2 Maret 2011

Ketika Pelayanan Dipertanyakan

Leave a Comment
Catatan untuk Visit Banda Aceh 2011

Keluhan Buyung Nasri (BN) yang dituliskan di kolom Droe keu Droe yang berjudul “Hati-hati! Hitung Cepat Kedai Kopi”, (SI, 5/2/2011) telah menggugah nurani kita bahwa masih banyak ketimpangan-ketimpangan yang terjadi dalam keseharian kita, tak terkecuali di warung kopi (warkop). BN yang menuliskan tentang pengalaman getirnya ketika nongkrong di salah satu warkop di Banda Aceh, di mana para pelayannya dengan gesit “memplesetkan” harga makanan dan minuman yang telah dikonsumsi menjadi lebih tinggi dari harga yang seharusnya dibayar.


Ini merupakan realitas yang terjadi di lingkungan kita, di sebuah lingkungan yang justru warkop-warkopnya telah menjadi “trademark” atas eksistensi daerah itu sendiri, sehingga hal ini menjadi begitu ironi, apalagi jika dikaitkan dengan implementasi syariat Islam di Aceh yang gaungnya sudah dikumandangkan sejak lama. Hal ini seakan semakin mendegradasikan nilai-nilai moral kemasyarakatan dalam budaya Aceh itu sendiri menjadi kian rendah.

Tak bisa dipungkiri, hal ini menjadi bumerang bagi pengelola warkop khususnya serta masyarakat Aceh umumnya. Dalam konteks yang lebih luas, jika orang luar melihat fenomena ini, maka mereka akan mempersepsikan hal ini sebagai sebuah “ancaman” untuk melakukan transaksi baik produk maupun jasa (pelayanan) dengan masyarakat Aceh. Dengan adanya persepsi miring tersebut, maka lambat-laun akan muncul stereotip baru untuk masyarakat Aceh; tidak jujur (dalam bisnis) hanya gara-gara polemik warkop tersebut.

Saya menggeneralisasikan hal ini bukan hanya karena kejadian yang “kebetulan” menimpa BN saja, namun budaya seperti itu memang sudah lama mengakar kuat dalam struktur psikososiokultural masyarakat, jika tak mau dikatakan sudah menjadi “reusam”. Cobalah sesekali mampir di warkop yang ada di lingkungan Anda, pasti ada sesuatu hal yang terasa ganjil di sana.

Bahkan, dua orang kawan saya telah mengalami sendiri bagaimana rasanya “dikerjai” oleh pelayan di salah satu warkop yang ada di seputaran Banda Aceh. Awalnya, kawan saya tersebut memesan kopi panas yang kental. Tak lama, pesanannya itu datang. Namun, begitu terkejutnya ia ketika melihat kualitas dari kopi yang telah dipesannya itu. Bukannya kental, malah kopi tersebut begitu encer karena menurut teman saya itu, bubuk kopi yang dimasukkan dalam saringan kopinya sudah tidak layak untuk dipakai. Saking geramnya, kawan saya berujar, “Kalagee ie rah jaroe ka!” (Sudah seperti air basuh tangan saja!).

Di lain kesempatan, masih di warkop yang sama, kawan saya itu berceloteh bahwa dulu, ketika warkop itu baru dibuka, di atas meja pelanggan itu tersedia masing-masing satu asbak rokok, kertas tissue dan korek api. Namun, jangan berharap kita akan menemukan barang-barang yang sama di atas meja pelanggan yang ada di warkop sekarang. Jika praktik inkonsistensi pelayanan seperti ini terus terjadi, maka ketakutan seperti yang saya prediksikan akan di atas akan menjelma kenyataan.

Hal ini sangat berbeda sekali dengan paradigma yang dianut di luar negeri, di mana mereka benar-benar mengimplementasikan prinsip “Costumer is The King” (Konsumen adalah raja). Misalnya, ketika ada seorang konsumen yang merasa bahwa tagihan (bill) yang diberikan oleh pelayan di suatu restoran harganya tidak sesuai dengan harga yang semestinya harus dibayarkan oleh si konsumen, maka pemilik restoran akan segera turun tangan untuk mengklarifikasi dan meminta maaf langsung kepada konsumennya jika terbukti pihak restoran yang salah. Sebagai permintaan maaf, maka si pemilik restoran akan memberikan reward (hadiah) dalam bentuk lain seperti pemotongan harga atau dispensasi lainnya.

