29 Agustus 2009

Mahasiswa Versus Kejujuran

Leave a Comment
Pengumuman hasil Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) sudah diumumkan di berbagai media massa kemarin (1/8). Para calon mahasiswa (cama) baru tentu mulai mempersiapkan diri untuk menyambut ‘fenomena akbar’ ini dengan berbagai cara.


Biasanya, sebagaimana pengalaman tahun-tahun sebelumnya, ketika hari ‘h’ tiba, maka kita akan melihat secara langsung fenomena ‘lagee China karam’ terkait dengan tingkah polah para calon mahasiswa baru ini. Ada yang datang ke Warnet (Warung Internet) langganan mereka secara bergerombolan untuk melihat apakah nama mereka tertera di dalam database hasil pengumuman SNMPTN atau tidak. Ada yang menunggu hasil pengumuman tersebut dicetak di koran, dan ada juga yang langsung menjelajahi Internet Browser untuk melihat hasil pengumuman SNMPTN dari ponsel Blackberry kesayangan mereka.



Bagi yang lulus, langsung meloncat-loncat dan berteriak kegirangan sesuka hati karena sudah diterima di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) favorit mereka. Tidak peduli apakah dia sedang berada di tempat umum, seperti Warnet dan tempat umum lainnya. Bagi yang tidak lulus, ada yang menangis sesenggukan, sedih, frustasi, kecewa, dan emosi negatif lainnya yang bercampur aduk dalam duka. Ironi memang, ketika kita telusuri lagi etiologi lulus tidaknya seseorang dalam rangka melanjutkan jenjang pendidikan ke PTN ini. Apakah lulusnya orang-orang tersebut merupakan indikasi dan jaminan keberhasilan pendidikan mereka?, dan juga apakah yang tidak lulus itu mempunyai latar belakang pendidikan yang buruk?.


Sudah menjadi rahasia umum, bahwa pelaksanaan SNMPTN ini selalu diwarnai dengan aneka ragam ‘malpraktek’. Mulai dari keterlibatan pihak internal PTN itu sendiri maupun transaksi jasa perjokian (gacok). Mengenai kasus perjokian ini, sangat disayangkan karena adanya keterlibatan langsung para mahasiswa di dalamnya. Mahasiswa yang seharusnya berperan sebagai Agent of Change and Social Control kini malah berubah fungsi menjadi Agent of Money and Business Control.


Agent of Change merupakan salah satu peran mahasiswa sebagai representasi masyarakat dalam rangka memelopori perubahan menuju ke arah yang lebih baik, sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat. Sedangkan Social Control merupakan peran lain dari mahasiswa dalam memberikan kontrol atas kondisi sosial politik masyarakat, misalnya terkait dengan kebijakan pemerintah. Disinilah sebenarnya landasan awal terbentuknya gerakan sosial mahasiswa.


Tetapi, faktanya hari ini kita lihat bagaimana kondisi internal mahasiswa itu sendiri yang sudah kehilangan orientasi (disoriented). Mahasiswa sekarang ini sudah terjebak dalam konsep Individualis, Praktis dan Pragmatis. Contohnya seperti kasus yang terjadi pada waktu pelaksanaan ujian SNMPTN Universitas Hasanuddin, Makassar, menangkap 10 joki yang mendampingi peserta seleksi. Diantara para joki tersebut, terdapat sembilan mahasiswa Institut Teknologi Bandung (Kompas, 3/7). Sungguh memalukan, demi mengharapkan nominal rupiah yang cukup menjanjikan, mahasiswa pun ‘menggadaikan’ Intelektualitasnya. Jangan tanya lagi mengenai Idealisme, karena tipe mahasiswa seperti ini lebih cenderung bermain di zona pragmatisme.


Dalam konteks Aceh, budaya seperti ini juga telah lama dikumandangkan oleh aneuk nanggroe. Tradisi ini sudah menjadi ‘reusam’ dari tahun ke tahun. Walaupun Humas Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Wahab Abdi beberapa waktu lalu menegaskan bahwa panitia SNMPTN Unsyiah akan memberikan sanksi keras, bahkan hingga akan dilaporkan ke pihak kepolisian jika ditemukan joki pada pelaksanaan ujian tahun ini, toh kecurangan tersebut juga terjadi pada pelaksanaan Ujian Masuk Bersama (UMB) pada 6-7 Juni sebelumnya (Serambi Indonesia, 4/7). Masih banyak lagi kasus – kasus serupa tiap tahunnya, baik yang sudah terungkap maupun tidak.


