Baiklah, saya akan menyebut kecelakaan ini dengan “musibah”. Ihwal mula musibah ini menimpa saya berawal dari niat untuk mencuci pakaian-pakaian yang sudah kotor di rumah. Karena tak sempat saya cuci di siang hari, saya berencana mencuci pakaian-pakaian tersebut pada malam harinya. Sekitar pukul 9 malam, saya keluar sebentar ke kios depan rumah untuk membeli deterjen, sekalian beli kawan nasi makan malam. Sepulang dari sana, saya langsung mencampakkan celana panjang begitu saja, yang sebelumnya saya kenakan. Celana tersebut memang sudah kotor adanya dan hendak dicuci juga. Jadinya, saya hanya mengenakan celana sport pendek dan langsung memilih makan, berhubung sudah lapar, sekalian mau online sebentar. Kebetulan di rumah saya menggunakan Handphone (HP) sebagai modem agar bisa terkoneksi dengan jaringan internet.
Sekitar pukul 12 tengah malam, saya membulatkan niat untuk merealisasikan agenda cuci pakaian yang sudah saya rencanakan itu. Bertempat di kamar mandi yang pemompa airnya masih terus hidup untuk menyuplai air dari sumur belakang rumah ke dalam bak air dalam kamar mandi tersebut, saya kembali mencampakkan beberapa lembar baju dan celana kotor yang hendak dicuci, tak terkecuali celana panjang yang sebelumnya sudah duluan saya campakkan. Tanpa rasa bersalah dan perasaan apa-apa lainnya, saya mulai menyirami pakaian tersebut satu-persatu. Saya mengawali ritual tersebut dengan tumbal celana panjang yang saya campakkan sebelumnya itu, karena celana tersebutlah yang paling kotor, di antara yang kotor.
Satu celana basah kuyup, dan kemudian saya mencampakkannya lagi, untuk yang terakhir kalinya, di atas lantai kamar mandi tersebut. Walau sempat melengus, namun mau tak mau saya harus menyelesaikan ritual “penyucian” itu sebelum fajar menjelang. Satu untuk sikat baju, satu untuk deterjen, dan tak lupa stamina tangan kanan yang harus fit untuk membilas dan menyikat setiap pakaian kotor. Begitu sikatan pertama saya goreskan, tangan saya terhalang oleh sesuatu yang menonjol dari saku kiri celana saya itu. Saya meraba dan memasukkan tangan ke dalam saku tersebut. Dan, kejadian selanjutnya, sungguh sangat sukar sekali diutarakan dalam bahasa. Saya mendapatkan HP saya dalam saku tersebut, sudah basah kuyub, tertangkap basah tepatnya. Dan, yang selanjutnya terjadi, sangatlah mudah diterka; gamang entah bagaimana!
Musibah inilah yang baru saja saya rasakan, dan terjadi dengan begitu cepat. Tak disangka, saya yang ceroboh, yang suka mencampakkan celana begitu saja, mendapatkan teguran yang lebih dari cukup, menohok ulu hati. Ini bukan masalah harga HP tersebut yang tidak seberapa dibandingkan dengan usaha yang saya ikhlaskan untuk mendapatkan alat yang bisa mendengarkan canda tawa dan keluh-kesah orang lain dari kejauhan itu. Berbulan lamanya saya mengumpulkan nominal-nominal rupiah sehingga cukup untuk membeli barang tersebut. Sungguh, ini bukan masalah harga, tapi segala bentuk data, identitas, privasi, informasi serta jalinan kontak dan komunikasi yang pastinya akan terputus juga. Saya benar-benar gamang.
Demi “menghibur” kegamangan, langsung saya melarikan HP saya itu ke dalam kamar dan mencoba mendiagnosa, tepatnya membuka baterai serta kartu SIM-nya, mengelapnya dengan kain kering, berharap ia bisa hidup kembali dengan segera. Namun, malang ternyata masih menjadi kata kunci dalam skenario musibah yang sedang saya alami itu. Tiba-tiba, saya teringat dengan laptop saya. Dengan cepat pula, segera saya menyambungkan HP saya yang berfungi sebagai modem tersebut dengan laptop melalui kabel USB. HP modem itu merupakan HP saya lainnya, yang dalam penggunaannya khusus saya gunakan untuk mengakses serta mengunduh data-data penting dari internet.
Begitu saya mencari di Google dengan kata kunci “HP jatuh ke air” dan pencarian serupa, banyak sekali hasil yang ditampilkannya. Saya mencoba membuka satu-persatu, dan saya mendapatkan sedikit pengetahuan baru, di antaranya, langsung membuka cashing HP dan mencopot baterai dan kartu SIM-nya secepat mungkin. Hal ini dilakukan untuk memutuskan arus listrik pada HP. Selanjutnya, jika ada, gunakan vaccum untuk menyedot sisa-sisa embun air. Untuk intruksi yang kedua ini, dalam hati sendiri saya protes, darimana saya peroleh pula vaccum bermerk itu. Itu bukanlah kebutuhan primer saya. Langsung saya lanjut ke tips selanjutnya. Di situ tertera kalimat “Letakkan bagian-bagian HP tersebut pada setiap mangkuk berisi beras. Hal ini dilakukan untuk mengangkat embun-embun air yang mungkin sudah masuk ke dalam HP. Dan biarkan paling tidak semalaman”. Untuk hal yang terakhir ini, saya baru merasa rasional. Beras merupakan bahan pokok kita sehari-hari, dan bisa dikatakan sebagai kebutuhan primer.
