3 April 2011

Aceh Toleran

Leave a Comment
Menarik sekali membaca ulasan dalam dan tajam Sehat Ihsan Shadiqin (SIS) yang berjudul “Provinsi (bukan) Aceh” (SI, 21/3/2011). Dalam tulisannya, SIS mengungkapkan bahwa ada perbedaan identitas yang kentara antara Aceh sebagai nama sebuah provinsi dan Aceh sebagai sebuah suku. Dalam konteks ini, SIS hendak memilah-milah antara identitas kolektif Aceh sebagai daerah bernaung berbagai jenis suku seperti Gayo, Alas, Tamieng, Kluet, Aneuk Jamee, Singkil, Pasee, Simeulu, Tionghoa, Karo, Haloban dan lain sebagainya serta identitas kesukuan, dalam hal ini suku Aceh yang berarti sebagai sebuah suku tunggal yang memiliki bahasa dan kebudayaan yang tunggal pula dalam kesehariannya.


SIS menegaskan hal ini sebagai langkah antisipatif dan upaya penyadaran terhadap hegemoni berlebihan suku mayoritas terhadap minoritas. Hal ini patut dibicarakan bukan tanpa sebab, tetapi karena kasus semacam ini sudah pernah terjadi, dan SIS mengaitkan fenomena ini dengan kasus diskriminasi kesukuan salah seorang anggota DPRA terhadap mahasiswa demonstran yang berasal dari suku non-Aceh beberapa waktu sebelumnya.

Sebenarnya kasus-kasus seperti ini tanpa disadari, kerap terjadi dalam kehidupan sehari-hari di Aceh. Bagaikan fenomena gunung es, kasus anggota DPRA itu hanyalah bagian kecil dari puncak es yang ada di atas permukaan, sementara sejatinya kompleksitas yang terjadi di bawah permukaan air es itu sampai saat ini belum terungkap ke hadapan.

Dalam hal ini, kejadian tersebut menunjukkan kesombongan dan kejumawaan seorang wakil rakyat dengan superioritas kesukuannya yang mayoritas serta menafikan adanya suku-suku minoritas lain yang ada di sekitarnya. Dari sinilah mulai adanya kecenderungan sikap etnosentrisme, yaitu cara pandang dan penafsiran perilaku orang lain dari kacamata kultural orang itu sendiri. Misalnya dalam hal bahasa. Suku minoritas menganggap bahwa bahasanya harus dimengerti oleh semua suku-suku lain yang ada di daerahnya. Sementara mereka sendiri tak mau tahu dengan khazanah bahasa suku-suku lain tersebut, bahkan cenderung meremehkannya.

Karena penilaian yang sangat subjektif dari perspektif budaya sendiri inilah yang akan menimbulkan stereotip-stereotip baru atau sikap yang baku (fixed) tentang orang-orang yang berasal dari budaya lain, misalnya seperti kasus “monopoli” satu bahasa di atas. Dengan begitu, perasaan hebat akan budaya sendiri dan meremehkan budaya orang lain itu semakin terpatri dalam dirinya.

Jika hal-hal seperti ini terus dibiarkan terjadi dalam kehidupan sehari-hari, maka ke depan semakin banyak generasi yang tidak menghargai keberagaman dan justru menonjolkan identitas tunggal kebudayaannya, walau sebenarnya ia juga berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang-orang budaya lain dalam lingkungannya.

Aceh adalah sebuah daerah yang dihuni oleh beragam suku yang tersebar di seluruh wilayah Provinsi Aceh. Jadi, jelas bahwa sebagai masyarakat (provinsi) Aceh harus menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi dan solidaritas dalam semangat keberagaman dan kebersamaan. Kekhawatiran terbesar yang ditakutkan akan terjadi adalah ketika terjadi konflik antar suku yang diakibatkan oleh tidak adanya penerimaan atas keberagaman itu sendiri.

