11 Juli 2011

Perpus: Antara Gaya Hidup dan Tantangan Zaman

Leave a Comment
Perpustakaan atau yang biasa disebut perpus merupakan ladang ilmu atau pintu masuk untuk merengkuh samudera pengetahuan yang maha luas di bumi ini. Perpus ibarat gudang amunisi yang menyediakan berbagai senjata dan alat kelengkapan perang melawan kebodohan dan ketidaktahuan. Di perpus, semua pengetahuan lintas disiplin ilmu terangkum dalam beribu buku yang tersusun rapi di atas rak-rak dengan kategori masing-masing. Perpus adalah rumah kedua bagi kaum-kaum cendekiawan yang haus akan pembaharuan.


Jika ditelusuri sejarah awal hadirnya perpus di nusantara yang ditandai dengan mulai dikenalnya tulisan, maka sejarah perpustakaan di Indonesia dapat dimulai pada tahun 400-an Masehi, yaitu saat Lingga Batu dengan tulisan Pallawa ditemukan dari periode Kerajaan Kutai. Itu berarti sudah lebih kurang 16 abad Indonesia mengenal perpus, namun belum juga mendapatkan momen “renaissans”-nya yang tepat juga hingga saat ini.

Perpus dewasa ini telah distereotipkan sebagai sesuatu yang “dikucilkan”, bahkan dalam kalangan mahasiswa sendiri. Hal ini dibuktikan dengan penggambaran-penggambaran siswa atau mahasiswa dan perpus dalam film-film atau sinetron-sinetron yang salah kaprah. Siswa atau mahasiswa tersebut digambarkan sebagai orang yang lugu (culun), kurang respons (oon), kurang pergaulan (kuper), berkacamata tebal dengan tompel besar di pipi kanannya seraya menggandeng beberapa buku tebal dan sering “bertapa” di perpus sendirian. Mereka biasa digelar sebagai “si kutu buku”.

Begitulah stigma media yang menempel pada siswa dan mahasiswa dengan perpus yang sering menjadi tempat pergumulannya. Belum lagi persepsi mahasiswa secara umum terhadap hal ini, yang disadari atau tidak juga dipengaruhi oleh stigma media itu sendiri. Hal-hal seperti ini merupakan pembunuhan karakter serta ancaman tersendiri bagi cendekia-cendekia muda yang harus terus berbenah diri melalui ilmu pengetahuan yang terangkum di perpus.

Belum lagi akronim yang sering disematkan kepada mahasiswa yang hanya pulang-pergi kampus dan perpus, seperti akronim yang sering disebut oleh sebagian besar mahasiswa Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Aceh dengan nama “marumpus” alias mahasiswa rumah-kampus-perpus. Masih banyak diskriminasi-diskriminasi lain yang dialamatkan kepada orang-orang dan perpus itu sendiri.

Perpus dan Pustaka Online: Gaya Hidup Baru

Revolusi media saat ini yang diindikasikan dengan kian eksisnya dunia maya atau internet kian mempersempit ruang tumbuh-kembang perpus. Dengan tampilan dan fitur-fitur futuristik, beragam model dari perpus ini diadaptasi ke dalam dunia maya, sehingga muncullah istilah “pustaka online” dan istilah-istilah lain yang berkenaan dengan dunia online atau internet sehingga bisa dengan mudah menikmati dan mengunduh buku-buku kemasan program komputer dengan ekstensi *.exe dan Portable Document Format (PDF), yaitu buku komputer/elektronik dengan nama “e-book” atau “electronic book” yang bisa dengan leluasa dibaca di komputer serta perangkat elektronik lainnya.

Namun, semestinya hal ini tak lantas menghilangkan eksistensi perpus di mata para cendekia. Kedua medium ini bisa dipadu-laraskan, dikombinasikan atau dimanfaatkan secara bersamaan. Satu sama lain saling melengkapi kekurangan yang ada.