Dan, kembali dengan sedikit lengusan nafas yang berat serta keluhan hati yang mengganjal, saya memaksakan diri membuka karung beras untuk memasukkan mesin HP serta baterainya. Kini, saya hanya bisa berharap siangnya HP saya tersebut bisa dioperasikan kembali seperti sedia kala. Saya merasa seperti seorang suami yang sedang menanti kabar sang istri serta kelahiran anak pertamanya di ruang persalinan, sementara istrinya sendiri sedang berjuang melawan maut sembari dibantu oleh bidan desa yang sudah cukup terakreditasi dan senior dalam hal pengalaman. Mungkin terdengar berlebihan, namun itulah realita yang sedang saya hadapi sekarang. Antara harapan, keputusasaan, dan juga kegamangan.
Dalam ketermenungan menanti mukjizat datang menyapa ke dalam karung beras, alam kognitif saya terkenang pada sebuah kisah, yang kelak mengubah perspektif saya tentang musibah. Kisah itu saya kutip dari laman ini. Adalah Jean-Dominique Bauby, Jurnalis dan Pemimpin Redaksi (Pimred) sebuah majalah fashion terkenal di Prancis, Elle. Tahun 1996 ia meninggal dalam usia 45 tahun setelah menyelesaikan memoarnya yang “ditulis” secara sangat istimewa dan diberi judul Le Scaphandre et le Papillon (The Bubble and the Butterfly). Setahun sebelum meninggal, ia terkena stroke yang menyebabkan seluruh tubuhnya lumpuh. Ia mengalami apa yang disebut “Locked-in Syndrome”, kelumpuhan total yang disebutnya “seperti pikiran di dalam botol”.
Memang ia masih dapat berpikir jernih, tetapi sama sekali tidak bisa berbicara maupun bergerak. Satu-satunya otot yang masih dapat diperintahnya adalah kelopak mata kirinya. Jadi itulah caranya berkomunikasi dengan para perawatnya, dokter rumah sakit, keluarga dan temannya. Mereka menunjukkan huruf demi huruf dan Bauby akan berkedip bila huruf yang ditunjukkan adalah yang dipilihnya. Ia meninggal 3 hari setelah bukunya diterbitkan. Satu kalimat yang membuat hati dan perasaan saya tertohok, bahkan lebih menohok dari perasaan yang saya rasakan ketika pertama kali mengetahui HP saya terendam air. Kalimat itu tertuang dengan sangat indah dalam memoar yang “ditulis” oleh Bauby. Dalam memoar tersebut, Bauby mengutarakan perasaan yang sudah sangat lama dipendamnya sendiri.
“I would be the happiest man in the world if I could just properly swallow the saliva that permanently invades my mouth” (Aku akan menjadi orang yang paling bahagia di dunia ini jika saja aku mampu menelan air liur yang memenuhi mulutku sendiri dengan benar).
Apa yang terpikir dalam benak anda setelah membaca kalimat yang dilontarkan oleh seorang yang didera kelumpuhan total selama setahun sampai akhirnya meningggal dunia itu? Rasanya tak perlu dijelaskan lagi. Ini masalah intensitas rasa syukur kita kepada Sang Khalik, sejauh mana kita mensyukuri setiap rezeki, kemudahan akses serta fase pencapaian yang sudah pernah kita raih sebelumnya. Rasanya hampir tak ada manusia yang tertimpa musibah di dunia ini yang tak bisa menelan air liurnya. Bahkan “menelan air liur/ludah” itu sendiri merupakan simbol dan isyarat non verbal dari segala bentuk kekalahan, frustasi, kekecewaan dan juga musibah pastinya. Sama halnya seperti yang saya lakukan kala pertama kali memegang HP yang sudah basah oleh air; menelan ludah, pahit, pahit sekali.
Sungguh, kini saya tersadar, masih banyak sekali air liur yang masih bisa kita telan dan telan lagi dengan sangat mudah, dan kita akan tetap bisa menelan air liur kala musibah-musibah lain menyapa, karena ia juga bagian dari rahasia kehidupan, mungkin sebagai media ekpresi non verbal terhadap berbagai problema kehidupan. Apakah kita akan terus mengeluh? Apakah kita mampu bersikap seperti Jean-Dominique Bauby? Pelajaran berharga justru datang dari hal-hal yang tak jarang kita anggap sebagai bentuk ketidakadilan. Ini merupakan bagian dari siklus kehidupan, yang punya batasan-batasan tertentu dalam setiap putarannya. Semoga kita selalu mendapatkan rahmat dan hidayah-Nya, selalu. Amin ya Rabbal ‘Alamin.
“Even if you have a bad day in a while, things get better” [Bad Day, Daniel Powter]
*Sambil terus-menerus menunggu dan menunggu bagian-bagian HP yang sudah dimasukkan ke dalam karung beras sembari mendengar “Life is Wonderful” dari Jason Mraz dan juga “Bad Day” nya Daniel Powter. Berharap keajaiban datang menyapa.
Cadek,
Mon, July, 26th 2010
05.00 am
0 komentar:
Posting Komentar