9 Oktober 2011

Balada Orang-orang Pinggiran

Leave a Comment
Cuaca di siang itu begitu terik. Pengunjung terlihat memadati area lapangan yang telah disulap menjadi tempat berlangsungnya pameran besar. Dua tenda rooders berdiri kokoh di tengah lapangan. Di dalam tenda tersebut didirikan pula stan-stan kecil yang memamerkan beragam produk-produk mereka. Ada banyak stan kecil di sana. Itulah sekelumit cerita yang ada di arena Aceh Fair Lapangan Blangpadang. Acara berskala nasional yang berlangsung sejak 8 sampai 15 Mai 2011 ini membuat masyarakat berbondong-bondong memadati area Lapangan Blangpadang.

Nun jauh di pinggir lapangan tersebut, seorang pria muda ikut “meyemarakkan” acara itu dengan menjajakan barang dagangannya di luar arena Aceh Fair, tepatnya di tepi-tepi jalan yang melingkari lapangan Blangpadang. Agus (22 thn), Pedagang kaki Lima (PKL) penjual popcorn ini mengaku memang sudah lama berjualan di daerah tersebut. Ia tak berjualan dalam kompleks acara. Ia mengatakan bahwa ia sudah nyaman berjualan di situ saja.

“Tempatnya mantap, habis tu bagus, hasilnya pun lumayan, jadi aku berjualan di sini,” ungkapnya.

Walaupun tak diusir dari “zona terlarang” Lapangan Blangpadang seperti teman-temannya yang lain karena berjualan di dalamnya, namun ia juga dikenakan tarif “pajak” oleh pihak panitia Aceh Fair. Ia harus merogoh kocek sebesar Rp. 20.000 per malam. “Yang penting kita bayar lapak (tempat berjualan –red), jadi tidak akan diusir,” tambah Agus.

Sebenarnya ia merasa berat untuk membayar uang sejumlah itu. Pernah ia hanya mampu membayar Rp. 15.000, namun pihak panitia tersebut memaksanya untuk membayar uang sejumlah yang mereka minta. Dalam menagih uang tersebut, pihak panitia ini juga membawa “pendamping”, yaitu pihak keamanan. “Mereka (pihak panitia –red) juga bawa-bawa provos waktu minta uang itu,” akunya.

Ia juga pernah diancam bila nekad jualan di dalam kompleks Lapangan Blangpadang. Hal itu terjadi pada hari Minggu (8/5/2011) sewaktu pembukaan Aceh Fair. Ia diingatkan oleh panitia agar jangan menggelar lapak di area tersebut. Yang boleh jualan hanya yang membuka stan dalam tenda rooders. “Seakan-akan kami yang pedagang kaki lima ini disuruh jualan di luar semua,” Agus menuturkan nasibnya sebagai PKL dengan sendu.

Hal yang hampir sama juga dirasakan Popi (57 thn). Penjual soto asal Banda Aceh ini harus membayar sewa lapak sebesar Rp. 100.000 per bulan kepada orang yang berkuasa di kawasan Lapangan Blangpadang itu. Sewaktu ditanya masalah pembayaran sewa lapak tersebut apakah memberatkan baginya, ia justru berharap agar lapak tersebut kalau bisa tak perlu dibayar sama sekali alias gratis. “Cuma mau gimana lagi, sekarang semuanya kan pakai duit,” katanya sambil tersenyum.

Popi mengaku baru berjualan dua hari sebelum digelarnya acara Aceh Fair tersebut. “Saya minta izin sama orang yang berkuasa di sini (Lapangan Blangpadang –red). Orang itu bilang kalau jualan di luar lapangan boleh, tapi kalau di dalam nggak dikasih,” ujarnya pasrah. Walau begitu, ia juga merasa untung karena masih diperbolehkan untuk berjualan di pinggir lapangan.

Sementara itu, Ketua Pelaksana Harian Aceh Fair, Poppy Amalia menegaskan bahwa Aceh Fair tersebut adalah pameran yang ditujukan untuk masyarakat Aceh. Acara ini diutamakan pada kegiatan masyarakat di 23 kabupaten/kota di Aceh. “Mereka akan memamerkan produk unggulannya dalam acara tersebut,” ungkap Poppy.

Poppy juga mengatakan bahwa dalam acara tersebut, Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi (Disperindagkop) memberikan stan gratis sebanyak 23 atau satu kabupaten/kota mendapatkan satu stan.

Stan tersebut diisi oleh berbagai produk unggulan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) masyarakat Aceh baik pertanian, perkebunan dan usaha lainnya. Tujuannnya adalah agar sebelum masyarakat Aceh menjual produknya ke luar, masyarakat Aceh harus mencintai produknya sendiri dulu. Oleh karena itu, acara Aceh Fair ini mengedepankan slogan “I Love Aceh’s Product”.

Selain itu, acara yang menghasilkan keuntungan sebesar Rp. 6,5 miliar ini juga menghadirkan kegiatan Job Fair, yaitu pameran pekerjaan. Dalam acara tersebut, perusahaan-perusahaan yang terdaftar membuka formasi lowongan pekerjaan bagi masyarakat dengan kriteria tertentu.

Sewaktu ditanya masalah kehadiran PKL di area acara Aceh Fair, Poppy kembali menegaskan orientasi awal mereka terkait dengan acara ini. “Ini prosesnya apa, mau pameran produk unggulan Aceh atau produk unggulan luar? Soalnya mereka (PKL –red) kan pendatang semua,” ujarnya.

Selain itu, ia menambahkan bahwa kalau PKL ini juga ikut “pameran” di area tersebut dan harganya lebih murah dari produk yang dijual oleh UKM di dalam stan, maka para pengunjung pasti akan memilih membeli dari PKL tersebut.

Poppy juga menuturkan apabila para PKL ini juga ingin ikut menjual produknya juga bersama UKM, maka mereka harus bergabung dengan UKM yang berasal dari kabupaten/kota yang sama dengan PKL tersebut karena acara ini sendiri berfokus pada UKM. “Misalnya mereka (PKL –red) berasal dari Kota Lhokseumawe, ya gabung sama stan Lhokseumawe, atau yang dari Kota Banda Aceh gabungnya ke stan Banda Aceh. Saya sudah konfirmasi ke seluruh kabupaten dan kota,” jelasnya lagi.

Walaupun Poppy menawarkan opsi bagi PKL itu untuk ikut menyemarakkan acara Aceh Fair ini dengan bergabung dengan kabupaten/kota masing-masing, namun sejauh pengamatan DETaK di arena Aceh Fair Lapangan Blangpadang, upaya konkrit dari pihak panitia itu sendiri tidak menunjukkan tanda-tandanya selain konfirmasi yang dilakukan Poppy kepada 23 Kabupaten/kota itu saja. Yang ada, sebagaimana pengakuan Agus, justru pihak panitia Aceh Fair memungut “pajak” dari para PKL ini sebesar Rp. 20.000 per malam walau mereka berjualan di luar arena Aceh Fair.

Ironisnya, acara akbar semegah Aceh Fair ini juga menimbulkan beragam polemik. Walau acara ini telah usai, ia tetap menyimpan banyak misteri yang belum sepenuhnya tersingkap, termasuk masalah kepastian apakah tahun depan akan diadakan acara serupa lagi serta bagaimana nasib para PKL ini jika acara Aceh Fair selanjutnya jadi diselenggarakan kelak?

“Ini hari terakhir, selesai acara ini, mereka (PKL –red), mau jualan lagi, terserah lah. Konsepnya UKM,” tutup Poppy.

0 komentar:

Posting Komentar

.