7 Juli 2011

Idealisme Kelompok

Leave a Comment
Realitas pemetaan afiliasi antara organisasi mahasiswa dengan partai politik (parpol) baik di level lokal maupun nasional memang bukanlah suatu hal yang baru. Ironisnya, mahasiswa sebagai ikon intelektualitas dalam lingkungan masyarakat justru ikut menasbihkan diri sebagai salah satu bagian dari parpol tertentu melalui jaringan organisasi mahasiswa di kampus.


Mahasiswa yang seharusnya mengaplikasikan nilai-nilai luhur Tri Dharma Perguruan Tinggi mulai ternodai dengan praktik politik praktis. Begitu pula dengan organisasi mahasiswa yang seyogyanya sebagai media penampungan aspirasi dan advokasi mahasiswa dan masyarakat secara lebih luas malah beralih fungsi menjadi mesin penggerak misi kelompok tertentu.

Untuk memuluskan hal tersebut, antar organisasi itu pun mulai menunjukkan eksistensinya, baik dengan cara-cara yang wajar maupun tak wajar. Mulai dari penjaringan massa yang biasanya mahasiswa-mahasiswa baru sampai pada misi politik-politik agitasi. Semua itu dilakukan tak lain adalah agar kelompok dari organisasi bisa melenggang menuju kursi kekuasan tertinggi mahasiswa, Unsyiah Satu, yaitu Pemerintah Mahasiswa (Pema) Unsyiah.

Akibatnya, suhu demokrasi di kampus memanas. Setiap saat ketika menjelang akhir kepengurusan Pema serta awal-awal Pemilihan Raya (Pemira) Unsyiah selalu terjadi bentrok kepentingan. Antara satu pihak dan lain saling klaim kebenaran.

Idealisme Eksklusif
Hal tersebut terjadi karena eksklusivisme dalam tubuh organisasi mahasiswa itu sendiri. Mereka melakukan itu demi idealisme kelompoknya semata. Mereka yang bersuara lantang mengatasnamakan masyarakat ataupun mahasiswa, walau apa yang diusung itu sebenarnya tak lebih dari aspirasi mereka semata, tentunya sesuai dengan orientasi kelompoknya.

Organisasi mahasiswa jelas telah kehilangan ruh idealismenya. Dengan mengusung kepentingan kelompok berkedok aspirasi mahasiswa, itu sama saja artinya dengan menggadaikan idealisme demi tampuk kekuasaan. Lalu jika sudah begini, di mana lagi letak idealisme mahasiswa?

Mahasiswa terpecah dalam fraksi dan golongan-golongan tertentu. Setiap organisasi mahasiswa merasa paling benar dan menjatuhkan organisasi mahasiswa yang lain. Hal ini tentu bukanlah iklim demokrasi yang baik. Apalagi hal ini terjadi di level mahasiswa. Apa jadinya nanti ketika mereka terjun langsung ke masyarakat nanti?

Keihklasan dan Totalitas
Mahasiswa sebagai kaum intelektual hendaknya memberikan pencerahan-pencerahan kepada masyarakat baik dengan kontribusi ilmu pengetahuannya sesuai dengan kapasitas keilmuan masing-masing atau dengan mengadvokasi setiap permasalahan yang dihadapi masyarakat melalui medium organisasi mahasiswa. Karena pada hakikatnya, orientasi idealisme mahasiswa adalah masyarakat secara umum. Sebagaimana esensi yang terkandung dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi, yaitu pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat.

Konsep ini bisa dijalankan dengan dua instrumen, yaitu keihklasan dan totalitas perbuatan. Pertama, dengan keikhlasan. Kita semata-mata berbuat demi kemaslahatan masyarakat secara umum dalam segala hal. Luruskan niat untuk melakukan sesuatu demi manusia dan kemanusiaannya. Hal ini niscaya agar membentuk pola pikir (mindset) dalam diri intelektual mahasiswa untuk berbuat tanpa mengharap sesuatu apapun dari apa yang telah dilakukan bagi khalayak. Apalagi bagi mahasiswa yang bergiat di organisasi mahasiswa atau Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) yang ada di kampus, yang pada dasarnya memang tidak digaji.

Keikhlasan dalam berbuat merupakan pondasi awal dalam membentuk karakter intelektual yang tulus berbuat tanpa pamrih. Dengan begitu maka akan terbentuk jiwa-jiwa mahasiswa yang memiliki integritas dan tanggungjawab yang tinggi dalam mengemban amanah jabatan. Selain itu, hal ini bertujuan untuk menghilangkan pola pikir pragmatis dan hedonis dalam pribadi mahasiswa.

Kedua, totalitas perbuatan. Setelah nilai-nilai keikhlasan terpatri, instrumen selanjutnya adalah melaksanakan amanah tersebut dengan sungguh-sungguh. Totalitas dalam berbuat dan berjuang merupakan implementasi langsung dari keikhlasan. Misalnya ketika mahasiswa melakukan advokasi terhadap kebijakan rektorat yang merugikan mahasiswa, maka organisasi mahasiswa harus aktif menyampaikan aspirasi para mahasiswa langsung kepada rektorat. Jangan setengah-setengah, tetapi harus benar-benar mengadvokasi sampai ada titik terangnya.

Totalitas di sini juga berarti semua organisasi mahasiswa yang ada di lingkungan kampus harus bersatu-padu mengusung aspirasi mahasiswa. Jika tidak, maka fenomena eksklusivisme seperti yang tertulis di atas akan terulang kembali. Jika sudah demikian, maka aspirasi yang disuarakan bukanlah sepenuhnya milik mahasiswa, tapi milik golongan dan kelompok tertentu saja.

Organisasi mahasiswa yang ada di lingkungan kampus tidaklah seharusnya ditunggangi oleh kepentingan pihak luar seperti parpol yang tak ada hubungannya dengan dunia kampus. Sehingga organisasi mahasiswa itu saling adu kepentingan di arena kampus. Sudah semestinya sesama organisasi mahasiswa saling bahu-membahu, menyatukan tujuan demi eksistensi mahasiswa dan masyarakat secara umum.

Untuk sejenak, mari tepiskan ego demi terbangunnya kembali konstruksi idealisme mahasiswa yang berlandaskan kepada Tri Dharma Perguruan Tinggi, bukan berlandaskan kepentingan kelompok ataupun parpol tertentu. Jika tidak, maka akan semakin banyak korban-korban lain yang bertumbangan demi tumbal kepentingan ini, khususnya adik-adik mahasiswa baru yang masih lugu dan tak tahu apa-apa tentang pergerakan mahasiswa.

Terakhir, kutipan dari Soe Hok Gie (1942-1969), salah seorang aktivis, demonstran, pecinta alam serta mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia Jurusan Sejarah 1962–1969 berikut mungkin bisa sedikit menggugah kesadaran kita dalam memahami dinamika gerakan mahasiswa selama ini :

“Masih terlalu banyak mahasiswa yang bermental sok kuasa. Merintih kalau ditekan, tetapi menindas kalau berkuasa. Mementingkan golongan, ormas, teman seideologi dan lain-lain. Setiap tahun datang adik-adik saya dari sekolah menengah. Mereka akan jadi korban-korban baru untuk ditipu oleh tokoh-tokoh mahasiswa semacam tadi.”

Semoga kita selaku mahasiswa mengemban amanah sebagai kaum intelektual dengan sungguh-sungguh. Amien.

*Penulis adalah mahasiswa Program Studi Psikologi, aktif di UKM Pers DETaK Unsyiah.

(Opini HA Edisi 7 Juli 2011)

0 komentar:

Posting Komentar

.