24 Desember 2009

Ibu dan Realita Bahasa

Leave a Comment
(Refleksi Hari Ibu)

Bahasa merupakan alat komunikasi yang sangat vital bagi manusia. Sebagai alat komunikasi, bahasa dipakai untuk menghubungkan perbedaan, persamaan serta berbagai dialektika perabadan dari zaman kuno hingga sekarang. Menurut Finocchiaro (1964), Bahasa adalah sistem simbol vokal yang arbitrer yang memungkinkan semua orang dalam suatu kebudayaan tertentu, atau orang lain yang mempelajari sistem kebudayaan itu, berkomunikasi atau berinteraksi.


Namun, ada yang luput dari perhatian kita di bidang kebahasaan, yaitu mengenai etika penggunaan kata-kata yang sesuai dengan situasi dan kondisinya. Apakah bahasa cukup dipahami sebagai sistem simbol yang mempunyai makna dan tujuan semata, tanpa memperhatikan kaidah norma-norma yang mengikatnya?. Ini perlu dikaji lebih dalam karena ada kosakata tertentu yang tak layak diucapkan, tapi kerap digunakan untuk mengekspresikan emosi seseorang.

Dalam beberapa bahasa daerah di Indonesia, kita mengenal begitu banyak perkataan kasar yang mengacu kepada organ reproduksi perempuan. Ungkapan makian ini kemudian diasosiasikan dengan sosok seorang ibu dan dijadikan sebagai referensi untuk mengekspresikan kebencian seseorang. Dalam bahasa Aceh, ungkapan ini bervariasi penyebutannya. Sebagai contoh, di daerah barat selatan Aceh, kita mengenal istilah (maaf) pantekmakkah, sedangkan bagian timur utara lebih bervariasi lagi, seperti pukoima, okmie, dan lain-lain. Dalam konteks ini, jelas tergambar bahwa ketika seseorang mengekspresikan kebenciannya kepada orang lain, yang dicaci adalah organ reproduksi dari mak orang yang dibencinya itu.

Dewasa ini, penggunaan ungkapan makian di atas bukan hanya sekedar mengekspresikan kebencian semata. Di kalangan remaja, ungkapan ini bisa juga berarti sebagai bentuk kekecewaan dan keterkejutan. Sering kita lihat remaja bercanda dengan teman-temannya menggunakan kata-kata itu. Bagi mereka, itu bukanlah merupakan hal yang tabu lagi.

Bahkan yang lebih menyedihkan, umpatan dan celaan itu juga sering keluar dari mulut seorang ibu ketika memarahi anak-anaknya, yang tanpa disadari justru sedang memaki dirinya sendiri. Fenomena seperti banyak kita temukan di beberapa daerah di Aceh. Disadari atau tidak, tipikal ibu seperti ini justru akan menjadikan anaknya menjadi seorang pembangkang.

Semua fakta yang telah dipaparkan di atas sangatlah kontradiktif dengan martabat kaum ibu yang memiliki peran penting dalam masyarakat. Bagaimanapun, kita tak bisa menafikan fakta bahwa seorang ibu mempunyai interaksi yang lebih besar dalam membentuk kepribadian anak-anaknya, sehingga sangat berpengaruh terhadap proses kognitif (pikiran) dan afektif (perasaan) sang anak.

Begitu besarnya peran seorang ibu dalam membentuk moral keturunannya. Namun, apresiasi yang kita berikan sangatlah tak sepadan dengan pengorbanannya. Ungkapan makian yang semakin meluas penggunaannya itu telah menistakan dan ‘menjual’ harga diri seorang ibu. Tak ada lagi apresiasi seorang anak terhadap ibunya. Kalau pun ada, ia hanya menghormati ibu kandungnya semata karena faktor kedekatan (keluarga), namun ia tetap akan memaki kaum ibu lain yang bukan merupakan ibu kandungnya.

Kesantunan Bahasa

Bahasa menunjukkan bangsa. Jargon ini sudah tentu sangat familiar bagi kita yang memahami bahasa sebagai manifestasi suatu bangsa. Tak dapat dipungkiri bahwa dengan bahasa kita berusaha mencitrakan kepribadian. Kepribadian yang luhung adalah mereka yang santun dan berbudi bahasa.

Oleh karena itu, agaknya perlu disadari bahwa adanya suatu siklus linguistik yang membentuk pola sikap kita, terkait dengan bahasa yang kita gunakan. Bahasa menciptakan makna, makna menimbulkan respons, respons melahirkan kesan, dan dengan serta-merta kesan inilah yang menjadi sikap (evaluated response). Lalu, sikap pun bermetamorfosis menjadi stereotipe yang melekat pada suatu kaum, dalam hal ini kaum ibu.

Tentunya kita tak menginginkan stereotipe ‘ibu murahan’ melekat pada sosok seorang ibu akibat penggunaan ungkapan sumpah-serapah itu. Namun, bukanlah hal yang mustahil stereotipe negatif bakal dipatenkan jika kita terus-menerus mencela kaum ibu dengan kata-kata hinaan itu. Hal ini sesuai dengan hipotesis yang ditawarkan oleh dua pakar linguistik, Benyamin Whorf dan Edward Sapir, yaitu tentang konsep determinisme linguistik (linguistics determinism) yang menyatakan bahwa struktur bahasa mempengaruhi cara individu mempersepsi dan menalar dunia perseptual. Dengan kata lain, struktur kognisi manusia ditentukan oleh kategori dan struktur yang sudah ada dalam bahasa (Schlenker, 2004).

Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai kaum ibu. Di tangan merekalah nasib generasi penerus bangsa ini dipertaruhkan. Maka, jangan sakiti hati mereka dengan dengan kata-kata nista. Setidaknya kita bisa menahan diri dalam mengekspresikan kemarahan, tanpa harus menggunakan kata-kata yang tak layak diucapkan itu. Bagaimanapun, merekalah yang telah memberikan segenap curahan cinta kepada kita.

Semoga kita lebih bijak dalam bertutur-kata, dalam memahami realita bahasa. Tentunya kita belum lupa dengan slogan “mulutmu harimaumu”. Semestinya kita lebih selektif dalam memilih kosakata untuk mengungkapkan suatu maksud kepada orang lain. Tentunya kita tak ingin orang lain tersinggung dengan perkataan kita yang mungkin bagi kita biasa saja, namun bagi orang lain sangat menyakitkan. Dalam falsafah orang Aceh, ada ungkapan yang berbunyi, “meunyo hate ka teupeh, meu bu leubeh han jipeutaba,” yang berarti begitu sensitifnya perasaan orang Aceh, sampai-sampai bu leubeh (nasi lebih) pun tak akan ditawarkan kepada orang yang telah menyakiti perasaannya.

Harapan kita ke depan tak ada lagi ‘pencemaran’ nama baik terhadap seorang perempuan yang telah memberikan cinta-kasih yang tulus kepada kita. Seorang perempuan yang begitu mulia, yang bernama ibu. Selamat memperingati Hari Ibu!

0 komentar:

Posting Komentar

.