Film ini berkisah tentang perjuangan hidup seorang petualang alam, Aron Ralston (diperankan oleh James Blanco) yang menjelajahi pendakian di kawasan Taman Nasional Canyonland, tepatnya di Blue John Canyon, Utah, Amerika. Tanpa memberitahukan kepada siapapun mengenai kepergiannya, Aron menghabiskan waktunya di sana seorang diri. Ia telah menganggap Blue John Canyon sebagai rumahnya, sehingga ia tak merasa cemas sedikitpun ketika menjelajahi daerah tersebut.
Diangkat dari autobiografi Aron Ralston, yang merupakan seorang pendaki gunung dan pecinta alam asal Amerika Serikat, dalam bukunya yang berjudul “Between a Rock and a Hard Place”. Cerita ini adalah kisah nyata Aron sendiri yang terjadi tahun 2003 silam. Danny Boyle, sang suradara fim yang sudah duluan sukses sebelumnya dengan film Slumdog Millionaire yang berhasil menyabet banyak penghargaan dalam Academy Awards, kini kembali memfilmkan kisah Aron Ralston ini dalam “127 Hours”.
Bermula dari keinginan “gila” Aron untuk menghabiskan waktu libur akhir pekan sendiri berpetualangan di Blue John Canyon, cerita ini dimulai. Aron yang mengendarai sendiri mobilnya menuju kawasan Taman Nasional Canyonland, Utah itu memulai petualangannya. Sesampainya di sana, ia meninggalkan mobil dan mulai mengendarai sepeda yang dibawanya. Bermodal peralatan seadanya, ia mengayuh sepedanya melintasi gunung demi gunung. Ia begitu menikmati petualangannya itu, buktinya ketika ia terjatuh dari sepeda, ia sempat berfoto ria sembari tertawa.
Hingga kemudian ia bertemu dua pendaki wanita yang tersesat, Kristi (diperankan oleh Kate Mara) dan Megan (diperankan oleh Amber Tamblyn). Pengetahuannya yang luas tentang Taman Nasional Canyonland, membuat ia tanpa kesulitan memandu dua perempuan tersebut dan menghabiskan sedikit waktu bersama, lalu kemudian berpisah karena Aron memiliki rute petualangan yang berbeda dari Kristi dan Megan.
Aron melanjutkan rute petualangannya dengan berjalan kaki dan mendengarkan musik dari headsetnya. Sesekali ia memotret kayu dan bebatuan yang menarik perhatiannya. Hingga kemudian musibah yang tak diharapkan menimpanya. Ketika sedang mencoba menuruni salah satu jurang terjal yang sempit, tiba-tiba saja batu di atasnya jatuh bersamaan dengannya dan menimpa tangan kanannya. Deritanya bermula.
Ia begitu terkejut mendapatkan kenyataan bahwa ia terjebak di dalam jurang sempit di Blue Canyon yang maha luas tanpa ada seorangpun yang tahu. Ia mencoba konsentrasi dan mulai memikirkan jalan keluarnya. Semua peralatan yang ada dalam ranselnya dikeluarkan, seperti senter kepala, tali gantungan, kamera, handycam, botol minuman dan alat lainnya.
Ia mulai diam dan menunduk, memutar otak mencari cara agar ia bisa terlepas dari jurang tersebut. Kemudian, ia menghidupkan handycam dan mulai merekam dirinya di tempat tersebut. Ia meninggalkan pesan dalam rekaman tersebut, mulai dari identitas serta permintaan maaf kepada kedua orangtuanya karena tidak memberitahukan kepergiannya. Ia juga berpesan bagi siapapun nanti yang menemukan rekamannya itu agar memberikan kepada orangtuanya.
Hari-hari dilaluinya di dalam jurang tersebut tanpa adanya indikasi bahwa ia akan segera keluar dari jurang tersebut. Dalam rekamannya yang lain, ia menunjukkan bahwa tangan kanannya mulai berwarna biru karena sirkulasi darahnya tidak berjalan lancar akibat himpitan batu. Wajahnya juga semakin memucat pasi karena kekurangan cairan. Persedian air dalam botol minumannya kian menipis. Ia memutuskan untuk menampung air kencingnya sendiri dalam botol minumannya agar ia tetap bertahan hidup.
Selama terjebak dalam jurang tersebut, ia selalu teringat pada orangtua, sahabat dan teman-temannya yang lain. Ia merasa bersalah kepada mereka dan belum sempat meminta maaf. Bayangan mereka terlihat nyata di depan matanya ketika ia semakin merasa lemah kekurangan cairan.
Hingga setelah lima hari ia terjebak di sana, akhirnya ia memiih opsi terakhir; mengamputasi tangannya yang terjepit. Ia meremukkan tulang tangannya dulu dengan batu hingga hancur agar bisa memotong pergelangan tangannya dengan mudah. Selama proses peremukan itu, ia menjerit kesakitan. Setelah itu, ia mengikat pergelangan tangannya dengan tali gantungan agar darahnya tidak mengalir lagi.
Lalu, ia mengambil pisau kecil yang telah diasah di atas bebatuan dan mulai memotong pergelangan tangannya. Ia kembali meringis hingga keluar air liur. Dan, yang paling menyakitkan adalah ketika ia harus memotong urat saraf tangannya sendiri dengan tang. Keringat membasahi sekujur tubuhnya selama proses tersebut.
Setelah masa kritis itu terlewati, ia harus merelakan sebagian tangan kanannya “tertinggal” dalam himpitan batu besar di jurang sempit tersebut. Ia memandangi potongan tangannya itu untuk terakhir kali dan mengabadikannya dengan kamera. Dengan bergegas, ia meninggalkan tempat tersebut dan mencari sumber air karena kekurangan cairan yang membuatnya lemas.
Dalam perjalanannya, ia melihat bayangan sebuah keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak. Lalu, ia berteriak meminta tolong sekuat-kuatnya, hingga akhirnya ia ditolong dan dilaporkan kepada petugas keamanan agar segera dirujuk ke rumah sakit. Berkat keyakinan dan semangat pantang menyerah, Aron bisa kembali pulang dengan selamat, walau harus kehilangan tangan kanannya.
Setelah kejadian naas itu, Aron semakin sering menjelajahi area Blue John Canyon tersebut dan selalu menuliskan catatan kemana pun ia pergi, sebagai dokumentasi hidup yang akan menjadi sejarah tersendiri kelak di masa yang akan datang.
Refleksi Optimisme dan Dokumentasi Hidup
Agaknya kisah Aron Ralston ini bisa menjadi suatu refleksi bagi kita dalam menyikapi berbagai dinamika dan problematika hidup yang kita jalani. Aron adalah salah satu manusia beruntung yang memiliki keyakinan besar dan semangat untuk tetap survive (bertahan hidup) walau dalam kondisi yang begitu mengenaskan. Kisah Aron ini layak menjadi renungan bagi kita semua untuk mengaktualisasikan kehidupan dalam bingkai semangat dan keyakinan.
Pesan lain yang bisa dijadikan renungan dari kisah Aron ini adalah selalu menuliskan hal apapun yang terjadi dalam kehidupan kita sebagai bukti sejarah di masa depan dan juga bukti bahwa kita pernah ada. Sudah waktunya kita tinggalkan budaya oral dan berevolusi menuju peradaban baru, ketika tulisan menjadi alat dokumentasi yang tak pernah mati.[]
0 komentar:
Posting Komentar