Sudah menjadi rahasia umum bahwa kebobrokan sudah mengakar dalam kehidupan kita. Mulai dari kalangan Pemerintah Pusat, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Pemerintah Provinsi, Kabupaten, Kecamatan, bahkan sampai tingkat Kepala Desa (Kades) pun mengalami dekadensi dan degradasi orientasi. Hal ini sudah menjadi semacam “sindikat mafia lintas negeri” yang sedang dan akan terus menjalankan “operasi bawah tanah” di negeri ini.
Contoh nyatanya yang masih melekat di ingatan kita, yaitu studi banding anggota DPR RI yang hanya menghabiskan uang rakyat dengan sia-sia. Dengan alasan hendak mengadopsi model kebijakan dari negeri orang namun dengan “membunuh” banyak nasib rakyat di negeri sendiri. Juga tentang pembangunan gedung baru yang banyak mendapat komentar negatif dari masyarakat. Cara seperti itu justru menampakkan sikap tamak dan keserakahan orang-orang terhormat itu sendiri.
Atau kasus anggota DPR yang sedang studi banding ke Australia dan ketahuan tidak mengetahui email resmi DPR, yang ada malah menyebutkan email dari provider email gratisan, Yahoo! Hal-hal seperti ini hanya membuat rakyat semakin muak melihat tingkah para penguasa sehingga menggeneralisasikan serta membuat stereotip-stereotip negatif kepada mereka, walau tak bisa dipungkiri juga masih ada yang mau memberikan kontribusinya kepada negeri ini dengan tulus dan ikhlas.
Jawaban untuk pertanyaan inilah yang hendak saya uraikan dalam pembahasan ini. Memang mengingat fenomena kebobrokan ini sudah begitu akut, sehingga jawaban yang perlu dikupas pun sangatlah kompleks. Namun setidaknya apa yang akan saya nukilkan dalam tulisan ini hendaknya bisa menjadi hikmah bagi saya sendiri serta pembaca sekalian.
Sewaktu konflik antara Pemerintah Republik Indonesia (RI) dan pihak Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dulu di kampung saya, banyak kisah-kisah miris dan memilukan yang melanda. Namun, saya tidak hendak mengungkit-ungkit masa suram berdarah itu kali ini. Saya hanya hendak menuturkan sebuah pengalaman yang mungkin bisa dijadikan bahan renungan bagi kita semua.
Beberapa waktu yang lalu, kala saya pulang kampung mengisi waktu liburan semester. Malam itu, saya menghabiskan waktu mengobrol bersama ayah setelah lama tak berjumpa sebelumnya. Beliau yang merupakan salah seorang kepala sekolah (kepsek) di sebuah Sekolah Dasar Negeri (SDN) di pedalaman kampung saya, bernostalgia tentang masa-masa mengajar di SDN tersebut, terutama sewaktu konflik masih menggema di tanah kami.
Ia bercerita mengenai pengalaman serta kisah pahit-getir, susah-gelisah dan manis-cerah hidupnya sebagai seorang kepsek di pedalaman nun jauh sana. Salah satunya yang masih kuingat, adalah kisah menegangkan kala ia harus berkonfrontasi dengan salah seorang wali murid yang juga seorang kombatan GAM di kantor sekolah.
Hari itu adalah hari pengumuman kelulusan Ujian Akhir Nasional (UAN) murid SD. Ayah saya yang saat itu sedang berada di dalam ruangan begitu terkejut karena dengan tiba-tiba, tanpa salam seorang anggota GAM di kampung tersebut langsung masuk ke ruangan dan bertanya kepada ayah saya, “Kok anak saya tidak lulus UAN, pak?!” ayah saya yang terkesiap dengan kondisi tersebut mencoba bersikap tenang.
Pada waktu itu, semasa konflik, ketika seorang masyarakat sipil sudah berkonfrontasi atau bermasalah langsung dengan salah satu pihak yang bertikai (RI atau GAM), maka kemungkinan selamat dari maut itu sangatlah kecil. Jika tidak ditembak atau dibunuh, minimal akan kena tendangan atau pukulan dari salah satu pihak dari mereka.