Hal ini juga bukan serta-merta hadir tanpa alasan. Konflik yang terjadi di Aceh beberapa waktu silam juga terkait dengan permasalahan identitas kesukuan, walaupun bukan menjadi penyebab utama terjadinya konflik. Tetapi dalam konteks sekarang, tidak tertutup kemungkinan konflik yang hampir serupa juga akan kembali terulang di Aceh ketika diskriminasi suku mayoritas-minoritas terus dibiarkan terjadi. Diskriminasi-diskriminasi semacam ini akan menjelma sebagai pemicu (trigger) timbulnya konfik-konflik baru. Semoga hal tersebut bisa diantisipasi semenjak dini.

Kurikulum Toleransi

Tidak ada salahnya jika kita belajar tentang interaksi keberagaman khususnya dalam hal bahasa sebagaimana yang terjadi di Amerika. Di awal abad ke-20, banyak orang Amerika yang mengira bahwa mengetahui lebih dari satu bahasa adalah sesuatu hal yang harus dihindari. Yang umum dipercaya adalah bahwa manusia hanya mempunyai “ruang” terbatas untuk menyimpan bahasa. Jika mempelajari “terlalu banyak” bahasa, maka mereka beranggapan bahwa hal tersebut akan mengambil “ruang” yang diperuntukkan sebagai fungsi-fungsi lain seperti intelegensi. Sekarang mereka menyadari bahwa hal tersebut salah dan tidak ada bukti bahwa orang dengan dua bahasan atau lebih (bilingual) lebih buruk kemampuannya dalam tugas-tugas intelektual atau tugas-tugas lain. Sebaliknya, ada bukti yang menunjukkan bahwa pengetahuan mengenai lebih dari satu bahasa dapat meningkatkan fleksibilitas kognitif (Matsumoto, 1994).

Berawal dari semangat kesadaran masyarakat Amerika di atas yang mulai terbuka wawasannya terhadap keberagaman khususnya bidang bahasa, hal tersebut juga bisa dipraktikkan dalam kehidupan masyarakat (provinsi) Aceh ini. Untuk mengubah paradigma serta pola pikir yang selama ini dianut tentang hegemoni kesukuan, maka hal ini bisa dimulai semenjak dini.

Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah dengan memasukkan kurikulum tentang pentingnya nilai-nilai atau rasa empati, saling pengertian, toleransi serta solidaritas antar sesama suku yang berbeda dalam sistem pendidikan. Kurikulum ini harus menjadi mata pelajaran wajib di sekolah serta MBB (Mata Kuliah Berkehidupan Bermasyarakat) di perguruan tinggi. Jika perlu, pihak perguruan tinggi dengan berkoordinasi dengan pihak terkait bisa mendirikan sebuah fakultas ataupun jurusan baru yang lebih menitikberatkan pada studi tentang suku atau budaya tertentu yang porsinya sama satu sama lain. Artinya, pendirian fakultas atau jurusan tersebut haruslah mengakomodasi semua suku atau budaya yang ada di (provinsi) Aceh.

Kesadaran akan keberagaman ini tidaklah terbentuk begitu saja, namun butuh proses panjang dalam upaya pencapaiannya. Karena itulah, pendidikan menjadi satu-satunya alasan yang mendasar sehingga langkah-langkah di atas patut diperhatikan dan ditindaklanjuti. Selain peserta pendidikan yang diharapkan mampu menjadi generasi yang dengan sukarela menerima setiap bentuk keberagaman, pemerintah juga harus diberikan “pendidikan” bagaimana harusnya menghargai pelbagai hal tersebut. Sehingga kasus seperti yang diulas SIS tentang tingkah wakil rakyat itu tak terulangi lagi.

Sejatinya, perbedaan itu tercipta bukanlah untuk membeda-bedakan, namun justru agar kita lebih arif dan bijak dalam melihat hal tersebut dengan hati yang bersih serta pikiran yang jernih, sehingga tidak lantas merasa ada yang lebih hebat dan digdaya dari yang lainnya. Bukankah dalam Islam sendiri sudah ditegaskan bahwa perbedaan itu adalah rahmat Allah SWT?

* Penulis adalah Mahasiswa Program Studi Psikologi Unsyiah, Peminat masalah-masalah psikososiokultural

0 komentar:

Posting Komentar

.