19 Maret 2011

Belajar dari Tangse

Leave a Comment
Aceh kembali berduka. Banjir bandang yang melanda Tangse, Pidie Kamis malam (10/3) telah menelan setidaknya enam korban jiwa dan korban hilang yang belum diketahui, sebagaimana lansiran data sementara Posko Induk Pemkab Pidie (SI, 14/3/2011). Musibah yang disinyalir karena adanya pembalakan liar di hutan ini telah membawa dampak kehancuran yang sangat besar bagi lingkungan dan masyarakat.


Berbagai kasus bencana yang terjadi di Aceh dalam kurun waktu setahun terakhir agaknya harus menjadi media perenungan mendalam bagi semua pihak agar lebih serius dalam mengantisipasinya. Begitu banyak bencana yang terjadi, seperti kebakaran di pusat pembelanjaan di Kecamatan Sawang, Aceh Selatan, Selasa 26 Januari 2010 (SI, 27/1/2010), banjir raya yang menimpa masyarakat Kota Lhokseumawe, Aceh Utara, Aceh Barat Daya (Abdya), Aceh Singkil, Aceh, Barat, Nagan Raya dan Aceh Jaya selama beberapa hari (SI, 7/10), kebakaran lahan kosong yang terjadi di kawasan Kota Lhokseumawe, Selasa, 1 Maret 2011 (SI, 2/3/2011) serta bencana lainnya baik yang telah diekspos media ataupun tidak. Hal itu tak terlepas dari kesilapan dan kurangnya usaha manusia sendiri untuk mencegahnya agar tak terulang di masa yangakan datang.

Berdasarkan pengertian dari Asian Disaster Preparedness Center (ADPC), bencana dapat didefinisikan sebagai suatu kejadian, yang disebabkan oleh manusia (human-made disaster) atau alam (natural disaster), secara tiba-tiba ataupun bertahap, yang menyebabkan korban jiwa manusia ataupun kerusakan alam dan melampaui kemampuan manusia untuk melindungi dirinya sendiri dari peristiwa tersebut. Secara garis besar, bencana diklasifikasikan menjadi dua, yaitu bencana yang disebabkan oleh fenomena alam (natural disaster) dan yang disebabkan oleh ulah dan kesilapan manusia (human-caused disaster).

Sejatinya, semua potensi bencana, baik yang disebabkan oleh fenomena alam maupun yang disebabkan oleh ulah manusia bisa diminimalisir jika semua elemen masyarakat dan pemerintahan tidak hanya “prihatin” ketika bencana terjadi dan kembali “adem ayem” setelah bencana tersebut terlewati. Seharusnya upaya yang dilakukan adalah antisipasi yang berorientasi jangka panjang, bukan sekedar “gabuk” ketika bencana telah melanda.

Miris sekali rasanya ketika mengetahui realitas bahwa Kementerian Kehutanan dan Pemerintah Aceh baru meminta agar seluruh izin penambangan dalam kawasan hutan dihentikan setelah peristiwa banjir bandang itu berlalu (SI, 13/3/2011). Sehingga masyarakat bisa menilai sejauh mana keseriusan Pemerintah Pusat dan Daerah dalam usahanya mencegah bencana. Jika Pemerintah hanya sebatas “meminta” seluruh izin penambangan dalam kawasan hutan, maka ada dua ketakutan yang akan berpotensi terjadi kembali di masa yang akan datang.

Pertama, tidak adanya ketegasan Pemerintah untuk memberantas “mafia hutan” yang diindikasikan dari rekomendasinya yang hanya bisa menyatakan permintaan ataupun harapan belaka terkait dengan izin penambangan dalam kawasan hutan, tanpa ikatan hukum yang jelas dan mengikat bagi pelaku “mafia hutan”. Kedua, keseriusan Pemerintah dalam menanggapi bencana sangatlah kurang, artinya pemerintah hanya memberikan respons ketika bencana sudah terlanjur naas tanpa adanya kajian dan analisis mendalam sebagai antisipasi jangka panjang.