Mengetahui ancaman tersebut, diajaknya lah anggota GAM tersebut oleh ayah saya dengan santun, karena memang sudah menjadi budaya waktu itu agar pandai memosisikan diri di antara kedua pihak yang bertikai. Karena kalau tidak, pastilah maut setiap saat akan mengintai.
Ayah saya mempersilakan tamu tak diundang itu untuk duduk, lalu menyuruh salah seorang guru perempuan dalam ruangan itu untuk membuatkan segelas kopi untuk sang tamu. Walau singa sekali pun, kalau ia sudah bertandang ke rumah, itulah tamu kita, begitu pesan ayah saya.
Lalu ayah mulai berbasa-basi untuk menghilangkan ketegangan serta kekakuan di antara mereka, seperti pertanyaan “dari mana?”, “apa kabar?” sampai pertanyaan personal, “sudah makan?” pun ditanya ayah saya. Hal ini semata-mata dilakukan agar keduanya bisa nyaman dalam berkomunikasi.
Setelah meneguk kopi yang dihidangkan tuan rumah, mulailah sang tamu menuturkan ihwal kedatangannya. Ia bertanya kepada ayah saya kenapa anaknya tidak bisa lulus UAN, ada apa gerangan. Ayah saya pun menjelaskan, bahwa sebelum UAN dilaksanakan, para guru telah mengundang wali murid untuk mengikuti rapat dengan pihak sekolah terkait dengan UAN siswa-siswi SDN tersebut. Kalau memang ia (anggota GAM tersebut) tidak bisa menghadiri rapat itu karena alasan keamanan (biasanya mereka mersembunyi di gunung agar tak ditangkap oleh tentara), kan bisa diwakili oleh orang lain.
Ketika waktu UAN telah dekat, para murid tersebut diwajibkan belajar secara rutin di rumah masing-masing. Ayah saya mengatakan kepada anggota GAM itu bahwa supaya murid-murid tersebut benar-benar belajar di malam hari, ayah saya sampai harus membuntuti dan menegur anak-anak itu kalau kedapatan sedang menonton di rumah tetangga atau warung kopi terdekat di malam hari (yang berarti mereka tidak belajar dan asyik menghabiskan waktu menonton TV semalaman). Bahkan masyarakat juga mendukung apa yang dilakukan oleh ayah saya. “Bapak jewer terus telinga mereka kalau perlu!” ujar warga yang juga salah seorang wali murid SD tempat ayah saya mengajar.
Mendengar pengakuan ayah saya, akhirnya hati anggota GAM tersebut luluh juga dan meminta maaf kepada ayah saya. Ia berjanji akan mempercayakan proses pendidikan dan pembelajaran anaknya kepada ayah saya dengan mengulang dan duduk di kelas VI setahun lagi dan berharap bisa lulus di tahun selanjutnya.
Begitulah, karena semangat totalitas menyeluruh yang dilakoni ayah saya membuat ia bisa terlepas dari ancaman maut anggota GAM tersebut. Karena kisah itu pulalah saya tersadar dan termotivasi untuk menyebarluaskannya kepada orang lain melalui tulisan ini. Karena pada hakikatnya, semua profesi di dunia ini tujuannya hanya untuk melayani, bukan dilayani! Bahkan presiden dan raja sekalipun, sebenarnya sedang melayani rakyatnya, seperti Presiden Iran, Mahmoud Ahmadinejad yang mengaku bahwa ia bukanlah presiden, tetapi hanya pelayan rakyat semata.
Juga, sebagaimana pengakuan ayah saya, bahwa di profesi kepsek atau guru itulah asap dapur rumah kami bisa mengepul untuk menghidupi anak dan istri, jadi untuk apa dikhianati dengan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN)? Semoga cerita singkat ini bisa menjadi pelajaran dan hikmah bagi kita semua, terutama para penguasa di seantero nusantara ini. Dengan spirit totalitas, mari menyongsong Indonesia yang menyeluruh, Indonesia yang total, menuju totalitas Indonesia. Amien!
NB : Tulisan ini telah dikutsertakan dalam lomba ELS (Edu Life Skill) Character: Character for Indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar