mendiskriminasikan, tapi saya hanya ingin, paling tidak sekali melihat bagaimana realita sosial mereka yang tidak diwajibkan Shalat lima waktu itu. Memang dulu sudah pernah sekali saya berkunjung ke RSJ itu kala menjenguk abang sepupu yang juga “magang” di sana. Setelah lama berobat kesana-kemari baik dengan dokter maupun dukun tradisional di kampung, namun karena belum sembuh juga, akhirnya abang sepupu saya itu dirujuk ke RSJ Jalan Kakap.


Sebelumnya sudah ada juga rencana dari pihak administrasi program studi (prodi) psikologi, tempat kami berorientasi untuk meraih ijazah sarjana. Mereka ingin agar kami melakukan semacam kunjungan ke RSJ sebagai salah satu aplikasi dari teori-teori yang sebelumnya hanya kami dapatkan dalam buku-buku referensi psikologi ataupun ceramah dosen di kampus. Namun karena kondisi tidak memungkinkan waktu itu, yang sempat bertandang ke RSJ hanyalah mahasiswa “kloter pertama,” sedangkan kami dari “kloter kedua” mungkin dalam waktu dekat ini akan segera menyusul juga.

Dan pada hari minggu itu, akhirnya saya sempatkan juga merealisasikan agenda lama itu memanfaatkan waktu liburan kuliah. Berbekal sepeda motor yang bensinnya saya perkirakan hanya cukup pergi dan pulang saja (maklum, akhir bulan), sebuah buku catatan serta sebatang pulpen yang saya sematkan dalam sebuah ransel, dan juga tak lupa modal nekad dengan persiapan mental sekadarnya menghadapi sangar-lembut, keras-cengengnya perangai mereka. Saya merasakan euforia tersendiri kala membayangkan berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang baru yang kadang-kadang tak jarang acuh terhadap norma-norma sosial dan nilai-nilai agama, namun sangat setia dan toleran dengan sesamanya, bahkan juga dengan orang lain itu.

Sekitar jam 11 siang, saya tiba di RSJ. Suasana aneh dan aura tak mengenakkan mulai saya rasakan. Saya merasa sangat asing berada di sana. Namun tekad telah terpatri, dan saya menguatkan hati. Setelah memarkir sepeda motor di tempat parkir, hal pertama yang saya lihat di sana adalah sekelompok mahasiswa dan mahasiswi fakultas kedokteran yang sedang Co-ass (Co-Assistency). Selebihnya, beberapa orang pegawai RSJ dan seorang bapak yang sedang duduk di salah satu kursi di depan kantor yang baru beberapa bulan dibangun.

Saya memilih duduk di samping bapak itu dan menyunggingkan senyum ke arahnya. Ia membalas dengan sikap serupa. Bapak itu masih saja asyik menekan keypad ponselnya kala seorang “pasien” (saya tak akan menyebutnya dengan sebutan lain dalam tulisan ini karena beberapa pertimbangan) baru saja tiba dari ruangan belakang. Sang pasien itu masih muda. Saya menaksir umurnya mungkin sekitar dua puluhan tahun. Begitu pasien itu melihat kami yang sedang duduk, langsung dengan penuh takzim ia menghampiri kami dan menyalami satu-persatu. Dari titik ini saya mulai menyiapkan sedikit teknik “defense mechanism” (mekanisme pertahanan) untuk mewaspadai segala bentuk kemungkinan yang tak bisa diprediksi.

Sebenarnya memang agak sulit dijelaskan secara rasional kenapa saya cenderung “alergi” dengan mereka yang sering minta sebatang rokok ataupun selembar uang seribuan kepada setiap orang yang berkunjung ke sana itu. Hal ini mungkin karena dipengaruhi oleh faktor pengalaman masa lalu yang berimplikasi pada sikap dan persepsi saya sekarang. Dulu semasa masih kecil, saya mengalami pengalaman traumatis dengan tipikal orang seperti mereka. Pada waktu itu, kami sekeluarga baru saja pindah rumah yang jaraknya hanya dipisahkan oleh beberapa kampung. Setelah proses angkat barang dan perabotan rumah semuanya telah selesai, saya yang masih anak-anak kala itu mencoba bersosialisasi dengan para tetangga sekitar. Saya memilih untuk singgah di sebuah rumah yang berada di sisi kanan jalan dekat rumah yang baru kami tempati.