Selain itu, peran pihak legislatif pun sepertinya masih kurang “bertaji” dan terkesan seperti tak ada itikad untuk menindaklanjuti pelbagai problematika bencana di tanoh rencong. Hal ini terungkap dari upaya Badan Legislasi (Banleg) DPRA, yang mulanya mulai membahas rancangan qanun (raqan) yang mengatur tentang penanggulangan bencana alam di Aceh dalam acara Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU), Senin (26/7) di Gedung Serbaguna DPRA dengan melibatkan berbagai unsur elemen sipil, di antaranya, Badan SAR, Badan Penanggulangan Bencana Alam Aceh, UNDP, akademisi, birokrat, NGO asing, dan lainnya (SI, 27/7/2010).

Namun, apa hendak dikata, antusiasme itu semakin menghilang dan tak terdengar lagi gaungnya seiring dengan kemunculan isu-isu baru lainnya di Aceh. Masyarakat pun kian terlena dengan rutinitas dan euforia masing-masing, sehingga luput kesadaran mereka akan bahaya dampak bencana. Hal ini semakin memperparah kondisi apatisme masyarakat untuk peduli bencana.

Strategi Menyeluruh

Mengingat sangat kurangnya minat dan kepedulian masyarakat terhadap pengaruh bencana, semestinya Pemerintah dan seluruh elemen masyarakat harus bersatu-padu untuk mengkampanyekan program peduli bencana. hal ini bisa direalisasikan oleh Pemerintah setidaknya dengan berfokus pada tiga hal. Pertama, daerah atau lingkungan alam yang rawan potensi bencana. Pemerintah bisa lebih menitikberatkan pada pencegahan, pemeliharaan serta pelestarian alam lingkungan yang dianggap rawan pengaruh bencana, baik yang disebabkan oeh fenomena alam ataupun ulah manusia sendiri dengan orientasi jangka panjang. Hal ini bisa dilakukan dengan melakukan survey kepada masyarakat atau dengan mengutus petugas lapangan untuk melihat langsung kondisi sebenarnya di lokasi tersebut.

Kedua, dengan berfokus kepada pelaku yang memiliki kecenderungan melakukan pengrusakan alam sehingga menyebabkan bencana (human-caused disaster). Hal ini bisa diterapkan dengan menyusun produk hukum yang ketat dan benar-benar dipraktikkan, sehingga mampu menjadi shock theraphy bagi si pelaku dan membuatnya jera. Dalam konteks ini, mungkin upaya yang telah digagas oleh Banleg DPRA dengan membahas rancangan qanun (raqan) yang mengatur tentang penanggulangan bencana alam di Aceh bisa ditindaklanjuti kembali sehingga menghasilkan qanun penanggulangan bencana alam yang relevan dengan kondisi bencana aktual di Aceh saat ini.

Ketiga, dengan berfokus pada masyarakat luas. Poin terakhir ini sebagai tindaklanjut dari dua poin di atas. Setelah melakukan survey lapangan secara langsung dan melahirkan produk hukum yang menutup ruang bagi pelaku pengrusakan alam dalam menjalankan aksinya, maka hal ini juga harus dipadukan dengan sosialisasi menyeluruh terhadap masyarakat. Dengan begitu, masyarakat akan mendapatkan informasi dan pengetahuan baru serta mempunyai persepsi yang sama terkait dengan kepedulian alam. Selain itu, hal ini juga akan menggugah kesadaran masyarakat untuk menjaga dan melestarikan alam sebagai bekal anak cucu di masa yang akan datang. Jika program ini dijalankan secara terus-menerus, setidaknya potensi bencana yang sangat merugikan itu telah diminamalisir.

Kita telah memetik pelajaran penting dari musibah yang melanda saudara-saudara kita di Tangse. Tak ada seorangpun yang menginginkan bencana terjadi. Namun sebagaimana filosofi dalam dunia kesehatan, “lebih baik mencegah daripada mengobati”, jika bencana tidak diantisipasi semenjak dini, lalu kapan lagi?

0 komentar:

Posting Komentar

.