Keniscayaan ini tak bisa dinafikan begitu saja karena intelektual-intelektual kampus atau lazim disebut mahasiswa ini adalah pilar utama serta elemen penting bagi tumbuh-kembangnya khazanah pengetahuan serta peradaban bangsa dalam multi-disiplin ilmu.
Jika merujuk kepada pengertian di atas, bisa ditarik kesimpulan bahwa seorang mahasiswa sebenarnya sedang mengemban tugas dan beban yang mahaberat. Dalam konteks individual, tentu ia mempunyai cita-cita mulia agar menjadi orang yang sukses dalam pandangan subjektifnya sendiri serta membahagiakan kedua orangtuanya.
Sehingga dengan modal motivasi tersebut, terbesitlah keinginan yang besar untuk mewujudkannya sesegera mungkin dengan aktif dalam proses perkuliahan dan kewajiban akademik lainnya.
Namun di balik semua impian tersebut, seorang mahasiswa juga memiliki tanggungjawab yang tak kecil dalam lingkup sosial-kemasyarakatan atau yang dalam poin Tri Dharma Perguruan Tinggi di atas dimasukkan dalam kategori pengabdian terhadap masyarakat. Bagaimanapun caranya, seorang mahasiswa yang “membumi” pasti akan melaksanakan tugasnya dalam kedua konteks tersebut tanpa berat sebelah. Pertanyaan kemudian yang timbul adalah, bagaimana kedua hal itu bisa dikontrol dan diejawantahkan dalam hiruk-pikuk aktivitas kampus dengan sebenar-benarnya? Jawabannya adalah dengan hati nurani yang mempertimbangkan aspek etika dan moral suatu hal.
Dalam hal ini, mengenai sikap Rektor Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Darni M. Daud yang mendaftarkan diri sebagai bakal calon (balon) Gubernur Aceh Periode 2012-2017 menjadi penting untuk didiskusikan. Reaksi dan pandangan terhadap masalah itu harus dikembalikan lagi ke hati nurani mahasiswa Unsyiah, anak-anaknya sendiri.
Pak Darni yang sampai saat ini masih aktif menjabat sebagai Rektor memang punya hak untuk mencalonkan diri menuju Aceh I (Gubernur Aceh). Selain itu, mengutip pernyataan Guru Besar Fakultas Hukum (FH) Unsyiah yang juga anggota senat Unsyiah, Prof. Husni Djalil, sebagaimana dilansir DETaK Unsyiah (16/11/2011) yang mengatakan bahwa Darni juga masih bisa menjabat sebagai Rektor selama belum ditetapkan secara resmi oleh Komite Independen Pemilihan (KIP) sebagai Calon Gubernur (Cagub) dan juga menunggu putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tanggal 18 November tentang tahapan Pilkada Aceh. Karena Pak Rektor mempunyai hak untuk melanjutkan ikhtiar tersebut serta niat dan langkahnya menuju Aceh I memang tidak melanggar aturan hukum (setidaknya sampai tahap ini), maka sudah sepatutnya permasalahan ini ditanggapi dengan pikiran jernih agar benih-benih subjektivitas dan prasangka bisa dikesampingkan untuk sementara oleh para mahasiswa. Yang patut digarisbawahi adalah, persoalan politik di atas bukanlah cuma perkara regulasi hukum semata.
Sukardi Rinakit (2008) pernah menuliskan bahwa politik sebagai kiat adalah ranah untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaan. Sebaliknya, politik sebagai ilmu sepenuhnya berorientasi pada landasan etis, bahwa kekuasaan adalah energi terkuat dan nurani terdalam untuk mewujudkan kesejahteraan manusia. Jadi, di balik batasan-batasan hukum yang membalut pergerakan manusia, masih ada hati nurani yang menjadi pengontrol dengan berlandaskan pada etika dan moral.
Dalam kasus Pak Rektor, tentunya mahasiswa punya pandangan yang beragam. Secara aturan hukum, mungkin bisa dibenarkan. Namun, secara etis dan moral, hal ini patut dipertanyakan kembali.
Independenkah mahasiswa?
Independensi bisa diartikan sebagai sikap yang utuh-menyeluruh dari diri seseorang yang berasal dari pemikiran, pandangan serta dengan pertimbangan hati nuraninya yang paling dalam tanpa diintervensi oleh pihak lain.
Mahasiswa, dalam kapasitasnya sebagai warga negara serta bagian dari masyarakat memang punya hak yang utuh untuk memberikan hak suara atau dukungannya kepada salah satu partai politik atau tokoh-tokoh tertentu yang mencalonkan diri dalam bursa pilkada nanti.
Tetapi, apakah kemudian hal itu bisa menjamin pengaruh, sikap, tindak-tanduk serta independensinya sebagai mahasiswa tetap “steril”? Sekali lagi, ada batasan etika dan moral sebagai mahasiswa yang dituntut untuk menjadi pribadi yang independen di titik ini.
Independensi mahasiswa adalah wujud nyata dari sikapnya yang tetap menilai sesuatu fenomena dengan kacamata pertimbangan hati nurani sebagai pengevaluasi atas realitas sosial yang terbentang di hadapan. Tentunya hal ini dilandasi prinsip yang tegas untuk menolak sikap yang dilatarbelakangi oleh pengaruh bujuk-rayu orang lain atau sekadar faktor ikut-ikutan.
Misalnya, terkait dengan sikap Pak Rektor yang tetap maju mencalonkan diri dalam bursa pilkada, nurani sebagai pengevaluasi mulai menjalankan sistemnya untuk mempertimbangkan segala aspek dan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan reflektif.
Seperti perspektif mengenai eksistensi dan kontribusi Pak Rektor selama menjabat di Unsyiah. Apakah ada perubahan yang signifikan dalam hal infrastruktur, peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM) mahasiswa dan civitas akademika Unsyiah lainnya, transparansi, birokrasi serta manajemen pendidikan atau malah sebaliknya?
Atau apakah etis jika seorang Rektor yang masih aktif menjabat, kemudian dalam masa jabatannya itu malah memilih untuk mencalonkan diri sebagai Gubernur? Lalu, bagaimana nasib anak-anaknya, para mahasiswa serta rumah-tangga di Unsyiah itu sendiri sepeninggalnya nanti?
Pertanyaan-pertanyaan seperti ini bukanlah bermaksud untuk menghalangi atau memojokkan Sang Rektor dalam rangka meneruskan ambisinya, tetapi lebih kepada proses pemikiran sistematis dengan berlandaskan hati nurani masing-masing. Tentunya dengan mengedepankan etika dan moral agar bisa menentukan sikap secara objektif dengan melihat realitas langsung yang terjadi pada mahasiswa serta civitas akademika Unsyiah lainnya.
Jadi, persoalan seperti ini tidaklah hanya terbatas pada tataran hukum semata, namun lebih kompleks lagi adanya. Jika dalam melihat kasus ini tidak dibarengi dengan pendekatan etika dan moral, bisa jadi klaim-klaim yang berlandaskan kepentingan tertentu pasti kian mendominasi.
Lalu, apabila sudah demikian, maka bisa dipastikan sikap tidak memihak seorang mahasiswa hanyalah independensi yang bersifat semu. Dan, pertanyaan utama yang perlu diajukan untuk intelektual muda kampus tersebut adalah, masih independenkah kita?
* Penulis adalah mahasiswa Prodi Psikologi Universitas Syiah Kuala. Aktif di UKM Pers DETaK Unsyiah.
0 komentar:
Posting Komentar