Ketika sedang duduk dengan seorang perempuan paruh baya di depan rumah itu, saya merasa seakan saya sudah “diterima” seutuhnya dalam lingkungan baru saya itu. Hal ini direpresentasikan dengan sikap perempuan di depan rumah itu yang benar-benar mengindikasikan citra seorang ibu yang menganggap saya sebagai anaknya. Memang tak ada percakapan yang terjadi antara kami berdua, namun dari caranya merangkul dan mengelus-elus kepala dan badan kecil saya, itu sudah cukup untuk membuktikan bahwa ia benar-benar mererima kehadiran saya disitu. Tapi hal yang selanjutnya terjadi sungguh di luar prediksi. Dengan tiba-tiba saja, perempuan itu tertawa sejadi-jadinya hingga membuat saya merinding.

Sampai batas itu, saya belum sepenuhnya curiga. Namun kemudian dengan tiba-tiba pula ia mulai menunjukkan identitas aslinya dengan memaki dan “meneror” setiap orang yang lewat di depan rumahnya serta melempari mereka dengan batu. Tanpa pikir panjang, saya mengambil langkah seribu menuju ke rumah yang jaraknya hanya sekitar 100 meter dari rumah tersebut. Layaknya anak kecil yang sedang dihantui rasa takut yang berlebihan, maka strategi perlindungan yang paling aman adalah dengan memeluk emak (ibu) dalam tangis ketakutan. Sembari terus menangis sesenggukan, saya menceritakan ihwal kejadian yang baru saja saya alami. Setelah beberapa hari, baru saya tahu bahwa perempuan paruh baya itu mengalami depresi berat karena keluarganya tak mampu lagi membiayai jenjang pendidikan lanjutan baginya, padahal ia termasuk orang yang pandai di kampung itu.

Dari sanalah awal mulanya perasaan traumatis saya menggejala terhadap orang yang kalau di kampung-kampung tak jarang dipasung oleh keluarganya itu. Tapi untuk kali ini, saya sudah berusaha semaksimal mungkin merubah persepsi dan stereotip negatif saya terhadap mereka. Bagaimanapun, mereka juga hamba Allah yang patut diberikan ruang toleransi di muka bumi ini. Maka ketika pasien muda itu menghampiri dan menyalami saya, tak ada alasan lain bagi saya untuk tidak memberikan apresiasi atas usahanya berinteraksi dan menjalin komunikasi, walau gundah dalam lubuk hati juga tak bisa dipungkiri.

Hal yang menjadi perhatian saya terkait dengan tingkah mereka adalah cara ataupun strategi yang digunakan dalam mengungkapkan kesadaran diri (self-consciousness). Dalam hal ini, mereka sadar bahwa mereka berbeda dengan manusia kebanyakan. Mereka sadar bahwa mereka itu tidak waras (dalam arti yang sebenarnya). Ini menjadi catatan penting bagi saya setelah mendengar pasien muda tadi berbicara dengan seorang pasien lain yang baru saja keluar dari ruangan belakang. Sang pasien muda meminta sebatang rokok pada pasien yang baru datang dari belakang dan membawa sebungkus rokok itu. Sewaktu melihat kawannya membawa sebungkus penuh rokok, si pasien muda langsung berteriak, “toh rukok sibak le ngon!” (rokok sebatang, kawan!). Namun, yang diteriaki langsung memotong pembicaraan, “preh ile, rokok orang gi…” “orang gila, hehehe…” sahut pasien muda dengan penuh semangat disertai dengan tawa renyah yang hanya mereka yang tahu persis maknanya.

Selain itu, hal lain yang menguatkan prediksi saya terkait dengan kesadaran diri mereka dalam mengungkapkan eksistensi adalah cara mereka mengidentifikasi diri secara akurat. Setelah menyalami kami satu-persatu, sang pasien muda yang saya sebutkan di atas mulai memperkenalkan diri dengan status yang disandangnya saat itu. “Hampir sembuh pak, ini mau pulang ke kampung,” ujarnya sembari tersenyum manis ke arah kami. Ini membuktikan bahwa terkadang seorang pasien seperti dia pun bisa mengatakan realita sebenarnya yang dialami. Mungkin sedikit berbeda dengan sebagian orang lain yang ada di sekitar kita, yang tak jarang membungkus diri dengan topeng pseudo kemunafikan untuk memberikan kesan prestisius pada dunia luar.

