7 Februari 2011

Kembang Api di Kubah Masjid

Leave a Comment
Foto: Sammy Khalifa
Udara malam itu dingin. Langit menitikkan rinai-rinai hujan yang tak begitu lebat. Sepasang muda-mudi asyik bermesraan di atas sepeda motornya. Ruas jalan dipadati oleh kenderaan yang parkir di sembarang tempat. Kemacetan tak bisa dihindari, sementara polisi lalu-lintas belum siap dengan kondisi malam itu. Tepat tengah malam, saat jam menunjukkan pukul 00.00 WIB, pertanda tahun 2010 akan segera dilalui, suasana kemacetan menjelma menjadi semarak. Kembang api ditembakkan, jaraknya tak begitu jauh dari Masjid Raya Baiturahman, Masjid kebanggaan sekaligus ikon Aceh sebagai daerah syariat.


Sorak-sorai menggema begitu rentetan bunga api meledak di udara. Sesekali terdengar pula suara terompet. Warga kota yang didominasi kaum muda larut dalam euforia malam pergantian tahun. Meski pemerintah kota Banda Aceh telah mengeluarkan seruan kepada warganya untuk tidak berhura-hura menyambut tahun baru 2011.

Dalam seruan itu warga dilarang meniup terompet atau pesta kembang api, karena kegiatan itu bertentangan dengan norma Islam. Selain itu, warga juga diminta untuk tidak melakukan hal yang bertentangan dengan Syariat Islam, seperti berjudi, mesum, mabuk-mabukan dan sebagainya.

Namun, seruan itu tak dihiraukan, langit Banda Aceh tetap dipenuhi warna-warni kembang api tahun baru. Bahkan warga mulai memadati ruas jalan Daud Beureueh, di depan kantor DPRA hingga depan Masjid Raya Baiturrahman sebelum pukul 00.00 WIB.

Orang-orang lalu-lalang mencari sudut pandang yang pas untuk menyaksikan pesta kembang api tersebut. Ada juga yang merekam detik-detik pergantian tahun itu dengan handycam serta kamera ponsel. Walaupun diguyur hujan gerimis, mereka sama sekali tak peduli. Bunyi klakson kenderaan bermotor yang saling sahut-sahutan serta letupan kembang api menjadi hingar-bingar dalam kerumunan warga yang berdesak-desakan.

Fauzan (19 th) mengatakan, bila dibanding dengan pergantian tahun 2010 yang lalu, pergantian tahun 2011 lebih sepi. “mungkin karena hujan, jadi orang malas keluar rumah,” ungkapnya saat diwawancarai DETaK.

Kemeriahan pesta malam tahun baru ternyata membuat sebagian warga terganggu. Sebut saja Alfi. Ia menyatakan sangat terganggu dengan suara terompet dan suara letupan kembang api. “Seharusnya yang diperingati dengan meriah itu perayaan 1 Muharram, bukannya 1 Januari,” ujarnya.

Antusiasme warga menyambut datangnya tahun baru 2011 ini tidak terlepas dari kondisi Aceh saat ini yang memungkinkan mereka untuk menghabiskan waktu malam tahun baru di jalanan tanpa perasaan was-was. Hal ini sangat berbeda jika dibandingkan semasa konflik dulu. Kalau dulu ketika orang-orang mendengar suara letupan, mereka bergegas bersembunyi di dalam rumah. Namun, sekarang mereka justru bersorak-sorai bahagia kala mendengar letupan serta warna-warni kembang api yang bertebaran di udara.

Selain sorak-sorai warga, para penjual terompet dan kembang api juga merasakan kegembiraan yang sama karena barang dagangannya laris manis malam itu. Walau profesi tersebut hanya dijalani malam itu saja, namun keuntungan yang didapatkan lebih dari cukup.

Seperti pengakuan Nazar, seorang bapak penjual terompet dan kembang api bersama istri dan anaknya. Dengan menggunakan sepeda motor, ia menjajakan dagangannya di dua titik yang ramai dikunjungi warga, yaitu Taman Sari dan pusat kota.

Ia mengatakan telah menjual 70 buah terompet dari 100 terompet yang dimilikinya. Untuk sebuah terompet warna-warni tersebut dipatok harga sebesar Rp. 5.000. Selain itu, ia juga menjual berbagai jenis kembang api dengan variasi harga yang berbeda, mulai dari Rp. 5.000 sampai dengan Rp. 20.000. Kembang api tersebut sudah banyak laku terjual, akunya.

“Pekerjaan sambilan aja, mumpung lagi banyak yang minat,” ujarnya tersenyum seraya menggendong anak laki-lakinya yang masih kecil.

Lain lagi dengan Jafar, lelaki paruh baya penjual kembang api ini juga meraup keuntungan seperti Nazar. Jafar menawarkan barang dagangannya dengan berjalan kaki dalam kerumunan pengunjung yang berdesak-desakan di seputaran pusat kota. Alhasil, dagangannya pun laku sebanyak 70 buah.

Sebagai pedagang musiman, lelaki asal Sigli ini menuturkan bahwa profesinya sehari-hari adalah penjual telur puyuh. Ia tergiur dengan bisnis penjualan terompet itu karena hasilnya yang menjanjikan, walau cuma satu malam.

“Ya… ada kesempatan gini kan rezeki juga. Jarang-jarang orang mau beli barang yang beginian, kan? Namanya kita usaha,” ujarnya sembari terkekeh.

Para pengunjung kian larut dalam euforia perayaan tahun baru. Bunyi klakson serta letupan kembang api semakin membahana. Semua larut dalam suka-cita tahun baru yang hanya diperingati tengah malam itu. Seiring larutnya malam, satu persatu pengunjung mulai menerobos kemacetan untuk pulang ke rumah masing-masing. Ada juga yang melanjutkan pesta hura-hura lainnya.

Setelah itu, tak ada lagi cerita. Jalan di seputaran pusat kota mulai lengang. Yang tersisa hanyalah berbagai jenis sampah yang bertebaran serta genangan air di tepi-tepi jalan. Tak ada lagi warna-warni kembang api yang menghiasi langit. Semua membawa pulang kisah yang berbeda. Pesta perayaan 2011 telah usai. Refleksi apa yang telah dilaksanakan?

Taboid DETaK Edisi 31, Januari 2011

0 komentar:

Posting Komentar

.