Berbicara masalah kepuasan konsumen (Customer Satisfaction) berarti kita memberikan kepercayaan kepada konsumen agar mereka menaruh kepercayaan kepada kita, baik dalam kontek khusus seperti kasus warkop di atas maupun konteks dalam konteks psikososiokutural masyarakat Aceh secara lebih luas. Apalagi saat ini Pemerintah Kota (Pemkot) Banda Aceh sedang gencar-gencarnya mengampanyekan “Visit Banda Aceh 2011” dengan slogan “Peumulia jamee adat geutanyoe”. Artinya, dengan terbukanya sosialisasi kampanye ini semakin membuka lebar ruang bagi orang-orang luar untuk berkunjung ke Aceh. Ketika kesempatan ini diberikan kepada setiap orang luar dan kita masih kukuh dengan budaya pelayanan yang “setengah hati”, apa kata dunia?

James G. Barnes (2001) menyatakan bahwa kepuasan konsumen, sebenarnya merupakan tanggapan yang diberikan oleh konsumen itu sendiri atas terpenuhinya kebutuhan, sehingga memperoleh kenyamanan. Dengan pengertian itu, maka penilaian terhadap suatu bentuk keistimewaan/kelebihan dari suatu barang/jasa ataupun barang/jasa itu sendiri, dapat memberikan suatu tingkat kenyamanan yang berhubungan dengan pemenuhan suatu kebutuhan, termasuk pemenuhan kebutuhan yang sesuai dengan harapan, atau pemenuhan kebutuhan yang dapat melebihi harapan konsumen.

Sementara Barnes (2001), mengidentifikasikan faktor-faktor yang dapat menentukan kepuasan konsumen, yaitu pelayanan dengan nilai tambah, tampilan dari produk atau jasa, aspek bisnis, kejutan-kejutan yang dapat memberikan rangsangan emosi (senang/tidak), untuk melakukan penilaian intangible (yang tidak terlihat) pada saat pelayanan diberikan. Jadi di sini jelas bahwa salah satu faktor penentuan kepuasan dari sisi rangsangan emosi konsumen sangatlah mempengaruhi kualitas kepuasana itu sendiri. Jika pelayanannya buruk, maka bisa dipastikan bahwa kualitas kepuasan itu juga berkurang.

Sosialisasi Masyarakat
Tentunya fenomena di atas adalah metafora gunung es, yang nampak hanyalah di permukaan airnya saja, sementara bongkahan besar di kedalaman air tak banyak orang yang tahu. Berbagai kasus yang mencuat merupakan keteledoran sikap serta kurangnya informasi serta pengetahuan yang didapatkan dalam hal memberikan pelayanan yang seutuhnya. Sebelum budaya ini menjadi “identitas” serta stereotip yag melekat dalam ingatan orang luar, ada baiknya para stakeholder, dalam hal ini Pemerintah Kota (Pemkot) Banda Aceh sendiri agar segera memberikan sosialisasi, baik workshop, seminar, pelatihan ataupun metode lainnya dengan menghadirkan orang-orang yang berkompeten di bidangnya mengenai pemberian pelayanan kepada tamu (orang luar) agar masyarakat tak salah persepsi.

Selama ini masyarakat masih kurang pemahamannya, sehingga hanya memikirkan orientasi keuntungan dari setiap konsumen. Mungkin dengan adanya pengarahan dari Pemkot Banda Aceh, mereka akan sedikit mendapatkan insight (pencerahan) dan merubah pola kognitifnya dari pola pragmatis menjadi lebih humanis. Sehingga akan terjalin hubungan dan interaksi sosial yang harmonis, penuh kedamaian baik dengan masyarakat lokal, nasional maupun internasional.

Tentunya kita berharap Pemkot Banda Aceh bersedia turun ke lapangan dam memberikan penyuluhan-penyuluhan seperti yang tertulis di atas. Jadi bukan hanya seruan persuasif dan larut dalam euforia status “Visit Banda Aceh 2011 Year” semata, namun harus ada langkah konkrit menuju ke sana. Dengan begitu, slogan “Peumulia jamee adat geutanyoe” tidak hanya terpampang dalam spanduk-spanduk lebar yang dipancang di pinggir-pinggir jalan, namun juga terpatri dalam hati dan sanubari setiap masyarakat Aceh, kini dan nanti. Semoga!

Penulis adalah Mahasiswa Program Studi Psikologi Unsyiah, Penikmat Kopi Aceh.

0 komentar:

Posting Komentar

.