Setelah berbincang-bincang sejenak dengan bapak yang duduk di samping, saya melanjutkan ekspedisi ke bangunan tua yang ada di belakang, tempat para pasien “magang” dan mengekspresikan kebebasan saban harinya. Saya memperhatikan setiap gerak-gerik orang yang ada di sana, baik itu pasien, perawat, tamu yang berkunjung, tukang sapu maupun orang lain yang kebetulan sedang berada di tempat saat itu. Para pasien yang ada di dalam ruangan mulai beraksi. Mereka mengulurkan tangan ke arah saya sembari meminta sebatang rokok. Saya sempat mengutuk diri karena lupa dengan niat awal saya yang ingin membeli sebungkus rokok seharga Rp. 4.000. Namun kemudian saya kembali teringat, bahwa saya pada hari itu memang sedang tak ada uang lebih walaupun hanya untuk sekedar membeli sebungkus rokok “wajib” untuk para pasien. Agaknya agenda kunjungan ke RSJ saat itu belum dipersiapkan secara matang.

Tak berapa lama kemudian, saya mengambil posisi duduk di atas sebuah sofa yang ada di dekat jeruji besi ruangan, tempat para pasien tadi mengulurkan tangan keluar. Saya mencoba berbaur dengan mereka, layaknya seorang observer yang memosisikan diri berada dalam ruang interaksi objek yang diobservasinya. Tiba-tiba, salah seorang pasien yang saat itu sedang berada di luar ruangan menghampiri saya, dan langsung duduk di atas sofa yang sama dengan sikap penuh rasa penghormatan dan sunggingan senyum kepada saya. Ia mengenakan baju kaos berkerah motif kotak-kotak dalam kombinasi warna hijau muda dan putih, dengan sebuah peci hitam lusuh di atas kepalanya. Komunikasi searah tak bisa dielakkan.

Tanpa basa-basi, ia mulai bertutur panjang lebar dengan saya tanpa memberikan kesempatan bagi saya untuk menanggapi setiap pernyataan yang diucapkannya. Ia menceritakan hal-hal yang dialami selama berada di RSJ itu. Dengan mimik serius, ia mengatakan bahwa ia sering diganggu oleh jin ketika berada di bawah terik matahari. “Saya sering dikejar-kejar sama jin kalau saya berdiri di bawah sinar matahari, bang. Kalau sudah begitu, sakit kepala saya, bang. Sering kali iblis syaitan itu mengganggu saya. Saya takut, bang. Waktu malam hari gitu juga. Kalau sudah dalam gelap tu, langsung syaitan laknat tu mengerumuni saya. Mereka mau bunuh saya, bang,” desahnya dalam bahasa Aceh yang terbata-bata karena rasa takut yang dirasakan. “Nyangkeu, beukayem ka meungucap!” tiba-tiba saja pasien yang duduk dekat jeruji besi ruangan di belakang sofa kami menghardik pasien berpeci lusuh itu sambil tangannya mendorong si kepala berpeci dengan kuat. Pasien berpeci masih saja terbengong-bengong dalam ketakutannya.

Dalam keterkejutan karena hardikan pasien dalam ruangan kepada si pasien berpeci lusuh itu secara tiba-tiba, saya mengatur nafas, dan kemudian mencoba menyapa pasien yang berada dalam ruangan tersebut. Ia membalas ramah sapaan saya. Sementara pasien berpeci lusuh masih larut dalam euforia kegamangan sembari memijit-mijit keningnya dengan tangan kanan, komunikasi interaktif terjalin hangat antara saya dan pasien yang duduk dekat jeruji besi ruangan itu. Orangnya masih muda, mungkin sebaya dengan pasien pertama yang saya ceritakan di atas tadi. Dengan topi koboi hitam serta baju kaos ala pembalap dengan perpaduan warna variatif yang dikenakan, ia tampak begitu macho, walaupun ketika tersenyum deretan gigi-giginya yang sudah banyak yang caheung itu kelihatan. Tak sedikitpun gurat kesedihan terpancar dari aura wajahnya yang berseri itu. Ia adalah representasi seorang anak muda yang belum bisa memahami gejolak jiwa yang labil, sementara masa depan baginya tak lebih dari sebatang rokok serta sepiring nasi siang hari ini.