Hebat!, sungguh pencapaian yang fantastis. Mahasiswa yang seharusnya merupakan kaum intelektual yang dilandasi kekuatan moral (moral force) sekarang justru contradictio in terminis. Coba kita bandingkan dengan era keemasan mahasiswa sebelumnya, terutama dalam kancah pergerakan nasional. Masih belum lekang dari ingatan kita sejarah pergerakan Boedi Oetomo tahun 1908, kemudian sumpah pemuda tahun 1928, proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945, jatuhnya orde lama pada tahun 1966, samapai puncaknya pada runtuhnya rezim orde baru pada tanggal 21 Mei 1998. bagaimana ketika itu para mahasiswa betul-betul memperjuangkan kepentingan rakyat, bukan kepentingan perut sendiri. Mereka akan terus berjuang walaupun jiwa-raga menjadi taruhannya.


Disini jelas kita bisa menilai secara objektif bahwa para mahasiswa tempo doeloe memang berorientasi pada kebersamaan (togetherness oriented), sedangkan mahasiswa ‘hare gene’ lebih cenderung berorientasi pada diri sendir (self-oriented). Walhasil, lahirlah generasi-generasi bermental komersil, ada uang ada barang. Mereka ini rela ‘diperbudak’ oleh orang-orang yang mempunyai materi dan kekuasaan demi meraup lembaran rupiah sebanyak-banyaknya. Jika budaya seperti ini tidak dibumi-hanguskan, maka secara tidak langsung kita juga telah ‘mengamini’ legalnya praktik Neo-liberalisme di Negeri Syariat ini. “Siapa punya materi dan kekuasaan, dialah yang bertahan”.




Masih Sebatas Jargon.


Wacana mengenai eksistensi mahasiswa, terutama menyangkut dengan pengabdiannya di dalam masyarakat, memang takkan pernah habis. Selalu saja ada yang ‘sensasional’ dari sosok seorang mahasiswa. Selaras dengan konsep Tri Dharma Perguruan Tinggi, yaitu pembelajaran, penelitian dan pengabdian, namun aplikasi dari konsep ini dalam tubuh mahasiswa mulai memudar. Mahasiswa yang memiliki Intelectual Quotient (IQ) yang tinggi dan prestasi akademik yang luar biasa justru berperan ganda. Di satu sisi sebagai mahasiswa, dan di sisi yang lain sebagai seorang joki SNMPTN.


Ironis sekali, ketika kita merujuk kembali pada referensi tentang peran mahasiswa. Salah satu referensi menyebutkan bahwa peran mahasiswa secara umum itu ada tiga. Pertama, mahasiswa sebagai Iron Stock, yaitu mahasiswa diharapkan menjadi manusia-manusia tangguh yang memiliki kemampuan dan akhlak mulia, yang nantinya bisa mengantikan generasi-generasi sebelumnya. Kedua, mahasiswa sebagai Guardian of Value, yaitu yang berperan sebagai penjaga nilai di dalam masyarakat. Dan yang ketiga, mahasiswa sebagai Agent of Change and Social Control, seperti yang sudah disebutkan tadi.


Sebagai Iron Stock, berakhlak muliakah mahasiswa yang melakukan praktik yang bisa merugikan orang lain?. Lantas, nilai moral seperti apa yang bisa dibanggakan dari Guardian of Value tersebut?. Jargon-jargon seperti ini tak lebih hanyalah sebagai ikon formal saja, yang dituliskan dengan huruf yang besar dan di pajang di pusat-pusat aktivitas mahasiswa di kampus.


Tentunya kita semua berharap, semoga ini bukanlah hanya sebatas jargon kosong yang nyaring bunyinya. Ke depan kita harapkan adanya revitalisasi peran mahasiswa supaya lebih aplikatif dalam interaksinya dengan masyarakat luas. Sejatinya, mahasiswa merupakan Iron Stock bangsa dan negara di masa depan, sesuai dengan slogan “student now, leader tomorrow”. Bersamaan dengan itu, pihak Rektorat Kampus dan Dinas Pendidikan juga harus memberikan semacam Shock Theraphy bagi pelaku kecurangan. Dengan begitu bisa menimbulkan efek jera serta turut menghilangkan mental materialistik dalam tubuh pelakunya sebagai seorang mahasiswa. Wallahu’alam Bishshawab.

0 komentar:

Posting Komentar

.