Tak bisa dipungkiri bahwa apa yang tersaji dalam paket-paket elektronik tersebut belum sepenuhnya bisa didayagunakan secara efektif. Misalnya gangguan penglihatan yang mendera jika terlalu lama memelototkan mata di depan layar monitor komputer atau kendala teknis seperti mati lampu, habis baterai serta kendala teknis lainnya. Walaupun harus juga diakui bahwa dengan perangkat elektronik ini bisa menghemat ruang (space) yang mampu menampung banyak koleksi e-book sehingga lebih efisien daripada buku yang tebal dan besar serta terpisah paketnya antara satu buku dan buku lainnya.

Seperti di Banda Aceh, misalnya. Saat ini, di sana juga sudah ada orang yang mengkombinasikan antara konsep kafe yang menyediakan beragam makanan dan minuman dengan konsep pustaka yang menyediakan berbagai jenis buku baik level lokal (Aceh), nasional serta internasional. Mereka memperkenalkan konsep ini sebagai “Cafe Pustaka” dengan slogan “Makan, Minum, Baca dan Online”. Selain makanan, minuman serta buku, mereka juga menyediakan fasilitas Wireless Fidelity (Wi-fi) untuk online, warnet mini serta ruang rapat.

Hal ini juga tak lepas dari aktivitas “ngopi” masyarakat Aceh yang sudah menjadi gaya hidup (life style) serta ruang komunikasi dan kebudayaan baru. Dengan menggabungkan konsep “ngopi” di kafe dengan aktivitas membaca dan mengakses internet secara bersamaan, maka semua akan terasa lebih lengkap untuk mengisi aktivitas sehari-hari kaum cendekiawan muda. Perpus, “ngopi” dan pustaka online adalah gaya hidup baru di dunia modern dan globalisasi ini.

Perpus dan Perpus Online Sebagai Kebutuhan

Bagi saya, perpus merupakan kebutuhan vital, terutama sekali buat mahasiswa. Hal ini bukan hanya sekadar tuntutan kuliah semata, tetapi juga untuk membuka ruang-ruang sempit kesadaran dan pondasi awal menuju perubahan, pembaharuan serta revolusi pemikiran.

Namun hal ini juga harus diselaraskan dengan zamannya. Jika zaman mesin tik dulu, ketika belum ada laptop dan mahasiswa masih harus menjinjing diktat besar ke kampus, wajar jika mereka hanya bisa memanfaatkan perpus sebagai satu-satunya akses serta Sumber Daya Alam (SDA) yang ada. Berbeda dengan zaman sekarang, ketika SDA tersebar di mana-mana. Selain perpus, pustaka online dan sarana internet lainnya bisa dimanfaatkan sebagai SDA untuk menunjang kreativitas, produktivitas serta kebutuhan penting lainnya.

Perpus yang ideal saat ini adalah perpus yang mampu menjawab kebutuhan zaman. Sudah saatnya pemerintah dan seluruh elemen masyarakat mendukung sepenuhnya kampanye membangun budaya membaca sebagai upaya mencerdaskan anak bangsa. Hal ini bisa diwujudkan dengan menerapkan dua konsep di atas: kafe dan pustaka menjadi konsep yang nyata dalam masyarakat. Semakin banyak model tersebut dalam lingkungan masyarakat, maka semakin besar kesadaran masyarakat untuk memasukkan budaya membaca dalam daftar gaya hidup, kebutuhan serta ruang kebudayaan baru yang baik dan sehat bagi mereka.

Mengutip apa yang pernah disampaikan oleh Mark Twain (1835-1910), seorang penulis asal Amerika Serikat, “The man who does not read good books has no advantage over the man who can't read them.” Semoga ini semua bisa menggugah kesadaran kita akan budaya membaca serta persepsi terhadap perpus sebagai jendela dunia.

Sammy Khalifa
Mahasiswa Program Studi Psikologi
Universitas Syiah Kuala (Unsyiah)
Pegiat Komunitas Menulis Jeuneurob, Aceh
Okezone.com

0 komentar:

Posting Komentar

.