Selama menjalani hari-hari di RSJ itu, pembawaan pasien muda bertopi koboi ini begitu tenang, sedamai embun subuh yang membasahi pucuk daun pinang muda yang tumbuh di halaman bangunan lawas itu. Namun, gelombang emosinya kembali berguncang hebat tiap kali kesempatan pandangan matanya menangkap setiap sosok paruh baya yang kebetulan sedang melewati areal bangunan tersebut. Dalam ratapan pengharapan dari dalam ruangan, seperti halnya seorang anak kecil yang merengek meminta segelas es cendol kepada ibunya di suatu siang yang sangat terik, dengan uluran kedua tangan, pasien muda ini mengiba, “Neucok loen abue, neucok loen umie. Ronyan neuba loen keuno, neupeugah keuneuk joek ubat, jinoe ka neutinggai loen inoe sidroe. Troeh hatee teuh. Hai abue, hai umie! (Keluarkan saya dari sini, Ayah, Ibu. Dulu kalian bawa saya kemari, katanya mau dikasih obat. Sekarang saya ditingal sendiri di sini. Sampai hati rupanya kalian. Wahai Ayah, Ibu!)” ratapnya sambil terus terisak dalam perjuangan dengan kedua tangan yang tak henti melambai-lambai ke luar. Sungguh tak tega rasanya menyaksikan adegan mengiris hati seperti yang saya alami waktu itu. Saya menerawang, seandainya saja pasien muda dalam ruangan tersebut adalah saya, mungkin kepasrahan akan begitu cepat menjelma sebagai implikasi dari kekecewaan serta keputusasaan terhadap setiap sosok paruh baya yang tak pernah mau mengakui saya sebagai anak kandungnya.

Pandangan saya kembali berfokus pada si pasien berpeci lusuh, karena dengan tiba-tiba saja ia tertawa terbahak-bahak sambil melihat ke arah saya. “Nyan pakoen loem droen, peu ka dipeungarue le iblieh syetan loem?! (kenapa lagi kamu, apa sudah diganggu sama iblis syaitan lagi?!)” selidik saya dengan air muka serius serta menatap tajam ke arahnya. Dengan sigap pula mimik wajahnya berubah menjadi serius kembali dan sebersit raut penyesalan tergurat di sana. Ia menunduk dalam seraya berujar lirih, “Nyangkeu nyan bang, iblieh syetan laknat nyan sabee dipeukeem loen (Itulah bang, iblis syaitan itu selalu menertawakan saya).” Satu hal yang masih menjadi pertanyaan dalam diri saya menyikapi si pasien berpeci lusuh ini adalah usaha yang dilakukan untuk meyakinkan saya. “Gini bang, ini serius ni. Betul bang, ini serius. Coba abang dengarin dulu, saya lagi serius,” begitulah caranya meyakinkan saya dengan menyatakan keseriusannya, seolah hal-hal lain yang disampaikan kepada saya sebelumnya tak pernah saya tanggapi dengan serius. Nyatanya, saya benar-benar telah bersikap seprofesional mungkin ketika berinteraksi dengan setiap pasien yang ada di RSJ itu. Ini memang sudah menjadi prinsip yang saya tanamkan sejak dulu; hargailah orang lain jika engkau ingin dihargai, siapapun mereka!

Sebagai contoh, ketika saya menanyakan kenapa ia tak mau meminta sama emaknya untuk menikahkannya dengan gadis di kampung. Ia mengatakan, “Gini bang, ini serius ni, coba abang dengarin dulu. Bukannya saya tak mau dikawinin kayak yang dibilang sama emak, tapi belum apa-apa aja, orang perempuan di kampung itu udah bilang saya kayak gini,” ungkapnya sembari melukiskan garis miring di keningnya dengan telunjuk tangan. Ironi memang, namun itulah realita sebenarnya yang ada dan sering luput dari perhatian kita, seiring dengan harga mahar yang semakin melangit. Kadang keadilan memang sangat sulit diperkarakan!

Waktu sudah menunjukkan pukul 2 siang kala pasien berpeci lusuh dan si koboi muda minta izin sejenak untuk memenuhi hasrat id mereka; makan siang, dan saya mempersilakan mereka untuk menunaikan hajatan perut tersebut serta menolak dengan halus ajakan mereka untuk makan bersama, walau sebenarnya perut telah lama bersenandung merdu sejak pukul 1 sebelumnya. Saya menunggui mereka sampai acara makan siang massal itu bubar.

Sekitar 20 menit kemudian, mereka kembali menemui saya di sofa yang sama. Senyum kian merekah di wajah berminyak jerawat mereka, dan sebatang rokok adalah pelengkap kepuasan sebagai salah satu media untuk mengekspresikan kebebasan mereka di siang yang masih menghantarkan terik itu. Tak banyak percakapan, mengingat proses pencernaan dalam perut belum sepenuhnya selesai, selain juga mereka masih larut terhanyut dalam euforia hembusan asap yang merangsang sistem kerja syaraf otak itu, terbuai dalam lenanya mimpi masing-masing.

Karena instrumen perut terus saja menabuh genderang perang dan tak bisa lagi diajak bernegosiasi, maka keputusan saya sudah final dan tak bisa diganggu-gugat; ingin segera pulang. Kalau dalam terminologi konseling, inilah saat yang tepat bagi saya untuk melakukan terminasi, yaitu fase penghentian, penutupan atau pengakhiran hubungan professional antara seorang konselor atau psikolog dengan kliennya, karena sang klien sudah mampu menyelesaikan masalahnya sendiri sehingga tidak harus bergantung kepada konselor atau psikolog itu lagi.

Dengan sedikit perasaan berat hati, saya mengutarakan niat tersebut kepada mereka, dan sepertinya mereka juga merasakan perasaan serupa. Dalam hati saya berdesah, seandainya saya memiliki banyak uang waktu itu, tentu saya lebih memilih membeli sebungkus nasi di warung terdekat dan makan bersama mereka sekalian membelikan sebungkus penuh rokok untuk mereka agar bisa dibagi-bagikan kepada pasien lainnya. Ah, indahnya saling berbagi dalam spirit kebersamaan. Namun skenario realita berkehendak lain. Mungkin bensin yang masih tersisa dalam tangki minyak sepeda motor saat itupun tak cukup lagi untuk menempuh perjalanan sampai ke rumah.

Saya menguatkan hati untuk beranjak dari tempat yang telah memberikan saya berbagai pengalaman dan pelajaran baru itu. Begitu saya membalikkan punggung menuju ke tempat parkir sepeda motor, ternyata si pasien berpeci lusuh mengikuti saya dari belakang. saya berpikir mungkin ia belum mengizinkan saya pulang, dan itu merupakan hal yang “wajar” seperti juga yang saya rasakan. Perbincangan yang sebenarnya sudah saya akhiri, terpaksa dirajut kembali. Ia pun tak keberatan dan tampak menikmati sesi terakhir kami itu. Kami berjalan sampai ke halaman depan pekarangan RSJ tersebut.

Namun, rupanya tak semua prediksi saya di atas itu benar. Si pasien berpeci lusuh berminyak jerawat itu bukan saja tak mengizinkan saya pulang seperti yang saya tuliskan di atas, tapi juga tak pernah berhenti mengikuti (mungkin lebih tepatnya membuntuti) saya. Saya berhenti, ia berhenti, saya duduk, ia pun duduk, saya berdiri, ia tak ketinggalan menirukannya. Kecemasan mulai menakut-nakuti perasaan dengan berbagai pemikiran-pemikiran buruk mengenai kemungkinan-kemungkinan negatif yang tak bisa saya prediksi. Saya khawatir jika saya langsung menuju tempat parkir dan menstarter sepeda motor detik itu, maka detik itu pula sang pasien berpeci lusuh akan menunggangi kuda besi saya dari belakang. Sepertinya saya akan bernasib naas hari itu.

Dalam keadaan perut yang lapar tak tertahankan lagi, untuk kesekian kalinya, saya kembali dipaksa berpikir keras menyiasati diri agar jiwa labil yang katanya sering diganggu iblis syaitan laknat itu tak jadi tidur sebantal dengan saya di malam harinya. Bisa-bisa saya begadang semalam suntuk demi mendengar gelak tawanya yang tak henti, sehingga membuat saya diprotes oleh tetangga sekitar, lalu kemudian saya diusir dari rumah karena dianggap mengganggu kenyamanan warga lain. Lantas, kemana lagi saya mencari tempat berteduh, sementara berharap saku penuh dengan lembaran rupiah untuk menyewa rumah lain bagaikan bermimpi bisa mengunduh kulkas dari internet secara gratis dan langsung. Ah, pikiran negatif selalu menguras banyak energi psikis.

Ternyata saya masih diberikan nasib yang tak terlalu celaka hari itu. Dalam kegamangan memikirkan cara menghindar dari si pasien malang itu, dengan tiba-tiba ia menuju ke sebuah ruangan lain yang ada di bangunan halaman depan. Saya tak tahu apa yang mau dilakukan. Lagipula ini momen yang tepat untuk melarikan diri, bukan malah balik membuntutinya. Dalam waktu yang tak kurang dari 5 detik, saya tiba di pelataran parkir, dan dengan cepat menancap gas, kabur. Namun sebelum beranjak, saya sempatkan juga menatapnya dari kejauhan. Dalam hati saya berujar penuh ketegaran, “Selamat tinggal, Kawan!”

Ekspedisi menegangkan, yang memacu adrenalin dengan rintangan-rintangan tingkah-laku yang tak biasa, unik, kreatif, inovatif dan liar selama lebih kurang 3 jam itu telah berakhir, setidaknya untuk detik itu. Namun, nuansa serta pembelajaran empiris yang didapatkan membuat saya ingin mengulanginya lagi di masa yang akan datang. Apalagi dari pihak administrasi prodi psikologi sudah mengkonfirmasikan informasi bahwa mereka siap memfasilitasi kami, mahasiswa “kloter kedua” ini untuk berkunjung ke RSJ yang sama, tempat saya mengaktualisasikan eksistensi diri sebagai manusia yang wajib selalu mensyukuri setiap inchi kesempurnaan fisik dan psikis pada suatu masa dulu itu. Akankan si topi koboi masih mau mengingatkan si peci lusuh agar tak pernah alfa meungucap? Apakah si peci lusuh ini masih sering mengeluhkan tentang iblis syaitan laknatullah yang kerap menginterogasinya dalam keremangan malam? Masihkan mereka mengenali saya sebagai seorang teman yang sudah pernah suatu kali duduk, berbagi serta tertawa bersama di pondok pesakitan mereka tersebut? Entahlah, hanya mereka sendirilah yang tahu.

Dan satu lagi pertanyaan terakhir yang selalu menggelayut dalam jiwa ini; Kapankah mereka bisa keluar dari kungkungan jeruji besi itu dan dengan leluasa menghirup udara bebas yang ada di luar, sehingga si topi koboi bisa kembali bernostalgia dengan abue dan umienya, si peci lusuh bisa melangsungkan hajatannya untuk kawin dengan gadis kampung setelah meminta rekomendasi emaknya, serta kami bertiga kembali bertemu dan berbincang-bincang dalam sebuah medium lain, yang tentunya dalam kapasitas mereka sebagai pribadi-pribadi normal layaknya manusia kebanyakan, yang berbeda dengan jiwa-jiwa penuh gejolak labil saat di pondok pesakitan dulu? Hanya sebait doa dan pengharapan dari sebuah ruang lain yang sudah dipisahkan jeda ini, dari sebuah sudut kamar kumuh, tak pernah berhenti bersenandung. Teruslah merajut mimpi, dalam untaian doa dan usaha, Sobat! Wallahu’alam Bishshawab.


(Sebuah memoar pribadi, RSJ Jalan Kakap, Minggu, 25 April 2010, 11.00 AM – 03.00 PM)


Kamar Sewaan,
Tue, May 4th 2010

0 komentar:

Posting Komentar

.